Nama :
Hasna Fauza Fatwa
Nim :
2017015017
Abstrak
Siraman (mandi)
merupakan upacara adat Jawa yang dilakukan sehari sebelum pengantin
melaksanakan ijab qabul. Dalam upacara siraman tata cara pelaksanaan dan
peralatan (ubarambe) yang digunakan sudah maton/pakem sebagai sebuah simbol
yang memiliki arti dan makna. Makna dan arti simbol dalam siraman tidak
terlepas dari konteks Jawa. Model pendekatan fenomenologis, dan kemudian secara
filosofis menggunakan metode hermeneutik diinterpretasikan secara komprehensif
agar makin jelas arti dan makna sehingga akan lebih mudah memberikan pemahaman
tentang saling hubungan (interelasi) antara filsafat dan budaya.
PENDAHULUAN
Setiap etnis
memiliki budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap budaya memiliki
kekhasan yang sering disebut local culture, nilai-nilai yang dimiliki oleh
local culture ini kemudian dapat menjadi bersifat local indigenious yang
dijalankan oleh masyarakat. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat etnis Jawa yang
memiliki budaya yang khas dan menjunjung tinggi sifat-sifat dan nilai-nilai
luhur local indigenious dari kebudayaan yang dimilikinya. Budaya Jawa merupakan
salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena dimiliki sebagian
etnis terbesar di Indonesia. Kehidupan masyarakat Jawa sangat bersifat
seremonial, mereka selalu ingin meresmikan suatu keadaan melalui upacara.
Upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Jawa berkaitan dengan siklus
kehidupan manusia. Upacara-upacara ini dilakukan dalam rangka membereskan suatu
keadaan untuk mencapai tujuan. Upacara-upacara ini termasuk adat istiadat yang
sifatnya sakral baik mengenai niat, tujuan, bentuk upacara, perlengkapan
upacara maupun tata laku pelaksanannya. Sehingga ketika akan melaksanakan
upacara maka membutuhkan persiapan yang benar-benar matang bahkan terkesan
jlimet. Salah satu seremonial yang bersifat adat istiadat yang biasa dilakukan
oleh masyarakat Jawa ketika akan menikahkan putra-putrinya adalah
menyelenggarakan upacara siraman-nya itu disiram atau dimandikan. Siraman
merupakan mandi ritual dimaksudkan agar calon pengantin menjadi bersih secara
spiritual dan berhati suci. Di dalam upacara siraman ini memiliki tata urutan
dan perlengkapan (ubarampe) yang sudah ada aturannya (maton/pakem). Nilai-nilai
yang terkandung di dalam setiap rentetean alur pelaksanaan dan peralatannya
semua menjadi penting karena memiliki arti dan makna.
Mempelajari dan
memahami budaya Jawa, ibarat memasuki hutan yang rimbun, di dalamnya penuh
tantangan, keunikan dan sekaligus daya tarik yang menggoda. Sadar atau tidak,
banyak falsafah dalam budaya Jawa yang masih memiliki denyut aktualitas. Tidak
semua falsafah Jawa usang, tetapi jika dilakukakan reaktualisasi akan semakin
ada kejelasan makna. Hutan simbol rimbun yang penuh dengan isyarat semu, yang
antik, yang artistik, yang memiliki nilai estetik dan nilai etik tidak akan
dapat ditangkap arti dan maknanya apabila tidak diungkap secara komprehensif,
bahkan bisa jadi menyebabkan pemahaman yang sepotong-potong atau hanya
tertangkap kulitnya saja. Banyak orang yang melihat dan melakukan adat upacara
siraman ketika ada prosesi upacara perkawinan, tetapi banyak juga yang tidak
tahu makna, arti dan tujuannya, padahal di dalamnya syarat dengan simbol yang
perlu dipahami. Masing-masing simbol dalam alur rentetan pelaksanaan dan
peralatannya penuh makna maka harus dilakukaan sebuah kajian agar makna dan
simbol menjadi jelas arti, maksud dan tujuannya, sehingga upacara siraman tidak
saja dijadikan lambang kemegahan bagi yang punya hajat dan status sosial dimana
seseorang berada,8 tetapi upacara siraman diadakan dalam rangka melestarikan
adat istiadat yang di dalamnya memang sarat dengan makna. Upacara siraman yang
di dalamnya memuat nilai-nilai filosofis dan nilai agama (religi), terlepas
dari persoalan pro dan kontra, syirik atau tidak syirik, inilah sebuah
kenyataan bahwa budaya siraman ini ada di masyarakat Jawa dan dijalankan oleh
masyarakat Jawa. Dalam rangka mengungkap makna simbolis yang terdapat dalam
upacara siraman yang penuh dengan simbolsimbol dan butuh pemaknaan ini, maka
sebuah penelitian tentang upacara siraman penting dilakukan agar masyarakat
yang melakukan upacara ini paham akan apa yang dilakukan.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Siraman
Siraman,berasal
dari kata siram yang artinya mengguyur atau mandi. Banyak sekali ritual mandi
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama ketika akan melakukan sebuah
upacara budaya yg dilakukan Sepasang pengantin yang akan melangsungkan ijab
qabul sehari sebelumnya dianjurkan untuk melakukan upacara siraman. Mandi dalam
kehidupan sehari-hari dilakukan agar orang menjadi bersih badannya, segala
kotoran yang melekat di badan akan hilang tersapu air dan sabun. Akan tetapi
hakikat dari mandi (siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak hanya
sekedar membersihkan wadag badan tetapi juga membersihkan jiwa. Membersihkan
diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik. Membersihkan segala
gangguan agar supaya pada saat prosesi ijab qabul tidak lagi ada aral yang
melintang. Pengantin agar dapat memulai hidup baru dengan keadaan yang bersih
dan suci. Secara rasional siraman (mandi) mempunyai pengaruh secara fisik,
badan yang loyo akan menjadi segar apabila terkena siraman air, indera
penciuman akan terpuaskan dengan wanginya bunga-bunga sritaman, indera peraba
dapat menikmati segarnya air yang menyapu tubuh, indera penglihatan menjadi
bahagia melihat air yang diberi berbagai macam bunga dan biasanya dengan
diiringi musik gamelan maka gelombang otakpun menjadi lebih tenang.
2. Pelaksanaan
Upacara Siraman
Upacara siraman
dilakukan antara pukul 10.00 – 15.00 sehari sebelum upacara panggih. Konon para
bidadari turun mandi bersama bersuka ria kirakira pukul 11.00 pagi. Agar dapat
secantik dan seceria bidadari, maka calon pengantin mandi pukul 11 siang.
Namun, ada pula calon pengantin yang mandi sekitar pukul 15.00 demi
kepraktisan. Pengantin diibaratkan
sebagai seorang yang cantik menawan, sehingga untuk mandi saja waktunya
disamakan dengan bidadari. Makna visual bidadari itu adalah wanita suci yang
menyenangkan dipandang mata, menyejukkan dilihatnya, menentramkan hati setiap
memandangnya. Rupanya cantik jelita, kulitnya mulus, memiliki akhlak yang
mulia. Waktu antara pukul 10.00 - 15.00 adalah waktu setiap hari dimana
pengaruh matahari paling besar.Mandi di udara terbuka diharapkan dapat menyerap
energi matahari, semangat dan stamina untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi
prosesi ritual pernikahan yang panjang.
Sekarang demi
kepraktisan dan efisiensi waktu yang biasa dipakai untuk melakukan siraman
adalah pukul 15.00. Dengan demikian calon pengantin putri tidak perlu terlalu
lama menunggu di dalam kamar. Selain itu, para perias bersama petugas pendukung
(kameraman, fotografer, pranata adicara) juga tidak banyak membuang waktu. Upacara
dilangsungkan secara terus menerus (banyu mili). Dengan demikian, pemangku
hajat juga menghemat biaya mewakili nilai ekonomi sebab waktu tidak banyak yang
terbuang, dari ongkos kameramen, pranata adicara karena kerjanya hanya setengah
hari maka diasumsikan lebih murah, dengan bayu mili, terus menerus sehingga
hajatan cepat selesai.
3.
Tujuan Siraman
Tujuan diadakannya
siraman yaitu dalam rangka memohon berkah dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa agar
calon pengantin dibersihkan dari segala godaan dan pengaruh buruk, sehingga
dapat melaksanakan upacara hingga selesai dengan lancar dan selamat. Selain
itu, calon pengantin juga selamat dalam membangun rumah tangga dan dapat
mencapai tujuan pekawinan. upacara siraman dilakukan dalam rangka membersihkan
segala “kotoran /rereged” hingga bersih (resik) seutuhnya, resik jiwa dan resik
raga. Ini sebagai simbolik bahwa pengantin bertekad untuk berperilaku bersih,
baik dalam bertutur kata maupun bertindak. Bersih dalam pikir (cipta), bersih
dalam hati (rasa), bersih dalam bertindak (karsa). Di samping itu juga siraman
atau mandi dimaksudkan untuk menyegarkan badan, selain segar secara fisik, juga
mengandung harapan segar secara psikologis, artinya menyiapkan dan menyegarkan
jiwa untuk melangkah pada kehidupan yang baru. Harus ada proses penyelarasan
diri, masing-masing berusaha untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya.
4.
Pelaksana Siraman
Pelaku siraman
selain orangtua sendiri, adalah para sesepuh atau anggota keluarga yang
dianggap pantas dan dipilih sebab mengandung maksud dan tujuan. Dipilih sesepuh
yang jangkep (masih bersuami istri, bukan duda atau janda) jika terpaksa harus
dilakukan duda dan janda maka duda dan janda yang cerai karena meninggal maksud
dan tujuannya agar sepasang pengantin ini panjang umur perkawinannya tidak akan
berpisah di tengah jalan, sampai kaken ninen (kakek nenek). Selain itu ada
sesepuh yang dipilih adalah keluarga atau orang-orang yang sukses dalam
hidupnya, misalnya sukses karier, sukses mendidik anak, bahagia dalam keluarga.
Harapannya adalah agar keberhasilan atau kesuksesan para sesepuh yang
memberikan siraman dapat diikuti jejaknya oleh para calon pengantin.
Kebahagiaan dunia dalam bentuk sukses dalam karier maupunsukses dalam mendidik
anak merupakan harapan bagi semua orang termasuk manusia Jawa, sebab
kebahagiaan dunia ini akan dipakai untuk mencari kebahagiaan akhirat. Pelaku siraman berjumlah ganjil misalnya 5,
7, 9, 11 atau 13.Umumnya pelaku siraman yang paling dipilih adalah 7. Konon
Tuhan yang Maha Esa menyukai bilangan ganjil. Tujuh (pitu) bermakna pitulungan
(pertolongan). Ini menggandung harapan calon pengantin dalam hidupnya nanti
senantiasa mendapatkan pertolongan dari Tuhan dan sesama dan calon pengantin
senantiasa memberikan bantuan kepada orang lain. Mengandung piwulang kautaman
ada konsep saling memberi dan menerima pitulungan, melakukan siraman tidak saja
harapan bagi yang melakukan tetapi harapan semua orang sebab nantinya pengantin
dapat juga memberi pitungan kepada orang lain selain juga mendapatkan pengantin
mendapatkan pitumgan dari Tuhan. Angka pitu yang kemudian menjadi pitulungan
merupakan proses othak athik mathuk, proses ini sangat lumprah/ kebiasaan yang
ada di budaya Jawa. Angka 7 inipun juga nanti akan muncul ketika siraman
dilakukan dengan mencampurkan bermacam-macam air yang berjumlah 7 macam yang
berasal dari 7 sumber mata air. Betapa pentingnya pitulungan bagi orang Jawa.
5.
Ubarampe Siraman
Dalam
siraman terdapat peralatan (piranti/ubarampe) yang harus dipersiapkan. Piranti
tersebut tidak asal piranti akan tetapi semua yang dipakai mengandung
makna. Piranti pertama adalah berupa sesaji atau hardware dalam bentuk
makanan yang berisi tumpeng robyong, jajan pasar, pisang raja, jenang abang
putih, boro-boro, palang, empluk kecil-kecil disisi beras, telur dan bumbu
dapur, ayam kampung, satu butir kelapa yang sudah dikupas. Juplak diisi minyak
kepala, kembang telon, gula Jawa tangkep. Othak
athik mathuk dari tumpeng adalah “metu dalan kang lempeng’, manusia dalam
kehidupannya senantiasa memperhatikan tata laku yang lurus, menjalankankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dalam Islam disebut sebagai ḥanīf, sebagai
aplikaksi dari “ihdina’s siratal’lmustaqīm”. Tumpeng robyong sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan,
tumpeng robyong ini bentuknya semakin estetis karena terdiri dari aneka hiasan
dari lombok merah, brambang. Bawang dan ada hiasan sayur sayurannya sehingga
terlihat indah. Jajan pasar adalah
simbol pengingat akan kehidupan dunia yang seperti saat ini. Sebagai manusia,
kita seakan diingatkan agar mampu melihat kenyataan dunia dan tidak mudah larut
sehingga penting bagi kita selalu ingat pada kehidupan akhirat. Jajan pasar ini
juga sebagai lambang sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturahmi). Pasar
dianggap sebagai tempat selain untuk praktek ekonomi juga untuk tempat
bertemunya banyak orang. Pisang raja dimaksudkan agar mempelai memiliki sifat
seperti raja yang ambeg adil paramarta berbudi bawa leksono, menjadi orang
adil, berbudi luhur dan menepati janji. Hal ini merupakan pelajaran etika
kehidupan, agar pengantin memiliki watak seperti pisang yang dapat hidup dimana
saja (ajur ajer). Selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Semua
bagian dari pisang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Buahnya dapat dinikmati
oleh manusia dengan kandungan gizi dan vitamin yang cukup. Daunnya dapat
dipakai sebagi pembungkus makanan, sementara pada zaman dulu daun pisang ini
oleh orang desa dipakai sebagai pelindung ketika hujan. Gedebok pisang dapat
dipakai sebagi pupuk dan keranjang tembakau. Bonggolnya pun dipakai ketika
orang Jawa mengadakan perhelatan sebagai tungku membuat jenang /dodol.
Piranti yang kedua
adalah air siraman: toya pamorsihatau disebut juga banyu perwitosari. Perwita
berarti suci, sari berarti bunga, yakni air yang ditabur bunga sritaman (mawar,
melati dan kenanga). Asal air dapat memilih salah satu dari:
a.
7 sumber dari berbagai tempat
b.
Air dari keraton
c.
Air tempuran (pertemuan dua hilir
sungai)
d.
Berbagai sendang atau sumber tua,
sumur sumur tua yang air nya tidak pernah surut /kering.
Untuk yang beragama
Islam biasanya memasukkan air Zam-Zam sebagai salah satu dari 7 mata air
tersebut. Air berjumlah tujuh melambangkan harapan hidup yang dapat saling
menolong (mitulungi, pitulungan). Air keraton yang diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi rakyat atas kewibawaan dan kemakmuran raja (sawab). Air tempuran
melambangkan pertemuan dua insan (calon pengantin pria dan wanita). Air sumber
tua yang tidak pernah kering melambangkan hidup calon penganten dapat
memberikan penghidupan seperti layaknya air yang tidak pernah kering, rezeki
terus mengalir, kemuliaan terusdidapat, dan yang tua dapat memberikan
pengayoman kepada yang lebih muda. Dalam mistik Jawa air yang mengalir
merupakan simbol dari kehidupan sebab air akan menjadikan tanah menajdi subur,
sehingga mayarakat menjadi sejahtera. Air yang yang memberikan kehidupan tetapi
sekaligus juga dapat mematikan, air sangat dibutuhkan oleh manusia akan tetapi
jika terlalu banyak air (banjir) maka akan menjadi bencana mematikan.
Piranti ketiga
adalah bunga sritaman (mawar, melati dan kenanga) secara simbolik melambangkan
keharuman. Secara fisik keharuman bunga tersebut dapat meresap ke tubuh calon
pengantin. Secara simbolik bunga sritaman calon pengantin diharapkan memliki
keharuman nama, dapat dicontoh oleh sesama seperti pepatah: “Gajah mati
meningalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan
nama.” Bunga memiliki makna filosofis bagi orang Jawa agar kita dan keluarga
senantiasa mendapatkan “keharuman”. Keharuman merupakan kiasan dari
berkah-syafa’at yang berlimpah dari para leluhur, dapat mengalir (sumrambah)
kepada anak turunnya. Masing-masing aroma bunga, dapat menjadi ciri khas
masing-masing leluhur. Desa mawa cara, negara mawa tata. Beda daerah, beda
masyarakatnya, beda leluhurnya, beda pula tradisi dan tata cara
penghormatannya. Bahkan aroma khas bunga serta berbagai jenis dedaunan tertentu
sering menjadi penanda bau khas salah satu leluhur kita. Bila bau harum bunga
tiba-tiba hadir di sekitar anda, kemungkinan besar ada salah satu leluhur anda
yang hadir di dekat anda berada.
Piranti keempat
berupa alas duduk:
a.
Kloso blangko (klasa/tikar pandan
dengan anyaman besar)
b.
Godhong (dedaunan): apa-apa,
kluwih, alang-alang, kara dhadha serep, eri kemarung, maja, dlingo belengkle
dibungkus mori putih
c.
Kain tutup letrek jingo, bangun
tlak sindhur liwatan, sembagi, yuyu sakandhang, sekar mayang, lurih pulowatu.
Klasa blangko
adalah lambang harapan bahwa calon pengantin kelak dapat hidup bersahaja,
walaupun bergelimang kemewahan, tidak berfoya-foya. Daun apa-apa melambangkan
harapan agar perhelatan tidak aral melintang suatu apapun. Alang-alang
melambangkan harapan agar perhelatan tidak ada halangan apapun atau ora ono
opo-opo “tidak ada halangan apa-apa”. Daun kara melambangkan harapan segala
sikara (cobaan) atau sukreta (siksaan, rintangan, sakit) harus dihadapi dengan
tegar dan dihilangkan. Hidup ini tidak akan lepas dari cobaan (sikara). Daun
kluwih melambangkan harapan calon pengantin diberi kelebihan prestasi, sosial
ekonomi, pangkat, jabatan, karier, kewibawaan, dsb. Daun dhadhap serep
melambangkang harapan kehidupan calon pengantin penuh dengan ketrenteraman adhem
ayem (konon daun dhadhap serep dapat menurunkan panas). Duri kemarung, maja dan
dlingo bengkle sebagai penolak bala agar kehidupan calon pengantin dijauhkan
dari mara bahaya. Mori putih melambangkan kesucian dan kepasrahan kepada Tuhan.
Piranti kelima; dua
kelapa hijau (cengkir) yang diikat sabutnya melambangkan calon pengantin
senantiasa berdua, setia sekata, terikat tali kasih dan sayang hingga akhir
hayat memisahkan, juga melambangkan kedua calon besan bersatu tekad untuk
menikahkan puta-putrinya. Cengkir alias kelapa muda diterjemahkan sebagai
kencenging pikir atau tekad yang keras. Selain itu cengkir merupakan simbol
dari kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan. Tebu diartikan
sebagai antebing kalbu. Tebu yang rasanya manis adalah suatu pengharapan agar
dalam kehidupannya pasangan pengantin ini selalu merasakan yang manis-manis,
kegembiraan, terjauhkan dari kesusahan. Tebu juga dimaksudkan sebagai lambang
hidup manusia, kesuksesan hidup manusia harus dibangun dengan akar yang kuat
(akar tebu), melalui rintangan dan pengalaman hidup (ruas tebu), sampai
terjadinya kesuksesan (tebu yang menjulang tinggi). Pisang raja yang ayu
disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang tata tentrem kerta rahayu,
kehidupan yang indah, bahagia, tentram dan sejahtera. Makna dipilihnya pisang
yang sudah masak adalah agar pasanganyang akan menikah telah memiliki pemikiran
dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan agar
pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran dan kemuliaan seperti
raja.
Piranti keenam,
konyoh mancawarna lulur terbuat dari tepung beras dan kencur serta bahan
pewarna
a)
Tepung konyoh lima warna
b)
Ron kemuning
c)
Mangir.
Lima warna tersebut melambangkan
kemanunggalan warna cahaya (pamor) sarana pambukaning pamor “sarana pembuka
aura” agar segala unsur cahaya berkumpul dan membuahkan cahaya pamor sehingga
calon pengantin tampak lebih cantik (wanita) atau tampan (pria). Secara
simbolik konyoh manca warna lulur bermakna agar segala cahaya menyatu di tubuh
calon pengantin sehingga calon pengantin tampak berwibawa dan indah untuk
dipandang.
Piranti ketujuh,
sehelai kain motif batik grompol yang dipakai oleh ibu pengantin perempuan.
Filosofi batik grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain
batik grompol ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik seperti
rezeki, keturunan, dan kebagaiaan hidup dan motif nagasari atau motif lain,
seperti sidoluhur, sidomukti, semenrama, sidoasih, dsb.
Dibawah
ini adalah contoh upacara siraman beserta ubarampe nya



KESIMPULAN
Siklus kehidupan
yang mencakup kelahiran, pernikahan dan kematian merupakan momentum yang sangat
penting, baik bagi yang mengalami, keluarga, maupun orang di sekelilingnya,
termasuk masyarakat Jawa sebagai sebuah etnis yang memiliki ritual-ritual
siklus kehidupan tersebut dalam halini adalah siraman yang dilakukan calon pengantin
sehari sebelum hari ijab dan qabul. Siraman sebagai upacara adat yang dilakukan
memiliki alur rangkaian acara yang pakem “sudah mapan” sehingga susunan
acaranyapun sudah mapan. Diawali dari adanya sungkeman atau pangakbeten calon
pengantin kepada kedua orangtuanya sampai tata cara siapa urut-urutan siapa
yang memandikan, sebab semuanya memiliki makna dan simbol. Sama seperti halnya
upacara-upacara adat yang lain, siraman inipun juga membutuhkan berbagai
ubarampe, yang masing-masing ubarampe memiliki makna. Jika disimpulkan semua
ubarampe memberikan makna yang sesuai dengan asas dasar falsafah Jawa yaitu
asas dasar ber-Ketuhanan, aras dasar dengan semesta dan aras dasar keberadaan
manusia, bahwa manusia Jawa selalu ingat akan Tuhan sebagai tempat untuk
memohon, adanya keinginan untuk selalu hidup bersama dengan manusia yang lain
dengan budi pekerti yang baik dan hidup selaras dengan alam semesta. Pertemuan
antara filsafat sebagai pandangan hidup manusia Jawa dengan budaya dan Islam
sebagai agama mayoritas yang di anut oleh masyarakat Jawa, memberikan warna
tersendiri. Dengan menggunakan pemahaman secara filsafat dan pandangan Islam
terhadap katakteristik budaya Jawa maka ketiga saling memiliki hubungan antara
satu dengan yang lainnya. Termasuk di dalam budaya siraman terdapat saling
hubungan antara nilainilai filasafat Jawa dengan ajaran-ajaran Islam, terlepas
dari persoalan syirik dan tidak syirik.
DAFTAR PUSTAKA
Pringgawidagda,
Sumawarna; 2006; Tata Upacara dan Wicara
Pengantin Gaya Yogyakarta
; Yogyakarta; Kanisius.
Irmawati, Waryunah. 2013. “Makna
Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa”. Volume 21 (hlm 321-326). Iain
Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar