Oleh
:
WULANDARI
NURWIDI ASTUTI (2017015004)
Abstract
Siraman
(mandi) merupakan upacara adat Jawa yang dilakukan sehari sebelum pengantin
melaksanakan ijab qabul. Dalam upacara siraman tata pelaksanaan dan peralatan
(ubarambe) yang digunakan sudah maton/pakem sebagai sebuah simbol yang memiliki
arti dan makna. Makna dan arti simbol dalam siraman tidak terlepas dari konteks
Jawa. Model pendekatan fenomenologis, dan kemudian secara filosofis menggunakan
metode hermeneutik diinterpretasikan secara komprehensif agar makin jelas arti
dan makna sehingga akan lebih mudah memberikan pemahaman tentang saling
hubungan (interelasi) antara filsafat, budaya dan Islam.
Kata kunci : Upacara,
Siraman, Ubarampe.
PENDAHULUAN
Budaya
Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena
dimiliki sebagian etnis terbesar di Indonesia. Nilai-nilai Islam memiliki arti
penting bagi budaya Jawa karena mayoritas masyarakat Jawa memeluk agama Islam.
Dengan demikian hubungan nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa menjadi menarik
karena keberadaan Islam dan budaya Jawa yang cukup dominan pada bangsa
Indonesia. Kehidupan masyarakat Jawa sangat bersifat seremonial, mereka selalu
ingin meresmikan suatu keadaan melalui upacara. Upacara-upacara yang dilakukan
masyarakat Jawa berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Upacara-upacara ini
dilakukan dalam rangka membereskan suatu keadaan untuk mencapai tujuan.
Upacara-upacara ini termasuk adat istiadat yang sifatnya sakral baik mengenai
niat, tujuan, bentuk upacara, perlengkapan upacara maupun tata laku
pelaksanannya. Sehingga ketika akan melaksanakan upacara maka membutuhkan
persiapan yang benar-benar matang bahkan terkesan jlimet.
Salah
satu seremonial yang bersifat adat istiadat yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Jawa ketika akan menikahkan putra-putrinya adalah menyelenggarakan
upacara siraman-nya itu disiram atau dimandikan. Siraman merupakan mandi ritual
dimaksudkan agar calon pengantin menjadi bersih secara spiritual dan berhati
suci. Di dalam upacara siraman ini memiliki tata urutan dan perlengkapan
(ubarampe) yang sudah ada aturannya (maton/pakem).
Tujuannya
Agar budaya tradisoanal merupakan media yang berasal dari nenek moyang untuk
melukiskan segala macam bentuk pesan pengetahuan pada masyarakat sebagai
generasi penerus. Adanya simbol yang melekat pada suatu adat ataupun kebudayaan
diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat penggunanya. Salah satu
tindakan simbolis yang sampai saat ini masih diyakini serta dilestarikan oleh
masyarakat Jawa adalah upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan
sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh masyarakat. Upacara
tradisional merupakan suatu kegiatan resmi yang dilakukan untuk
peristiwa-peristiwa tertentu. Kegiatan tersebut mempunyai kaitan dengan sebuah
kepercayaan mengenai adanya kekuatan di luar kemampuan manusia.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Siraman
Siraman,
dari kata siram yang artinya mengguyur atau mandi. Banyak sekali ritual mandi
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama ketika akan melakukan sebuah
upacara budaya. Sepasang pengantin akan melangsungkan ijab qabul sehari
sebelumnya juga melakukan upacara siraman. Mandi dalam kehidupan sehari-hari
dilakukan agar orang menjadi bersih badannya, segala kotoran yang melekat di
badan akan hilang tersapu air dan sabun. Akan tetapi hakikat dari mandi
(siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak hanya sekedar membersihkan
wadag ( badan ) tetapi juga membersihkan jiwa. Membersihkan diri dari noda dan
dosa serta sifat-sifat yang kurang baik. Membersihkan segala gangguan agar
supaya pada saat prosesi ijab qabul tidak lagi ada aral yang melintang.
Pengantin agar dapat memulai hidup baru dengan keadaan yang bersih dan suci.
Secara
rasional siraman (mandi) mempunyai pengaruh secara fisik, badan yang loyo akan
menjadi segar apabila terkena siraman air, indera penciuman akan terpuaskan
dengan wanginya bunga-bunga sritaman, indera peraba dapat menikmati segarnya
air yang menyapu tubuh, indera penglihatan menjadi bahagia melihat air yang
diberi berbagai macam bunga, biasanya dengan diiringi musik gamelan maka
gelombang otakpun menjadi lebih tenang.
B. Pelaksanaan
Upacara Siraman
Upacara
siraman dilakukan antara pukul 10.00 – 15.00 sehari sebelum upacara panggih.
Konon para bidadari turun mandi bersama bersuka ria kirakira pukul 11.00 pagi.
Agar dapat secantik dan seceria bidadari, maka calon pengantin mandi pukul 11
siang. Namun, ada pula calon pengantin yang mandi sekitar pukul 15.00 demi
kepraktisan. Waktu antara pukul 10.00 - 15.00 adalah waktu setiap hari dimana
pengaruh matahari paling besar. Mandi di udara terbuka diharapkan dapat
menyerap energi matahari, semangat dan stamina untuk mempersiapkan diri dalam
menghadapi prosesi ritual pernikahan yang panjang.
Sekarang
demi kepraktisan dan efisiensi waktu yang biasa dipakai untuk melakukan siraman
adalah pukul 15.00. Dengan demikian calon pengantin putri tidak perlu terlalu
lama menunggu di dalam kamar. Selain itu, para perias bersama petugas pendukung
(kameraman, fotografer, pranata adicara) juga tidak banyak membuang waktu.
Upacara dilangsungkan secara terus menerus (banyu mili). Dengan demikian,
pemangku hajat juga menghemat biaya mewakili nilai ekonomi sebab waktu tidak
banyak yang terbuang, dari ongkos kameramen, pranata adicara karena kerjanya
hanya setengah hari maka diasumsikan lebih murah, dengan bayu mili, terus
menerus sehingga hajatan cepat selesai.
Adapun
Tujuan diadakannya Siraman dalam rangka memohon berkah dan rahmat Tuhan Yang
Maha Esa agar calon pengantin dibersihkan dari segala godaan dan pengaruh
buruk, sehingga dapat melaksanakan upacara hingga selesai dengan lancar dan
selamat. Selain itu, calon pengantin juga selamat dalam membangun rumah tangga
dan dapat mencapai tujuan pekawinan. Hal ini sesuai dengan filsafat Jawa yang
berdasarkan pada tiga aras yaitu aras dasar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta
dan aras keberadaban manusia. Aras dasar ber-Tuhan menyatakan adanya Tuhan yang
Murbeng Dumadi (Penguasa Alam Semesta). Di dalam siraman pun aras filosofi
dasar ber Tuhan ini muncul yaitu bahwa Tuhan sebagai tempat memohon berkah,
segala sesuatu berasal dari-Nya sehingga konsep permohonan inipun dilakukan.
Tuhan sebagai tempat seluruh permintaan manusia terutama berkah keselamatan dan
kelancaran dalam kehidupan.
C. Ubarampe
Siraman Pernikahan Adat Jawa
Dalam
siraman terdapat peralatan (piranti/ubarampe) yang harus dipersiapkan. Piranti
tersebut tidak asal piranti akan tetapi semua yang dipakai mengandung makna :
1.
Piranti pertama
adalah berupa sesaji atau hardware dalam bentuk makanan yang berisi tumpeng
robyong, jajan pasar, pisang raja, jenang abang putih, boro-boro, palang,
empluk kecil-kecil disisi beras, telur dan bumbu dapur, ayam kampung, satu
butir kelapa yang sudah dikupas. Juplak diisi minyak kepala, kembang telon,
gula Jawa tangkep.
Othak
athik mathuk dari tumpeng adalah “metu dalan kang lempeng’, manusia dalam kehidupannya senantiasa
memperhatikan tata laku yang lurus, menjalankankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dalam Islam disebut sebagai ḥanīf, sebagai aplikaksi dari “ihdina
’ṣ-ṣirāṭa ’lmustaqīm”. Tumpeng robyong
sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan, tumpeng robyong ini bentuknya semakin estetis karena
terdiri dari aneka hiasan dari lombok merah, brambang.
Bawang dan ada hiasan sayur sayurannya sehingga terlihat indah. Jajan pasar adalah simbol pengingat akan
kehidupan dunia yang seperti saat ini. Sebagai
manusia, kita seakan diingatkan agar mampu melihat kenyataan dunia dan tidak mudah larut sehingga penting
bagi kita selalu ingat pada kehidupan akhirat.
2.
Piranti yang kedua
adalah air siraman: toya pamorsih atau disebut juga banyu perwitosari. Perwita
berarti suci, sari berarti bunga, yakni air yang ditabur bunga sritaman (mawar,
melati dan kenanga). Asal air dapat memilih salah satu dari
(1)
7 sumber dari berbagai tempat
(2)
air dari keraton
(3)
air tempuran (pertemuan dua hilir sungai)
(4)
berbagai sendang atau sumber tua, sumur sumur tua yang air nya tidak pernah surut /kering. Untuk yang beragama Islam biasanya memasukkan
air Zam-Zam
sebagai salah satu dari 7 mata air tersebut.
3.
Piranti ketiga
adalah bunga sritaman (mawar, melati dan kenanga) secara simbolik melambangkan
keharuman. Secara fisik keharuman bunga tersebut dapat meresap ke tubuh calon
pengantin. Secara simbolik bunga sritaman calon pengantin diharapkan memliki
keharuman nama, dapat dicontoh oleh sesama seperti pepatah: “Gajah mati
meningalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan
nama.”
4.
Piranti keempat
berupa alas duduk :
(a) kloso
blangko (klasa/tikar pandan dengan anyaman besar)
(b) godhong
(dedaunan): apa-apa, kluwih, alang-alang, kara dhadha serep, eri kemarung, maja, dlingo belengkle
dibungkus mori putih
(c) kain
tutup letrek jingo, bangun tlak sindhur liwatan, sembagi, yuyu sakandhang, sekar mayang, lurih
pulowatu.
Kloso
blangko melambangkan harapan bahwa calon
pengantin kelak dapat hidup bersahaja, walaupun bergelimang kemewahan, tidak berfoya-foya. Daun apa-apa
melambangkan harapan agar perhelatan tidak aral
melintang suatu apapun. Alang-alang melambangkan harapan agar perhelatan tidak
ada halangan apapun atau ora ono opo-opo “tidak ada halangan apa-apa”. Daun
kara melambangkan harapan segala sikara (cobaan) atau sukreta (siksaan,
rintangan, sakit) harus dihadapi dengan tegar dan dihilangkan. Hidup ini tidak
akan lepas dari cobaan (sikara). Daun kluwih melambangkan harapan calon
pengantin diberi kelebihan prestasi, sosial ekonomi, pangkat, jabatan, karier,
kewibawaan, dsb. Daun dhadhap serep melambangkang harapan kehidupan calon
pengantin penuh dengan ketrenteraman adhem ayem (konon daun dhadhap serep dapat
menurunkan panas). Duri kemarung, maja dan dlingo bengkle sebagai penolak bala
agar kehidupan calon pengantin dijauhkan dari mara bahaya. Mori putih
melambangkan kesucian dan kepasrahan kepada Tuhan.
5.
Piranti kelima
dua kelapa hijau (cengkir) yang diikat sabutnya melambangkan calon pengantin
senantiasa berdua, seia sekata, terikat tali kasih dan sayang hingga akhir
hayat, juga melambangkan kedua calon besan bersatu tekad untuk menikahkan
puta-putrinya.
6.
Piranti keenam
konyoh mancawarna lulur terbuat dari tepung beras dan kencur serta bahan
pewarna :
(a) tepung
konyoh lima warna
(b) ron
kemuning
(c) mangir.
Konyoh
lima warna melambangkan kemanunggalan warna cahaya (pamor) sarana pambukaning
pamor “sarana pembuka aura” agar segala unsur cahaya berkumpul dan membuahkan
cahaya pamor sehingga calon pengantin tampak lebih cantik (wanita) atau tampan
(pria). Secara simbolik konyoh manca warna lulur bermakna agar segala cahaya
menyatu di tubuh calon pengantin sehingga calon pengantin tampak berwibawa dan
indah untuk dipandang.
7.
Piranti ketujuh sehelai
kain motif batik grompol yang dipakai oleh ibu pengantin perempuan. Filosofi
batik grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain batik
grompol ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik seperti rezeki,
keturunan, dan kebagaiaan hidup dan motif nagasari atau motif lain, seperti
sidoluhur, sidomukti, semenrama, sidoasih, dsb.
Kesimpulan
Siklus
kehidupan yang mencakup kelahiran, pernikahan dan kematian merupakan momentum
yang sangat penting, baik bagi yang mengalami, keluarga, maupun orang di
sekelilingnya, termasuk masyarakat Jawa sebagai sebuah etnis yang memiliki
ritual-ritual siklus kehidupan tersebut dalam hal ini adalah siraman yang
dilakukan calon pengantin sehari sebelum hari ijab dan qabul. Siraman sebagai
upacara adat yang dilakukan memiliki alur rangkaian acara yang pakem “sudah mapan”
sehingga susunan acaranyapun sudah mapan.
Diawali
dari adanya sungkeman atau pangakbeten calon pengantin kepada kedua orangtuanya
sampai tata cara siapa urut-urutan siapa yang memandikan, sebab semuanya
memiliki makna dan simbol. Sama seperti halnya upacara-upacara adat yang lain,
siraman inipun juga membutuhkan berbagai ubarampe, yang masing-masing ubarampe
memiliki makna.
Jika disimpulkan semua ubarampe memberikan
makna yang sesuai dengan asas dasar falsafah Jawa yaitu asas dasar
ber-Ketuhanan, aras dasar dengan semesta dan aras dasar keberadaan manusia,
bahwa manusia Jawa selalu ingat akan Tuhan sebagai tempat untuk memohon, adanya
keinginan untuk selalu hidup bersama dengan manusia yang lain dengan budi
pekerti yang baik dan hidup selaras dengan alam semesta. Pertemuan antara
filsafat sebagai pandangan hidup manusia Jawa dengan budaya dan Islam sebagai
agama mayoritas yang di anut oleh masyarakat Jawa, memberikan warna tersendiri.
Dengan menggunakan pemahaman secara filsafat dan pandangan Islam terhadap
katakteristik budaya Jawa maka ketiga saling memiliki hubungan antara satu
dengan yang lainnya. Termasuk di dalam budaya siraman terdapat saling hubungan
antara nilainilai filasafat Jawa dengan ajaran-ajaran Islam, terlepas dari
persoalan syirik dan tidak syirik.
LAMPIRAN

SIRAMAN pengantin pria

pengantin wanita dengan kembang 7 rupa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar