Gandhi Putra Perdana (2017015232)
Abstrak
Nyadran
adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah.
Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Dalam
bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah
syakban. Upacara tradisi nyadran
merupakan contoh salah satu tradisi yang masih melekat pada masyarakat Dusun
Nglingi. Tradisi ini dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan atau tepatnya di
bulan Sya’ban atau dalam kalender jawa di sebut bulan Ruwah. Tujuan membuat
artikel guna untuk memenuhi syarat mata kuliah kebudayaan daerah. Metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan wawancara, obsevasi,
dokumentasi. Masyarakat Dusun Nglingi memiliki pemahaman yang kuat dan kental
mengenai upacara tradisi nyadran
sehingga masyarakat tetap melestarikan budaya nenek moyang tersebut. Urutan
prosesi tradisi nyadran hampir sama dengan di tempat lain. Makna dan
nilai-nilai filosofis tradisi nyadran adalah: melestarikan budaya nenek moyang,
wujud terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai wadah silaturahmi,
perwujudan sikap rukun, kedewasaan kehidupan beragama dan perwujudan sikap
keseimbangan sosial.
Kata
kunci: Upacara, nyadran,
kebersamaan
Pendahuluan
Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban manusia.
Kecuali itu kebudayaan juga bisa menunjukkan ciri kepribadian manusia atau
masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi manusia, di
dalamnya mengandung norma-norma, tatanan nillai-nilai yang perlu dimiliki dan
dihayati oleh manusia atau masyarakat penduduknya. Penghayatan terhadap
kebudayaan dapat dilakukan melalui proses sosialisali. (Koentjaraningrat, 1980)
Yogyakarta bagi sebagian masyarakat Indonesia dianggap
sebagai salah satu provinsi yang memiliki keanekaragaman budaya dari kesenian
hingga upacara adat. Keduanya menjadi unsur pendukung bagi warga Yogyakarta
untuk menciptakan konformitas dan kohesi sosial. Akan tetapi, upacara adat
memiliki daya Tarik tersendiri karena mampu merangkum berbagai aspek seni dan
strata sosial. Salah satu upacara adat yang masih dipertahankan oleh warga
Yogyakarta khususnya Dusun Nglingi Kelurahan Pakem Binangum Kecamatan Pakem
Kabupaten Sleman adalah nyadran.
Upacara tradisional yang dilaksanakan pada umumnya masih
mempunyai hubungan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar manusia. Hal
tersebut disebabkan oleh keterbatasan akal dan sistem pengetahuan manusia,
sehingga masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mulai
dipecahkan secara religi. Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu
kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi
maupun agama. Budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan warisan sosial yang
dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur,
biasanya terdiri dari pada kebendaan, kemahiran teknik, pikiran dan gagasan,
kebiasaan, nilai-nilai tertentu, dan sebagainya. Wujud kebudayaan selain
sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai dan norma maupun sebagai peraturan,
juga mencerminkan pola tingkah laku manusia dalam masyarakat. Pola tingkah laku
ini terjadi karena ekspresi atau manifestasi hasil proses belajar. Ekspresi ini
juga terwujud dalam hasil karyanya sebagai buah budi dayanya. Wujud tingkah
laku tersebut dapat juga berbentuk lambang tertentu, misalnya upacara keagamaan
yang merupakan manifestasi tingkah laku religius.
Apresiasi budaya sering kali dihubungkan dengan cara hidup,
adat istiadat suatu masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Misalnya
upacara adat tradisional yang pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau
doktrin yang juga merupakan perwujudan dari religi. Semua akivitas manusia yang
berhubungan dengan religi dan didasarkan pada suatu getaran jiwa biasanya
disebut emosi keagaman (religious emotion), emosi keagamaan mendorong manusia
melakukan tindakan religi. Dalam kepercayaan religi animisme, makam adalah
tempat suci yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi spiritual nenek moyang
dengan roh para leluhur atau dengan Tuhan. Pada masa sekarang, kepercayaan
tersebut belum luntur. Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat,
khususnya masyarakat jawa adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis Nyadran
adalah ritual simbolik yang sarat dengan makna.
Tradisi nyadran merupakan tradisi yang sudah dikenal oleh
semua masyarakat terutama masyarakat Jawa, karena nyadran dilakukan di berbagai
daerah tak terkecuali di Dusun Nglingi Kelurahan Pakem Binangun Kecamatan Pakem
Kabupaten Sleman Yogyakarta. Pandangan hidup orang jawa merupakan perwujudan
dari kepercayaan terhadap Allah, selain itu masyarakat Jawa juga menghormati
leluhur yang sudah meninggal. Sikap hormat tersebut diungkapkan dengan cara
mengunjungi makam leluhur dan mendoakannya. Mengunjungi makam biasanya
dilakukan sebelum mengadakan salah satu upacara lingkaran hidup dalam keluarga
atau upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam. Dalam masyarakat Jawa
mengunjungi makam yang penting ketika Nyadran. Masyarakat mengadakan tradisi
Nyadran pada umumnya ketika menjelang puasa, tepatnya tanggal 21 Sya’ban.
Selain disebut dengan tradisi Nyadran, ada sebagian masyarakat menyebutnya
dengan sebutan ruwahan.
A. Sejarah Nyadran
Tidak ada yang tau persis kapan tradisi nyadran dimulai. Namun
dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan
bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Dalam masyarakat jawa, tradisi
atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Budha, jauh sebelum agama
Islam masuk. Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa
penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat
agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam
tradisi Hindu-Budha lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan
dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam
membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena
itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan
agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk
melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan
masuk Islam. Nyadranpun menjadi media siar agama Islam.
Para perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi
dibanding Hari Raya idul Fitri. Setidaknya, para akan lebih memilih mudik pada
saat ruwahan, dibanding pada lebaran. Apalagi ketika kemudian tradisi mudik
lebaran juga berarti masa perjuangan penuh risiko, seperti transportasi yang
semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik nyadran, biasanya
pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha mengalokasikan anggaran untuk
perbaikan batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur yang
dihormati.
B. Upacara Nyadran
Nyadran di Dusun Nglingi biasa dilaksanakan bertepatan
dengan tanggal 21 Sya’ban setiap tahunnya. Sebagaimana adat kebiasaan yang
telah berlangsung, acara diadakan di dalam area makam.
Terdapat
beberapa prosesi Nyadran yang dilaksanakan
diantaranyan:
a.
Pembukaan Nyadran
Pembukaan
dilakukan atau dipimpin oleh Bapak Bunakir Yudi
Siswoyo selaku tokoh
masyarakat di Dusun Ngingi, beliau memberi sambutan upacara tradisi nyadran agar dalam pelaksanaan nyadran bisa berjalan lancar
tanpa halangan satu apapun.
b. Kirap Gunungan dan Jodangan
Dalam prosesi upacara tradisi nyadran warga Dusun Nglingi
membuat gunungan yang berasal dari hasil bumi seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan. Dan juga membawa Jodangan yang berisi tiga tambir atau wadah yang
masing-masing berisi: yang pertama ayam ingkung, kedua nasi tumoeng dan golong,
ketiga nasi, sayur kentang dan krecek, krupuk, rempeyek, kedelai hitam dll.
Kirap dimulai dari rumah tokoh masyarakat menuju makam. Gunungan dan Jodangan
dipikul oleh delapan orang laki-laki dengan memakai pakaian adat jawa. Saat
kirap berlangung warga membaca Sholawat Nabi.
c. Pengajian
Pengajian di isi oleh bapak KH. Hamam Udin yang
menjelaskan tentang zarah kubur, nyadran dalam agama Islam.
d.
Tahlil
Tahlil ini dipimpin oleh bapak Mukijo selaku tokoh
agama di dusun Nglingi, saat tahlil berlangsung diselingi dengan singir yang dibacakan oleh bapak
Bunakir. Singir ini berisi tentang perjalanan manusia dari lahir sampai
meninggal dunia.
e.
Rebutan
gunungan
Dalam rebutan gunungan warga mempercayai sayur dan
buah dalam gunungan membawa berkah dan kemakmuran.
f.
Nyekar
Warga masyarakat dusun Nglingi melakukan nyekar (tabur bunga) dan mendoakan
leluhur masing-masing yang telah meninggal. Saat nyekar warga menggunakan tiga bunga yaitu mawar, kenanga dan
telasih yang masing-masing memiliki filosofi atau makna.
C. Filosofi uborampe atau
perlengkapan dalam nyadran
Terdapat
beberapa uborampe atau
perlengkapan yang disediakan untuk prosesi nyadran yang dilaksanakan pada tanggal 21 Sya’ban
diantaranya
:
a.
Gunungan
Gunungan melambangkan kemakmuran dan rasa syukur
kepada Tuhan atas semua yang diberikan.
b.
Ayam
ingkung
Ayam ingkung mempunyai makna sebagai simbol permohonan
ampun seluruh warga masyarakat dan dijauhkan dari segala dosa dan kesalahan.
Manusia bersujud dan berzikir kepada Allah Yang Maha Esa agar segala dosa yang
diperbuat oleh manusia diampuni dosa-dosanya.
c.
Nasi
tumpeng
Nasi tumpeng mempunyai makna ketika manusia berdoa
kepada Tuhan, dengan cara merapatkan kedua tangannya sehingga kedua tangannya
berbentuk kerucut seperti halnya bentuk nasi tumpeng. Ini melambangkan
keselamatan, kesuburan, kesejahteraan dan menggambarkan kemakmuran yang sejati.
d.
Nasi
golong
Nasi Golong berupa nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran
kepalan tangan dimaksudkan untuk melambangkan kebulatan tekad yang manunggal
atau golong gilig. Nasi golong melambangkan persatuan dan kesatuan kekuatan
utama dari para warga, diharapkan mampu mempersatukan warga masyarakat untuk
bersedia bahu membahu, dan bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari agar
tercipta kerja sama yang baik dalam masyarakat.
e.
Bunga
mawar
Bunga mawar melambangkan rasa kasih sayang, maka orang
yang sudah meninggal tetap kita sayangi dengan cara mendoakan.
f.
Bunga
kenanga
Bunga kenanga mempunyai arti kenangannya ada, orang
yang sudah meninggal tetap kita kenang kebaikannya semasa hidupnya.
g.
Bunga
telasih
Bunga telasih mempunyai arti tilasnya masih, jadi
orang yang sudah tidak ada meninggalkan tilas atau peninggalan yang masih ada.
D.
Nilai-nilai luhur yang ada pada Nyadran
a.
Nilai
religius
Masyarakat
Jawa terkenal sebagai masyarakat yang religius. Nilai religius tampak jelas
dalam upacara
tradisi nyadran. Upacara yang
dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur. Do’a merupakan unsur penting dalam
pelaksanaan tradisi nyadran.
Permohonan ampunan dan permohonan surga bagi para leluhur dilakukan dengan
tahlil. Masyarakat Jawa menyadari bahwa setiap manusia akan kembali kepada yang
Maha Esa.
b.
Nilai
syukur
Masyarakat
Jawa seperti telah diketahui, merupakan masyarakat pemeluk agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu mempunyai kesadaran
akan kewajibannya dalam melakukan pengabdian dan persembahan kepada-Nya. Salah
satu bentuk persembahannya yaitu melalui rasa bersyukur. Syukur atas segala
karunia yang diberikan Tuhan. Nyadran
merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat Jawa kepada Tuhan.
c.
Nilai Gotong-royong
Sikap rukun
telah menjadi ciri yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pelaksanaan sikap rukun
dalam kehidupan sosial kemasyarakat lebih mengutamakan kepentingan bersama
daripada pribadi, jauh dari rasa permusuhan, saling tolong menolong dalam
kebaikan. Seperti halnya tradisi nyadran
dirasakan menjadi milik bersama, dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat,
dijiwai oleh rasa kebersamaan saling tolong menolong tanpa rasa perselisihan,
merasa saling mengungguli. Oleh karena itu nyadran
merupakan perwujudan dari perilaku rukun masyarakat Jawa.
d. Nilai
Saling Menghormati
Nyadran hakekatnya
adalah ziarah kubur. Masyarakat Jawa bersama-sama datang ke makam dalam rangka
mendo’akan leluhur. Tidak ada kekhususan bahwa ziarah dilakukan oleh orang Muslim.
Nyadran bagi masyarakat Jawa
merupakan perwujudan perilaku saling menghormati perbedaan atau pluralisme. Nyadran merupakan kearifan lokal
masyarakat Jawa yang syarat nilai dan karakter luhur.
Penutup
Upacara tradisi nyadran merupakan salah satu upacara
adat tahunan dari Yogyakarta yang sampai sekarang masih dilaksanakan. Tradisi
ini dilaksanakan setiap tanggal 21 bulan Sya’ban untuk menghormati dan
mendoakan para leluhur yang sudah meninggal. Serta terwujudnya masyarakat yang
damai, rukun, toleransi tidak membeda-bedakan walaupun beda agama. Upacara tradisional yang
dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan akan
adanya kekuatan diluar manusia. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan akal
dan sistem pengetahuan manusia, sehingga masalah-masalah yang tidak dapat
dipecahkan dengan akal mulai dipecahkan secara religi. Pada dasarnya masyarakat
Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup
karena sejarah, tradisi maupun agama. Serta sebagai rasa syukur kepada Tuhan
atas semua yang telah dilimpahkan kepada manusia.
Foto Dokumentasi


Gunungan Jodangan


Sambutan nyadran oleh bapak Bunakir Kirap
gunungan


Kirap jodangan Pengajian
bersama KH. Hamdan Udin


Prosesi Tahlil Prosesi
Tahlil


Isi dalam Jodangan Ayam ingkung


Nasi tumpeng dan golong nasi, sayur kentang krecek, krupuk
rempeyek


Rebutan gunungan warga yang mendapat sayur pada
gunungan

warga yang mendapat sayur pada gunungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar