Devi Puspitasari
2017015040
Program
Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
Abstrak: Dalam rangkaian
menyambut Bulan Suci Ramadhan, ummat islam di Nusantara memiliki beraneka ragam
cara dan tradisi. Khususnya bagi masyarakat Jawa. Tujuan artikel ini untuk
mengupas lebih dalam tentang kebudayaan di beberapa daerah yang dilakukan oleh
masyarakat setempat untuk menyambut bulan Bulan Suci Ramadhan. Indonesia kaya
akan variasi tradisi/budaya, baik keagamaan, kedaerahan, maupun perpaduan
antara keagamaan dan kedaerahan. Zaman dahulu, tradisi padusan ini dilakukan
dengan mendatangi sumber mata air murni yang dipercaya warga dapat mendatangkan
berkat. Selain itu, Dahulu acara ini sangat sakral karena diadakan di
kolam-kolam masjid atau mata sir tertentu yang ditunjuk dan dilakukan terpisah
antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman dan
pergantian generasi, tradisi sudah banyak mengalami perubahan atau pergeserang
dari makna sosiologisnya yang asli. Tradisi padusan bisa dilakukan di sungai,
kolam, tempat wisata atau bahkan rumah sendiri. Namun demikian, pada suatu
wilayah tertentu masih tetap mempertahankan dan mempercayai adatnya sebagai
peninggalan nenek moyang. Pada puncaknya budaya tersebut akan bisa menjadi ciri
dan kebanggaan daerah, bahkan prosesi ritualnya kemudian menjadi aset wisata.
Zaman dahulu, tradisi padusan ini dilakukan dengan mendatangi sumber mata air
murni yang dipercaya warga dapat mendatangkan berkat. Mereka pun akan mandi
besar, yakni dengan membersihkan badan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Filosofi dari padusan adalah membersihkan diri
sehingga ketika kita melakukan harus benar-benar sesuai dengan ajaran agama.
Kata kunci : Bulan Suci
Ramadhan, Padusan.
Pendahuluan
Bagi umat Islam
berkewajiban untuk menyempurnakan rukun islam, salah satunya dengan berpuasa di
bulan Ramadhan. Berpuasa di bulan Ramadhan dengan tujuan agar umat Islam
bertambah ketaqwaannya kepada Allah, mematuhi perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Selain itu berpuasa juga bertujuan untuk menahan hawa nafsu
manusia.
Tujuan artikel
ini untuk mengupas lebih dalam tentang kebudayaan di beberapa daerah yang
dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menyambut bulan Bulan Suci Ramadhan.
Para ahli
kesehatan berpendapat bahwa berpuasa di bulan Ramadhan memiliki beberapa
manfaat diantaranya adalah: menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah,
mengurangi kegemukan, sehat bagi ginjal, membantu melawan penyebaran sel-sel
kanker dan tumor, mengeluarkan racun melalui aliran darah, memperlambat
penuaan, mencegah diabetes dan mencerdaskan otak. Dengan memahami manfaatnya,
umat Islam akan semakin mantap untuk menunaikan ibadah puasa.
Namun, sebelum
berpuasa umat Islam perlu mensucikan batin dan raga. Mensucikan batin dengan
membangun niat dan motivasi yang kuat dalam berpuasa. Mensucikan raga dengan
membersihkan sekujur tubuh dengan air suci. Salah satunya dengan padusan.
Tradisi padusan
merupakan tradisi sambut bulan puasa yang dilakukan oleh masyarakat umat Muslim
yang berada di Jawa Tengah dan juga DIY. Tradisi ini dilakukan dengan cara
mandi atau berendam di kolam masjid, laut atau di sumber-sumber air yang
dianggap keramat.
Pembahasan
Bulan puasa
adalah bulan yang penuh berkah sekaligus mempunyai keistimewaan sendiri. Karena
menurut filosofi Jawa khususnya, puasa merupakan laku prihatin dan sarana untuk
mendekatkan diri pada tuhan, demi mencapai derajat. Tradisi merupakan suatu
ritual yang dianggap penting dan dilakukan rutin dalam jangka waktu tertentu di
tanggal dan bulan tertentu. Bukan hanya padusan, ada ritual lain yaitu nyadran.
Setelah
melaksanakan nyadran, masyarakat Jawa biasanya melakukan pencucian diri melalui
ritual yang disebut padusan. Prosesinya dimulai dengan mengguyurkan kepala
dengan satu gayung air kembang. Setelah itu, sebuah wadah dari tanah liat yang
juga berisi air dan kembang dibanting di depan kolam tempat padusan, sebagai
penutup ritual.
Tradisi padusan
merupakan tradisi sambut bulan puasa yang dilakukan oleh masyarakat umat Muslim
yang berada di Jawa Tengah dan juga DIY. Tradisi ini dilakukan dengan cara
mandi atau berendam di kolam masjid, laut atau di sumber-sumber air yang
dianggap keramat.
Padusan berasal
dari kata adus, yang berarti mandi. Padusan dalam hal ini bermakna proses
proses aktivitas mandi. Dalam pengertian budaya, tradisi padusan yang berasal
dari Wali Songo ini merupakan tradisi masyarakat untuk membersihkan diri atau
mandi besar dengan maksud mensucikan raga dan jiwa dalam rangka menyambut
datangnya hari ataupun bulan istimewa, seperti bulan Ramadhan, Hari Raya Idul
Fitri, dan Hari Raya Idul Adha.
Sukijo Utomo
(29/04/19), warga daerah setempat mengemukakan bahwa tujuan dari padusan yang
dilaksanakan sehari sebelum puasa Ramadhan yaitu untuk membersihkan diri dan
hatinya dari kotoran-kotoran / dosa yang selama manusia hidup agar sewaktu
berpuasa mereka dalam keadaan yang bersih dan semakin bertambah keimanannya.
Dalam Agama
Islam, tradisi padusan atau balimau sebenarnya tidak ada. Di dalam Al-Quran
atau Hadist tidak tercantum perintah untuk melakukan padusan sebelum puasa. Ini
adalah murni tradisi yang berkembang di masyarakat Jawa. Karena padusan adalah
sebuah tradisi, maka tidak ada keharusan untuk melakukan padusan sehari sebelum
memasuki bulan Ramadhan.
Sejarah Zaman dahulu,
tradisi padusan ini dilakukan dengan mendatangi sumber mata air murni yang
dipercaya warga dapat mendatangkan berkat. Mereka pun akan mandi besar, yakni
dengan membersihkan badan dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Di Daerah
Istimewa Yogyakarta, tradisi padusan sudah ada semenjak pemerintah Hamengku
Buwono I. Tradisi ini dulu rutin diadakan sehari sebelum puasa di kolam-kolam
masjid dan sumber mata air yang ditentukan oleh Keraton. Biasanya yang
melaksanakan padusan pun hanya laki-laki dengan menceburkan diri mereka ke
kolam dengan bermain air di dalam kolam tersebut. Sedangkan wanita dewasa tidak
melakukan tradisi padusan bersama laki-laki di kolam tersebut.
Makna simbolis padusan, sebagai
persiapan fisik dan batiniah agar hati menjadi bening, bersih dan suci,
sehingga ketika berpuasa tidak digoda nafsu jahat dan hina. Filosofi dari
padusan adalah membersihkan diri sehingga ketika kita melakukan harus
benar-benar sesuai dengan ajaran agama. Misalnya, berpakaianlah yang sopan
serta tidak bercampur dengan lawan jenis. Dengan demikian, makna tradisi
padusan tetap terjaga meski zaman sudah berubah.
Biasanya warga
mendatangi sumber mata air yang ditunjuk sebagai mata air bersih sebagi simbol
pembersihan badan tersebut sebagai cara untuk mensucikan diri sehingga bersih
secara lahir dan batin. Tradisi ini dilakukan dengan berendam atau mandi di
sumur-sumur atau sumber mata air.
Faktanya, pada
zaman yang modern ini, tradisi padusan berubah drastis. Seminggu sebelum
Ramadhan, sudah penuh dengan pengunjung. Hal ini karena Pemda setempat (Jawa
Tengah dan DIY) biasanya mengagendakan tradisi ini sebagai acara rutin setiap
tahun. Bahkan untuk menambah semakin meriahnya acar padusan, berbagai acarapun
digelar seperti pasar rakyat dan pentas dangdut.
Pada golongan
orang tua, mereka telah melaksanakan padusan setiap tahunnya, dari kecil hingga
usia matang mereka. Dan pada umumnya, mereka telah benar-benar memahami dan
menghayati nilai-nilai yang terselubung dibalik pelaksanaan ritual padusan.
Namun, tidak semua golongan pertama ini benar-benar mengerti akan tradisi ini,
tujuan yang terkandung di dalamnya, juga kearifan lokal dalam tradisi tersebut.
Sedangkan pada
golongan muda, umumnya telah pudarnya nilai-nilai adat istiadat pada
ritual-ritual nenek moyang termasuk padusan. Sebagai contoh anak muda lebih
cenderung melakukan ritual padusan di tempat-tempat ramai, unsur ikut-ikutan
dan mengutamakan unsur rekreasi dan main-main lebih dominan dibanding dengan
menghayati nilai-nilai dan kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi ini.
Dahulu acara ini
sangat sakral karena diadakan di kolam-kolam masjid atau mata air tertentu yang
ditunjuk dan dilakukan terpisah antara laki-laki dan perempuan. Namun sekarang
bisa dilakukan di sungai, kolam, tempat wisata atau bahkan rumah sendiri.
Serangkaian
tradisi Jaawa menjelang puasa itu memiliki kearifan yang dalam. Pertama, sebagai sarana menciptakan
relasi sosial kemasyarakatan (horizontal) yang harmonis. Nyadran misalnya,
tidak sekedar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan
kenduri, dan membuat kue apem. Tetapi lebih menjelma ke ajang silaturahmi,
wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa dan rasa kebangsaan.
Itu terlihat dalam prosesi nyadran, dimana kelompok-kelompok keluarga atau trah
tertentu, berkumpul menjadi satu, saling mengasihi satu sama lain.
Kedua, wujud
penghargaan kepada leluhur atau pendahulu. Mereka yang pulang dari rantau
mengaitkan nyadran dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin, membangun
tempat ibadah. Kegiatan tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan
leluhur, yang sudah mendidik hingga menjadi orang yang sukses.
Ketiga,budaya
membersihkan jasmani dan rohani ketika hendak beribadah atau mendekatkan diri
kepada Tuhan. Kebersiahan jasmani melalui ritual padusan diharapkan akan
menyucikan hati dari segenap perasaan iri, dengki, dan takabur.
Tradisi Jawa
menjelang pelaksanaan patut dipertahankan. Bukan hanya berbagai kearifan lokal
yang terkandung di dalamnya, lebih dari itu sebagai wujud pelestarian budaya
peninggalan nenek moyang.
Pada tanggal 5
Mei 2019 kemarin, masyarakat Jawa, khususnya Klaten, melakukan tradisi padusan
di Umbul Brintik. Lokasi Umbul Brintik tak jauh dari pusat wisata Umbul Pluneng
yang hanya berjarak kira-kira 3-4 kilometer saja. Umbul Brintik terletak di
Desa Malangjiwan, Kecamatan Kebonarum, yang bisa ditempuh dengan mudah dari
pusat kota Klaten.
Masyarakat hanya
perlu menempuh jarak 5 kilometer saja setelah melewati Pabrik Gula Gondang. Dan
hanya dikenakan biaya senilai 5 ribu rupiah per orang untuk melakukan tradisi
padusan sekaligus menikmati momen bersama keluarga.
Kesimpulan
Tradisi padusan
merupakan tradisi sambut bulan puasa yang dilakukan oleh masyarakat umat Muslim
yang berada di Jawa Tengah dan juga DIY. Tradisi ini dilakukan dengan cara
mandi atau berendam di kolam masjid, laut atau di sumber-sumber air yang
dianggap keramat.
Sejarah Zaman dahulu, tradisi padusan ini
dilakukan dengan mendatangi sumber mata air murni yang dipercaya warga dapat
mendatangkan berkat. Mereka pun akan mandi besar, yakni dengan membersihkan
badan dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Makna simbolis
padusan, sebagai persiapan fisik dan
batiniah agar hati menjadi bening, bersih dan suci, sehingga ketika berpuasa
tidak digoda nafsu jahat dan hina. Filosofi dari padusan adalah membersihkan
diri sehingga ketika kita melakukan harus benar-benar sesuai dengan ajaran
agama.
Tradisi Jawa
menjelang pelaksanaan patut dipertahankan. Bukan hanya berbagai kearifan lokal
yang terkandung di dalamnya, lebih dari itu sebagai wujud pelestarian budaya
peninggalan nenek moyang.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di
atas.
Daftar Pustaka
Widyastutik,
Retno. 2010. Pandangan Masyarakat
Mengenai Tradisi Padusan. Universitas Sebelas Maret.
Hasan, Djafar.
1993. Sejarah Keudayaan Jawa. Jakarta:
CV. Manggala Bhakti. Hal.37-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar