Jumat, 24 Mei 2019

UPACARA SIRAMAN PERNIKAHAN ADAT JAWA



Oleh :
WULANDARI NURWIDI ASTUTI (2017015004)
  
Abstract

Siraman (mandi) merupakan upacara adat Jawa yang dilakukan sehari sebelum pengantin melaksanakan ijab qabul. Dalam upacara siraman tata pelaksanaan dan peralatan (ubarambe) yang digunakan sudah maton/pakem sebagai sebuah simbol yang memiliki arti dan makna. Makna dan arti simbol dalam siraman tidak terlepas dari konteks Jawa. Model pendekatan fenomenologis, dan kemudian secara filosofis menggunakan metode hermeneutik diinterpretasikan secara komprehensif agar makin jelas arti dan makna sehingga akan lebih mudah memberikan pemahaman tentang saling hubungan (interelasi) antara filsafat, budaya dan Islam.
Kata kunci : Upacara, Siraman, Ubarampe.


PENDAHULUAN

Budaya Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena dimiliki sebagian etnis terbesar di Indonesia. Nilai-nilai Islam memiliki arti penting bagi budaya Jawa karena mayoritas masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Dengan demikian hubungan nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa menjadi menarik karena keberadaan Islam dan budaya Jawa yang cukup dominan pada bangsa Indonesia. Kehidupan masyarakat Jawa sangat bersifat seremonial, mereka selalu ingin meresmikan suatu keadaan melalui upacara. Upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Jawa berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Upacara-upacara ini dilakukan dalam rangka membereskan suatu keadaan untuk mencapai tujuan. Upacara-upacara ini termasuk adat istiadat yang sifatnya sakral baik mengenai niat, tujuan, bentuk upacara, perlengkapan upacara maupun tata laku pelaksanannya. Sehingga ketika akan melaksanakan upacara maka membutuhkan persiapan yang benar-benar matang bahkan terkesan jlimet.
Salah satu seremonial yang bersifat adat istiadat yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa ketika akan menikahkan putra-putrinya adalah menyelenggarakan upacara siraman-nya itu disiram atau dimandikan. Siraman merupakan mandi ritual dimaksudkan agar calon pengantin menjadi bersih secara spiritual dan berhati suci. Di dalam upacara siraman ini memiliki tata urutan dan perlengkapan (ubarampe) yang sudah ada aturannya (maton/pakem).
Tujuannya Agar budaya tradisoanal merupakan media yang berasal dari nenek moyang untuk melukiskan segala macam bentuk pesan pengetahuan pada masyarakat sebagai generasi penerus. Adanya simbol yang melekat pada suatu adat ataupun kebudayaan diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat penggunanya. Salah satu tindakan simbolis yang sampai saat ini masih diyakini serta dilestarikan oleh masyarakat Jawa adalah upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh masyarakat. Upacara tradisional merupakan suatu kegiatan resmi yang dilakukan untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Kegiatan tersebut mempunyai kaitan dengan sebuah kepercayaan mengenai adanya kekuatan di luar kemampuan manusia.






PEMBAHASAN
A. Pengertian Siraman
Siraman, dari kata siram yang artinya mengguyur atau mandi. Banyak sekali ritual mandi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama ketika akan melakukan sebuah upacara budaya. Sepasang pengantin akan melangsungkan ijab qabul sehari sebelumnya juga melakukan upacara siraman. Mandi dalam kehidupan sehari-hari dilakukan agar orang menjadi bersih badannya, segala kotoran yang melekat di badan akan hilang tersapu air dan sabun. Akan tetapi hakikat dari mandi (siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak hanya sekedar membersihkan wadag ( badan ) tetapi juga membersihkan jiwa. Membersihkan diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik. Membersihkan segala gangguan agar supaya pada saat prosesi ijab qabul tidak lagi ada aral yang melintang. Pengantin agar dapat memulai hidup baru dengan keadaan yang bersih dan suci.
Secara rasional siraman (mandi) mempunyai pengaruh secara fisik, badan yang loyo akan menjadi segar apabila terkena siraman air, indera penciuman akan terpuaskan dengan wanginya bunga-bunga sritaman, indera peraba dapat menikmati segarnya air yang menyapu tubuh, indera penglihatan menjadi bahagia melihat air yang diberi berbagai macam bunga, biasanya dengan diiringi musik gamelan maka gelombang otakpun menjadi lebih tenang.

B. Pelaksanaan Upacara Siraman
Upacara siraman dilakukan antara pukul 10.00 – 15.00 sehari sebelum upacara panggih. Konon para bidadari turun mandi bersama bersuka ria kirakira pukul 11.00 pagi. Agar dapat secantik dan seceria bidadari, maka calon pengantin mandi pukul 11 siang. Namun, ada pula calon pengantin yang mandi sekitar pukul 15.00 demi kepraktisan. Waktu antara pukul 10.00 - 15.00 adalah waktu setiap hari dimana pengaruh matahari paling besar. Mandi di udara terbuka diharapkan dapat menyerap energi matahari, semangat dan stamina untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi prosesi ritual pernikahan yang panjang.
Sekarang demi kepraktisan dan efisiensi waktu yang biasa dipakai untuk melakukan siraman adalah pukul 15.00. Dengan demikian calon pengantin putri tidak perlu terlalu lama menunggu di dalam kamar. Selain itu, para perias bersama petugas pendukung (kameraman, fotografer, pranata adicara) juga tidak banyak membuang waktu. Upacara dilangsungkan secara terus menerus (banyu mili). Dengan demikian, pemangku hajat juga menghemat biaya mewakili nilai ekonomi sebab waktu tidak banyak yang terbuang, dari ongkos kameramen, pranata adicara karena kerjanya hanya setengah hari maka diasumsikan lebih murah, dengan bayu mili, terus menerus sehingga hajatan cepat selesai.
Adapun Tujuan diadakannya Siraman dalam rangka memohon berkah dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa agar calon pengantin dibersihkan dari segala godaan dan pengaruh buruk, sehingga dapat melaksanakan upacara hingga selesai dengan lancar dan selamat. Selain itu, calon pengantin juga selamat dalam membangun rumah tangga dan dapat mencapai tujuan pekawinan. Hal ini sesuai dengan filsafat Jawa yang berdasarkan pada tiga aras yaitu aras dasar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras dasar ber-Tuhan menyatakan adanya Tuhan yang Murbeng Dumadi (Penguasa Alam Semesta). Di dalam siraman pun aras filosofi dasar ber Tuhan ini muncul yaitu bahwa Tuhan sebagai tempat memohon berkah, segala sesuatu berasal dari-Nya sehingga konsep permohonan inipun dilakukan. Tuhan sebagai tempat seluruh permintaan manusia terutama berkah keselamatan dan kelancaran dalam kehidupan.

C. Ubarampe Siraman Pernikahan Adat Jawa
Dalam siraman terdapat peralatan (piranti/ubarampe) yang harus dipersiapkan. Piranti tersebut tidak asal piranti akan tetapi semua yang dipakai mengandung makna :
1.        Piranti pertama adalah berupa sesaji atau hardware dalam bentuk makanan yang berisi tumpeng robyong, jajan pasar, pisang raja, jenang abang putih, boro-boro, palang, empluk kecil-kecil disisi beras, telur dan bumbu dapur, ayam kampung, satu butir kelapa yang sudah dikupas. Juplak diisi minyak kepala, kembang telon, gula Jawa tangkep.
Othak athik mathuk dari tumpeng adalah “metu dalan kang lempeng’, manusia           dalam kehidupannya senantiasa memperhatikan tata laku yang lurus,         menjalankankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dalam Islam disebut    sebagai ḥanīf, sebagai aplikaksi dari “ihdina ’ṣ-ṣirāṭa ’lmustaqīm”. Tumpeng             robyong sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan, tumpeng robyong ini          bentuknya semakin estetis karena terdiri dari aneka hiasan dari lombok merah,   brambang. Bawang dan ada hiasan sayur sayurannya sehingga terlihat indah.    Jajan pasar adalah simbol pengingat akan kehidupan dunia yang seperti saat ini.            Sebagai manusia, kita seakan diingatkan agar mampu melihat kenyataan dunia       dan tidak mudah larut sehingga penting bagi kita selalu ingat pada kehidupan             akhirat.
2.        Piranti yang kedua adalah air siraman: toya pamorsih atau disebut juga banyu perwitosari. Perwita berarti suci, sari berarti bunga, yakni air yang ditabur bunga sritaman (mawar, melati dan kenanga). Asal air dapat memilih salah satu dari
(1) 7 sumber dari berbagai tempat
(2) air dari keraton
(3) air tempuran (pertemuan dua hilir sungai)
(4) berbagai sendang atau sumber tua, sumur sumur tua yang air nya tidak pernah                    surut /kering.  Untuk yang beragama Islam biasanya memasukkan air                                  Zam-Zam sebagai salah satu dari 7 mata air tersebut.
3.        Piranti ketiga adalah bunga sritaman (mawar, melati dan kenanga) secara simbolik melambangkan keharuman. Secara fisik keharuman bunga tersebut dapat meresap ke tubuh calon pengantin. Secara simbolik bunga sritaman calon pengantin diharapkan memliki keharuman nama, dapat dicontoh oleh sesama seperti pepatah: “Gajah mati meningalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.”
4.        Piranti keempat berupa alas duduk :
(a) kloso blangko (klasa/tikar pandan dengan anyaman besar)
(b) godhong (dedaunan): apa-apa, kluwih, alang-alang, kara dhadha serep, eri             kemarung, maja, dlingo belengkle dibungkus mori putih
(c) kain tutup letrek jingo, bangun tlak sindhur liwatan, sembagi, yuyu            sakandhang, sekar mayang, lurih pulowatu.
Kloso blangko melambangkan harapan bahwa          calon pengantin kelak dapat hidup bersahaja, walaupun bergelimang kemewahan,       tidak berfoya-foya. Daun apa-apa melambangkan harapan agar perhelatan tidak            aral melintang suatu apapun. Alang-alang melambangkan harapan agar perhelatan tidak ada halangan apapun atau ora ono opo-opo “tidak ada halangan apa-apa”. Daun kara melambangkan harapan segala sikara (cobaan) atau sukreta (siksaan, rintangan, sakit) harus dihadapi dengan tegar dan dihilangkan. Hidup ini tidak akan lepas dari cobaan (sikara). Daun kluwih melambangkan harapan calon pengantin diberi kelebihan prestasi, sosial ekonomi, pangkat, jabatan, karier, kewibawaan, dsb. Daun dhadhap serep melambangkang harapan kehidupan calon pengantin penuh dengan ketrenteraman adhem ayem (konon daun dhadhap serep dapat menurunkan panas). Duri kemarung, maja dan dlingo bengkle sebagai penolak bala agar kehidupan calon pengantin dijauhkan dari mara bahaya. Mori putih melambangkan kesucian dan kepasrahan kepada Tuhan.

5.        Piranti kelima dua kelapa hijau (cengkir) yang diikat sabutnya melambangkan calon pengantin senantiasa berdua, seia sekata, terikat tali kasih dan sayang hingga akhir hayat, juga melambangkan kedua calon besan bersatu tekad untuk menikahkan puta-putrinya.
6.        Piranti keenam konyoh mancawarna lulur terbuat dari tepung beras dan kencur serta bahan pewarna :
(a) tepung konyoh lima warna
(b) ron kemuning
(c) mangir.
Konyoh lima warna melambangkan kemanunggalan warna cahaya (pamor) sarana pambukaning pamor “sarana pembuka aura” agar segala unsur cahaya berkumpul dan membuahkan cahaya pamor sehingga calon pengantin tampak lebih cantik (wanita) atau tampan (pria). Secara simbolik konyoh manca warna lulur bermakna agar segala cahaya menyatu di tubuh calon pengantin sehingga calon pengantin tampak berwibawa dan indah untuk dipandang.
7.        Piranti ketujuh sehelai kain motif batik grompol yang dipakai oleh ibu pengantin perempuan. Filosofi batik grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain batik grompol ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik seperti rezeki, keturunan, dan kebagaiaan hidup dan motif nagasari atau motif lain, seperti sidoluhur, sidomukti, semenrama, sidoasih, dsb.











Kesimpulan
Siklus kehidupan yang mencakup kelahiran, pernikahan dan kematian merupakan momentum yang sangat penting, baik bagi yang mengalami, keluarga, maupun orang di sekelilingnya, termasuk masyarakat Jawa sebagai sebuah etnis yang memiliki ritual-ritual siklus kehidupan tersebut dalam hal ini adalah siraman yang dilakukan calon pengantin sehari sebelum hari ijab dan qabul. Siraman sebagai upacara adat yang dilakukan memiliki alur rangkaian acara yang pakem “sudah mapan” sehingga susunan acaranyapun sudah mapan.
Diawali dari adanya sungkeman atau pangakbeten calon pengantin kepada kedua orangtuanya sampai tata cara siapa urut-urutan siapa yang memandikan, sebab semuanya memiliki makna dan simbol. Sama seperti halnya upacara-upacara adat yang lain, siraman inipun juga membutuhkan berbagai ubarampe, yang masing-masing ubarampe memiliki makna.
 Jika disimpulkan semua ubarampe memberikan makna yang sesuai dengan asas dasar falsafah Jawa yaitu asas dasar ber-Ketuhanan, aras dasar dengan semesta dan aras dasar keberadaan manusia, bahwa manusia Jawa selalu ingat akan Tuhan sebagai tempat untuk memohon, adanya keinginan untuk selalu hidup bersama dengan manusia yang lain dengan budi pekerti yang baik dan hidup selaras dengan alam semesta. Pertemuan antara filsafat sebagai pandangan hidup manusia Jawa dengan budaya dan Islam sebagai agama mayoritas yang di anut oleh masyarakat Jawa, memberikan warna tersendiri. Dengan menggunakan pemahaman secara filsafat dan pandangan Islam terhadap katakteristik budaya Jawa maka ketiga saling memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya. Termasuk di dalam budaya siraman terdapat saling hubungan antara nilainilai filasafat Jawa dengan ajaran-ajaran Islam, terlepas dari persoalan syirik dan tidak syirik.








LAMPIRAN


IMG_20190513_203539 
SIRAMAN pengantin pria


IMG_20190513_203605 
pengantin wanita dengan kembang 7 rupa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...