Sabtu, 25 Mei 2019

UPACARA SIRAMAN PENGANTIN ADAT JAWA




Nama    : Hasna Fauza Fatwa
Nim        : 2017015017

Abstrak
Siraman (mandi) merupakan upacara adat Jawa yang dilakukan sehari sebelum pengantin melaksanakan ijab qabul. Dalam upacara siraman tata cara pelaksanaan dan peralatan (ubarambe) yang digunakan sudah maton/pakem sebagai sebuah simbol yang memiliki arti dan makna. Makna dan arti simbol dalam siraman tidak terlepas dari konteks Jawa. Model pendekatan fenomenologis, dan kemudian secara filosofis menggunakan metode hermeneutik diinterpretasikan secara komprehensif agar makin jelas arti dan makna sehingga akan lebih mudah memberikan pemahaman tentang saling hubungan (interelasi) antara filsafat dan budaya.

PENDAHULUAN
Setiap etnis memiliki budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap budaya memiliki kekhasan yang sering disebut local culture, nilai-nilai yang dimiliki oleh local culture ini kemudian dapat menjadi bersifat local indigenious yang dijalankan oleh masyarakat. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat etnis Jawa yang memiliki budaya yang khas dan menjunjung tinggi sifat-sifat dan nilai-nilai luhur local indigenious dari kebudayaan yang dimilikinya. Budaya Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena dimiliki sebagian etnis terbesar di Indonesia. Kehidupan masyarakat Jawa sangat bersifat seremonial, mereka selalu ingin meresmikan suatu keadaan melalui upacara. Upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Jawa berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Upacara-upacara ini dilakukan dalam rangka membereskan suatu keadaan untuk mencapai tujuan. Upacara-upacara ini termasuk adat istiadat yang sifatnya sakral baik mengenai niat, tujuan, bentuk upacara, perlengkapan upacara maupun tata laku pelaksanannya. Sehingga ketika akan melaksanakan upacara maka membutuhkan persiapan yang benar-benar matang bahkan terkesan jlimet. Salah satu seremonial yang bersifat adat istiadat yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa ketika akan menikahkan putra-putrinya adalah menyelenggarakan upacara siraman-nya itu disiram atau dimandikan. Siraman merupakan mandi ritual dimaksudkan agar calon pengantin menjadi bersih secara spiritual dan berhati suci. Di dalam upacara siraman ini memiliki tata urutan dan perlengkapan (ubarampe) yang sudah ada aturannya (maton/pakem). Nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap rentetean alur pelaksanaan dan peralatannya semua menjadi penting karena memiliki arti dan makna.
Mempelajari dan memahami budaya Jawa, ibarat memasuki hutan yang rimbun, di dalamnya penuh tantangan, keunikan dan sekaligus daya tarik yang menggoda. Sadar atau tidak, banyak falsafah dalam budaya Jawa yang masih memiliki denyut aktualitas. Tidak semua falsafah Jawa usang, tetapi jika dilakukakan reaktualisasi akan semakin ada kejelasan makna. Hutan simbol rimbun yang penuh dengan isyarat semu, yang antik, yang artistik, yang memiliki nilai estetik dan nilai etik tidak akan dapat ditangkap arti dan maknanya apabila tidak diungkap secara komprehensif, bahkan bisa jadi menyebabkan pemahaman yang sepotong-potong atau hanya tertangkap kulitnya saja. Banyak orang yang melihat dan melakukan adat upacara siraman ketika ada prosesi upacara perkawinan, tetapi banyak juga yang tidak tahu makna, arti dan tujuannya, padahal di dalamnya syarat dengan simbol yang perlu dipahami. Masing-masing simbol dalam alur rentetan pelaksanaan dan peralatannya penuh makna maka harus dilakukaan sebuah kajian agar makna dan simbol menjadi jelas arti, maksud dan tujuannya, sehingga upacara siraman tidak saja dijadikan lambang kemegahan bagi yang punya hajat dan status sosial dimana seseorang berada,8 tetapi upacara siraman diadakan dalam rangka melestarikan adat istiadat yang di dalamnya memang sarat dengan makna. Upacara siraman yang di dalamnya memuat nilai-nilai filosofis dan nilai agama (religi), terlepas dari persoalan pro dan kontra, syirik atau tidak syirik, inilah sebuah kenyataan bahwa budaya siraman ini ada di masyarakat Jawa dan dijalankan oleh masyarakat Jawa. Dalam rangka mengungkap makna simbolis yang terdapat dalam upacara siraman yang penuh dengan simbolsimbol dan butuh pemaknaan ini, maka sebuah penelitian tentang upacara siraman penting dilakukan agar masyarakat yang melakukan upacara ini paham akan apa yang dilakukan.

PEMBAHASAN
1. Pengertian Siraman
Siraman,berasal dari kata siram yang artinya mengguyur atau mandi. Banyak sekali ritual mandi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama ketika akan melakukan sebuah upacara budaya yg dilakukan Sepasang pengantin yang akan melangsungkan ijab qabul sehari sebelumnya dianjurkan untuk melakukan upacara siraman. Mandi dalam kehidupan sehari-hari dilakukan agar orang menjadi bersih badannya, segala kotoran yang melekat di badan akan hilang tersapu air dan sabun. Akan tetapi hakikat dari mandi (siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak hanya sekedar membersihkan wadag badan tetapi juga membersihkan jiwa. Membersihkan diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik. Membersihkan segala gangguan agar supaya pada saat prosesi ijab qabul tidak lagi ada aral yang melintang. Pengantin agar dapat memulai hidup baru dengan keadaan yang bersih dan suci. Secara rasional siraman (mandi) mempunyai pengaruh secara fisik, badan yang loyo akan menjadi segar apabila terkena siraman air, indera penciuman akan terpuaskan dengan wanginya bunga-bunga sritaman, indera peraba dapat menikmati segarnya air yang menyapu tubuh, indera penglihatan menjadi bahagia melihat air yang diberi berbagai macam bunga dan biasanya dengan diiringi musik gamelan maka gelombang otakpun menjadi lebih tenang.
2. Pelaksanaan Upacara Siraman
Upacara siraman dilakukan antara pukul 10.00 – 15.00 sehari sebelum upacara panggih. Konon para bidadari turun mandi bersama bersuka ria kirakira pukul 11.00 pagi. Agar dapat secantik dan seceria bidadari, maka calon pengantin mandi pukul 11 siang. Namun, ada pula calon pengantin yang mandi sekitar pukul 15.00 demi kepraktisan.  Pengantin diibaratkan sebagai seorang yang cantik menawan, sehingga untuk mandi saja waktunya disamakan dengan bidadari. Makna visual bidadari itu adalah wanita suci yang menyenangkan dipandang mata, menyejukkan dilihatnya, menentramkan hati setiap memandangnya. Rupanya cantik jelita, kulitnya mulus, memiliki akhlak yang mulia. Waktu antara pukul 10.00 - 15.00 adalah waktu setiap hari dimana pengaruh matahari paling besar.Mandi di udara terbuka diharapkan dapat menyerap energi matahari, semangat dan stamina untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi prosesi ritual pernikahan yang panjang.
Sekarang demi kepraktisan dan efisiensi waktu yang biasa dipakai untuk melakukan siraman adalah pukul 15.00. Dengan demikian calon pengantin putri tidak perlu terlalu lama menunggu di dalam kamar. Selain itu, para perias bersama petugas pendukung (kameraman, fotografer, pranata adicara) juga tidak banyak membuang waktu. Upacara dilangsungkan secara terus menerus (banyu mili). Dengan demikian, pemangku hajat juga menghemat biaya mewakili nilai ekonomi sebab waktu tidak banyak yang terbuang, dari ongkos kameramen, pranata adicara karena kerjanya hanya setengah hari maka diasumsikan lebih murah, dengan bayu mili, terus menerus sehingga hajatan cepat selesai.
3. Tujuan Siraman
Tujuan diadakannya siraman yaitu dalam rangka memohon berkah dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa agar calon pengantin dibersihkan dari segala godaan dan pengaruh buruk, sehingga dapat melaksanakan upacara hingga selesai dengan lancar dan selamat. Selain itu, calon pengantin juga selamat dalam membangun rumah tangga dan dapat mencapai tujuan pekawinan. upacara siraman dilakukan dalam rangka membersihkan segala “kotoran /rereged” hingga bersih (resik) seutuhnya, resik jiwa dan resik raga. Ini sebagai simbolik bahwa pengantin bertekad untuk berperilaku bersih, baik dalam bertutur kata maupun bertindak. Bersih dalam pikir (cipta), bersih dalam hati (rasa), bersih dalam bertindak (karsa). Di samping itu juga siraman atau mandi dimaksudkan untuk menyegarkan badan, selain segar secara fisik, juga mengandung harapan segar secara psikologis, artinya menyiapkan dan menyegarkan jiwa untuk melangkah pada kehidupan yang baru. Harus ada proses penyelarasan diri, masing-masing berusaha untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya.
4. Pelaksana Siraman
Pelaku siraman selain orangtua sendiri, adalah para sesepuh atau anggota keluarga yang dianggap pantas dan dipilih sebab mengandung maksud dan tujuan. Dipilih sesepuh yang jangkep (masih bersuami istri, bukan duda atau janda) jika terpaksa harus dilakukan duda dan janda maka duda dan janda yang cerai karena meninggal maksud dan tujuannya agar sepasang pengantin ini panjang umur perkawinannya tidak akan berpisah di tengah jalan, sampai kaken ninen (kakek nenek). Selain itu ada sesepuh yang dipilih adalah keluarga atau orang-orang yang sukses dalam hidupnya, misalnya sukses karier, sukses mendidik anak, bahagia dalam keluarga. Harapannya adalah agar keberhasilan atau kesuksesan para sesepuh yang memberikan siraman dapat diikuti jejaknya oleh para calon pengantin. Kebahagiaan dunia dalam bentuk sukses dalam karier maupunsukses dalam mendidik anak merupakan harapan bagi semua orang termasuk manusia Jawa, sebab kebahagiaan dunia ini akan dipakai untuk mencari kebahagiaan akhirat.  Pelaku siraman berjumlah ganjil misalnya 5, 7, 9, 11 atau 13.Umumnya pelaku siraman yang paling dipilih adalah 7. Konon Tuhan yang Maha Esa menyukai bilangan ganjil. Tujuh (pitu) bermakna pitulungan (pertolongan). Ini menggandung harapan calon pengantin dalam hidupnya nanti senantiasa mendapatkan pertolongan dari Tuhan dan sesama dan calon pengantin senantiasa memberikan bantuan kepada orang lain. Mengandung piwulang kautaman ada konsep saling memberi dan menerima pitulungan, melakukan siraman tidak saja harapan bagi yang melakukan tetapi harapan semua orang sebab nantinya pengantin dapat juga memberi pitungan kepada orang lain selain juga mendapatkan pengantin mendapatkan pitumgan dari Tuhan. Angka pitu yang kemudian menjadi pitulungan merupakan proses othak athik mathuk, proses ini sangat lumprah/ kebiasaan yang ada di budaya Jawa. Angka 7 inipun juga nanti akan muncul ketika siraman dilakukan dengan mencampurkan bermacam-macam air yang berjumlah 7 macam yang berasal dari 7 sumber mata air. Betapa pentingnya pitulungan bagi orang Jawa.



5. Ubarampe Siraman
                Dalam siraman terdapat peralatan (piranti/ubarampe) yang harus dipersiapkan. Piranti tersebut tidak asal piranti akan tetapi semua yang dipakai mengandung makna.  Piranti pertama adalah berupa sesaji atau hardware dalam bentuk makanan yang berisi tumpeng robyong, jajan pasar, pisang raja, jenang abang putih, boro-boro, palang, empluk kecil-kecil disisi beras, telur dan bumbu dapur, ayam kampung, satu butir kelapa yang sudah dikupas. Juplak diisi minyak kepala, kembang telon, gula Jawa tangkep. Othak athik mathuk dari tumpeng adalah “metu dalan kang lempeng’, manusia dalam kehidupannya senantiasa memperhatikan tata laku yang lurus, menjalankankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dalam Islam disebut sebagai ḥanīf, sebagai aplikaksi dari “ihdina’s siratal’lmustaqīm”. Tumpeng robyong sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan, tumpeng robyong ini bentuknya semakin estetis karena terdiri dari aneka hiasan dari lombok merah, brambang. Bawang dan ada hiasan sayur sayurannya sehingga terlihat indah. Jajan pasar adalah simbol pengingat akan kehidupan dunia yang seperti saat ini. Sebagai manusia, kita seakan diingatkan agar mampu melihat kenyataan dunia dan tidak mudah larut sehingga penting bagi kita selalu ingat pada kehidupan akhirat. Jajan pasar ini juga sebagai lambang sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturahmi). Pasar dianggap sebagai tempat selain untuk praktek ekonomi juga untuk tempat bertemunya banyak orang. Pisang raja dimaksudkan agar mempelai memiliki sifat seperti raja yang ambeg adil paramarta berbudi bawa leksono, menjadi orang adil, berbudi luhur dan menepati janji. Hal ini merupakan pelajaran etika kehidupan, agar pengantin memiliki watak seperti pisang yang dapat hidup dimana saja (ajur ajer). Selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Semua bagian dari pisang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Buahnya dapat dinikmati oleh manusia dengan kandungan gizi dan vitamin yang cukup. Daunnya dapat dipakai sebagi pembungkus makanan, sementara pada zaman dulu daun pisang ini oleh orang desa dipakai sebagai pelindung ketika hujan. Gedebok pisang dapat dipakai sebagi pupuk dan keranjang tembakau. Bonggolnya pun dipakai ketika orang Jawa mengadakan perhelatan sebagai tungku membuat jenang /dodol.
Piranti yang kedua adalah air siraman: toya pamorsihatau disebut juga banyu perwitosari. Perwita berarti suci, sari berarti bunga, yakni air yang ditabur bunga sritaman (mawar, melati dan kenanga). Asal air dapat memilih salah satu dari:
a.        7 sumber dari berbagai tempat
b.      Air dari keraton
c.       Air tempuran (pertemuan dua hilir sungai)
d.      Berbagai sendang atau sumber tua, sumur sumur tua yang air nya tidak pernah surut /kering.
Untuk yang beragama Islam biasanya memasukkan air Zam-Zam sebagai salah satu dari 7 mata air tersebut. Air berjumlah tujuh melambangkan harapan hidup yang dapat saling menolong (mitulungi, pitulungan). Air keraton yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi rakyat atas kewibawaan dan kemakmuran raja (sawab). Air tempuran melambangkan pertemuan dua insan (calon pengantin pria dan wanita). Air sumber tua yang tidak pernah kering melambangkan hidup calon penganten dapat memberikan penghidupan seperti layaknya air yang tidak pernah kering, rezeki terus mengalir, kemuliaan terusdidapat, dan yang tua dapat memberikan pengayoman kepada yang lebih muda. Dalam mistik Jawa air yang mengalir merupakan simbol dari kehidupan sebab air akan menjadikan tanah menajdi subur, sehingga mayarakat menjadi sejahtera. Air yang yang memberikan kehidupan tetapi sekaligus juga dapat mematikan, air sangat dibutuhkan oleh manusia akan tetapi jika terlalu banyak air (banjir) maka akan menjadi bencana mematikan.
Piranti ketiga adalah bunga sritaman (mawar, melati dan kenanga) secara simbolik melambangkan keharuman. Secara fisik keharuman bunga tersebut dapat meresap ke tubuh calon pengantin. Secara simbolik bunga sritaman calon pengantin diharapkan memliki keharuman nama, dapat dicontoh oleh sesama seperti pepatah: “Gajah mati meningalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Bunga memiliki makna filosofis bagi orang Jawa agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman”. Keharuman merupakan kiasan dari berkah-syafa’at yang berlimpah dari para leluhur, dapat mengalir (sumrambah) kepada anak turunnya. Masing-masing aroma bunga, dapat menjadi ciri khas masing-masing leluhur. Desa mawa cara, negara mawa tata. Beda daerah, beda masyarakatnya, beda leluhurnya, beda pula tradisi dan tata cara penghormatannya. Bahkan aroma khas bunga serta berbagai jenis dedaunan tertentu sering menjadi penanda bau khas salah satu leluhur kita. Bila bau harum bunga tiba-tiba hadir di sekitar anda, kemungkinan besar ada salah satu leluhur anda yang hadir di dekat anda berada.
Piranti keempat berupa alas duduk:
a.       Kloso blangko (klasa/tikar pandan dengan anyaman besar)
b.      Godhong (dedaunan): apa-apa, kluwih, alang-alang, kara dhadha serep, eri kemarung, maja, dlingo belengkle dibungkus mori putih
c.       Kain tutup letrek jingo, bangun tlak sindhur liwatan, sembagi, yuyu sakandhang, sekar mayang, lurih pulowatu.
Klasa blangko adalah lambang harapan bahwa calon pengantin kelak dapat hidup bersahaja, walaupun bergelimang kemewahan, tidak berfoya-foya. Daun apa-apa melambangkan harapan agar perhelatan tidak aral melintang suatu apapun. Alang-alang melambangkan harapan agar perhelatan tidak ada halangan apapun atau ora ono opo-opo “tidak ada halangan apa-apa”. Daun kara melambangkan harapan segala sikara (cobaan) atau sukreta (siksaan, rintangan, sakit) harus dihadapi dengan tegar dan dihilangkan. Hidup ini tidak akan lepas dari cobaan (sikara). Daun kluwih melambangkan harapan calon pengantin diberi kelebihan prestasi, sosial ekonomi, pangkat, jabatan, karier, kewibawaan, dsb. Daun dhadhap serep melambangkang harapan kehidupan calon pengantin penuh dengan ketrenteraman adhem ayem (konon daun dhadhap serep dapat menurunkan panas). Duri kemarung, maja dan dlingo bengkle sebagai penolak bala agar kehidupan calon pengantin dijauhkan dari mara bahaya. Mori putih melambangkan kesucian dan kepasrahan kepada Tuhan.
Piranti kelima; dua kelapa hijau (cengkir) yang diikat sabutnya melambangkan calon pengantin senantiasa berdua, setia sekata, terikat tali kasih dan sayang hingga akhir hayat memisahkan, juga melambangkan kedua calon besan bersatu tekad untuk menikahkan puta-putrinya. Cengkir alias kelapa muda diterjemahkan sebagai kencenging pikir atau tekad yang keras. Selain itu cengkir merupakan simbol dari kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan. Tebu diartikan sebagai antebing kalbu. Tebu yang rasanya manis adalah suatu pengharapan agar dalam kehidupannya pasangan pengantin ini selalu merasakan yang manis-manis, kegembiraan, terjauhkan dari kesusahan. Tebu juga dimaksudkan sebagai lambang hidup manusia, kesuksesan hidup manusia harus dibangun dengan akar yang kuat (akar tebu), melalui rintangan dan pengalaman hidup (ruas tebu), sampai terjadinya kesuksesan (tebu yang menjulang tinggi). Pisang raja yang ayu disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang tata tentrem kerta rahayu, kehidupan yang indah, bahagia, tentram dan sejahtera. Makna dipilihnya pisang yang sudah masak adalah agar pasanganyang akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran dan kemuliaan seperti raja.
Piranti keenam, konyoh mancawarna lulur terbuat dari tepung beras dan kencur serta bahan pewarna
a)      Tepung konyoh lima warna
b)      Ron kemuning
c)       Mangir.
Lima warna tersebut melambangkan kemanunggalan warna cahaya (pamor) sarana pambukaning pamor “sarana pembuka aura” agar segala unsur cahaya berkumpul dan membuahkan cahaya pamor sehingga calon pengantin tampak lebih cantik (wanita) atau tampan (pria). Secara simbolik konyoh manca warna lulur bermakna agar segala cahaya menyatu di tubuh calon pengantin sehingga calon pengantin tampak berwibawa dan indah untuk dipandang.
Piranti ketujuh, sehelai kain motif batik grompol yang dipakai oleh ibu pengantin perempuan. Filosofi batik grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain batik grompol ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik seperti rezeki, keturunan, dan kebagaiaan hidup dan motif nagasari atau motif lain, seperti sidoluhur, sidomukti, semenrama, sidoasih, dsb.
Dibawah ini adalah contoh upacara siraman beserta ubarampe nya                                                                                                     
                                       Hasil gambar untuk upacara siraman adat jawa
Gambar terkait 
                                                                                                                                                                                                              Hasil gambar untuk upacara siraman adat jawa


KESIMPULAN
Siklus kehidupan yang mencakup kelahiran, pernikahan dan kematian merupakan momentum yang sangat penting, baik bagi yang mengalami, keluarga, maupun orang di sekelilingnya, termasuk masyarakat Jawa sebagai sebuah etnis yang memiliki ritual-ritual siklus kehidupan tersebut dalam halini adalah siraman yang dilakukan calon pengantin sehari sebelum hari ijab dan qabul. Siraman sebagai upacara adat yang dilakukan memiliki alur rangkaian acara yang pakem “sudah mapan” sehingga susunan acaranyapun sudah mapan. Diawali dari adanya sungkeman atau pangakbeten calon pengantin kepada kedua orangtuanya sampai tata cara siapa urut-urutan siapa yang memandikan, sebab semuanya memiliki makna dan simbol. Sama seperti halnya upacara-upacara adat yang lain, siraman inipun juga membutuhkan berbagai ubarampe, yang masing-masing ubarampe memiliki makna. Jika disimpulkan semua ubarampe memberikan makna yang sesuai dengan asas dasar falsafah Jawa yaitu asas dasar ber-Ketuhanan, aras dasar dengan semesta dan aras dasar keberadaan manusia, bahwa manusia Jawa selalu ingat akan Tuhan sebagai tempat untuk memohon, adanya keinginan untuk selalu hidup bersama dengan manusia yang lain dengan budi pekerti yang baik dan hidup selaras dengan alam semesta. Pertemuan antara filsafat sebagai pandangan hidup manusia Jawa dengan budaya dan Islam sebagai agama mayoritas yang di anut oleh masyarakat Jawa, memberikan warna tersendiri. Dengan menggunakan pemahaman secara filsafat dan pandangan Islam terhadap katakteristik budaya Jawa maka ketiga saling memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya. Termasuk di dalam budaya siraman terdapat saling hubungan antara nilainilai filasafat Jawa dengan ajaran-ajaran Islam, terlepas dari persoalan syirik dan tidak syirik.
DAFTAR PUSTAKA
         Pringgawidagda, Sumawarna; 2006; Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta
; Yogyakarta; Kanisius.
             Irmawati, Waryunah. 2013. “Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa”. Volume 21 (hlm 321-326). Iain Surakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...