Jumat, 24 Mei 2019

Bulan Ruwahan Di Desa Plataran yang Masih Ada Hingga Sekarang


Oleh : Harum Murbaningsih (2016 015 264 / 6B/ PGSD )

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan alam dan keanekaragaman budaya. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya adat-istiadat dari berbagai suku bangsa yang berbeda-beda,maka tidak heran jika banyak tradisi yang muncul. Salah satu tradisi yang masih ada sejak saat ini yaitu tradisi yang ada di bulan ruwah. Tradisi pada bulan ruwah biasanya berupa ruwahan, nyadran dan diakhiri dengan nyekar. Ruwahan diambil dari kata ruwah yaitu nama bulan kalender Jawa, yang berasal dari kata arwah yaitu jiwa orang yang sudah meninggal. Ruwahan juga dikatakan permulaan puasa yang disebut dengan megengan. Ritual agama ini diadakan oleh mereka yang setidaknya salah satu dari orang tuanya sudah meninggal. Tradisi nyadran mulanya muncul dari kalender Islam yang awalnya menyebutkan bulan Ruwah disebut Sa’ban. Istilah dari kata sadran itulah muncul kata nyadran atau nyadranan, dan yang dimaksud adalah slametan atau sesaji, untuk para leluhur dikuburan atau juga tempat keramat sekaligus membersihkan tempat keramat tersebut. Sesaji yang dibawa saat nyadran berupa makanan dan berbagai buah-buahan. Setelah acar nyadran selesai, masyarakan akan melanjutkan dengan nyekar. Nyekar merupakan tradisi mengirim kembang dan doa untuk arwah leluhur atau keluarga yang sudah meninngal. Karena perkembangan masuknya ajaran  islam tradisi ini mengalami alkultrasi budaya.
            Tradisi tersebut tetap dilaksanakan, namun caranya disesuaikan misalnya saja do’a-do’a yang dipanjatkan. Sadranan yang semula dilaksanakan di pemakaman, lalu dipindah ke masjid, mushola, atau rumah pinisepuh atau orang yang dituakan di kampong atau desa. Artikel ini dibuat untuk mengetahui bagaimana tradisi bulan ruwah di Desa Plataran Selomartani Kalasan Sleman DIY yang mana termasuk daerah yang masih memegang nilai-nilai tradisi. Selain itu untuk mengetahui bagaimana dampak bagi kehidupan masyarakat sekitar. Metode pengambilan data dengan cara observasi dan wawancara. Hasil yang didapatkan menunjukan adanya tradisi bulan ruwah di Desa Selomartani membawa dampak diberbagai bidang yang ada dimasyarakat. Tradisi ruwahan dan nyadran di Dusun Selomartani mengalami perubahan yang mana dulu berkat untuk ruwahan berupa makanan matang sekarang banyak yang menggunakan mentahan (bahan mentah). Tradisi bulan ruwah membawa dampak positif di beberapa bidang, misalnya saja social, ekonomi, dan budaya.
Kata Kunci : ruwahan, Nyadran, Tradisi

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan alam dan keanekaragaman budaya. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya adat-istiadat dari berbagai suku bangsa yang berbeda-beda, yang menghiasi tradisi yang ada di dalamnya. Tradisi adalah sebuah kebiasaan yang mana dilakukan secara turun menurun dari nenek moyang dan masih tetap dilakukan oleh masyarakat yang ada disana Salah satu tradisi yang terdapat pada suku bangsa Indonesia yang berada di pulau Jawa yaitu tradisi di bulan ruwah dan tradisi bagi orang meninggal. Asal usul ritual kematian dalam masyarakat Islam Jawa itu sudah ada sejak dulu sebelum Hindu dan Budha. Kemudian masuknya agama Hindu dan Budha memberikan pengaruh dan terbentuknya budaya baru yang merupakan ajaran Hindu dan Budha. Ada beberapa tradisi yang berasal dari agama Hindu dan Budha, di antaranya adalah sebagai berikut Pertama, tentang doa selamatan kematian 7, 40, 100 dan 1000 hari. Karena masuknya agama islam ke tanah jawa maka membuat tradisi ini mengalami alkulturasi dengan unsur agama islam. Selain itu pada bulan ruwah merupakan bulan dimana  diadakan kiriman doa untuk para keluarga yang sudah meninggal.
Akibat perkembangan zaman kebudayaan serta tradisi yang ada di dalam masyarakat mengalami perubahan. Tradisi di bulan ruwah mulai jarang dilaksanakan sebab kebanyakan masyarakat moderen sudah tidak begitu percaya dengan tradisi tersebut. Namun, tradisi ini masih dapat dijumpai di Plataran Selomartani Kalasan Sleman Yogyakarta. Dibeberapa wilayah yang ada di Selomartani masih memegang nilai dan tradisi di bulan ruwah. Walaupun cara pelaksanaannya sudah tak seperti jaman dulu yang sangat kental dengan unsur kejawen. Walaupun sudah lebih ke alkulturasi agama islam, tradisi di bulan ruwah di Desa Plataran  tetap kaya akan nilai-nilai luhur. Artikel ini dibuat dari beberapa observasi yang dilakukan guna mengetahui tradisi apa saja yang ada di Desa Plataran. Apa dampak dari adanya tradisi ruwah bagi masyarakat sekitar serta mengetahui nilai-nilai yang terkandung dari tradisi ini.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tradisi
Orang Jawa di dalam kehidupannya penuh dengan tradisi, baik tradisi yang berkaitan dengan lingkaran mereka atau semua hal tentang kehidupan. Misalnya saja, sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, sampai saat kematiaany. Upacara-upacara juga banyak dilakukan berkaitan dengan aktifitas sehari-hari misalnya saja bagi para petani, pedagang, nelayan, dan upacara tempat tingga (Pembangunan gedung untuk berbagai keperluan, membangun, dan meresmikan rumah tinggal, pindah rumah, dll)
Tradisi dalam bahasa latin ditulis tradition yang artinya teruskan atau kebiasaan yang  telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, negara,waktu dan agama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang mana terus bersambung antar generasi kegenerasi baik tulis maupun lisan karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Tradisi dalam juga dapat diartikan adat-istiadat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat.
Sumber tradisi dapat juga disebuah Urf atau kebiasaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat kemudian tersebar menjadi budaya dan adat kebiasaan. Salah satu yang menggunakan budaya sebagai media penyebaran agama yaitu para walisongo. Walaupun mereka mencampur kedua budaya antara jawa dan islam tetapi para walisongo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.
Tradisi adalah roh dari kebudayaan, tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan  dapat bertahan lama dan tetap berkembang dari zaman kezaman, serta dengan tradisi  dapat membuat suatu hubungan antara individu dengan masyarakatnya menjadi harmonis. Tradisi membuat sistem kebudayaan menjadi kokoh dan kuat. Jika  tradisi yang ada dimasyarakat hilang maka dapat berdampak buruk dan dapat dikatakan harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga.


B.     Tradisi Ruwahan di Desa Plataran
Ruwahan diambil dari kata ruwah yaitu nama bulan kalender Jawa, yang berasal dari kata arwah yaitu jiwa orang yang sudah meninggal. Ruwahan juga dikatakan permulaan puasa yang disebut dengan megengan. Ritual agama ini diadakan oleh meraka yang setidaknya salah satu dari orang tuanya sudah meninggal. Tradisi ruwahan ini ditandai dengan adanya panganan dari tepung beras yaitu apem yang merupakan lambang dari kematian. Sejenak sebelum selamatan, orang pergi ke makam untuk menyebarkan bunga di kuburan orang tuanya sambil kirim do’a. orang juga mandi keramas untuk mensucikan diri menghadapai puasa. Megengang termasuk selamatan yang berbeda dengan lainnya, karena megengan diadakan sebelum matahari terbenam, selamatan ini juga menandai siang hari terakhir orang diperbolehkan makan, sebelum puasa tiba.
 Tradisi Megengan pada awalnya disebarkan oleh Sunan Kalijaga yang menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa. Beberapa sumber online menyebutkan bahwa Megengan berasal dari kata “megeng  yang berarti menahan. Maksudnya adalah masyarakat diharapkan dapat menahan makan, minum serta hawa nafsu ketika akan memasuki bulan ibadah puasa. Tradisi Megengan diwujudkan dengan pembuatan kue apem sebagai permintaan maaf kepada para tetangga dan sebagai sesaji agar doa yang dipanjatkan untuk leluhur dapat diterima. Oleh sebab itu, setiap keluarga yang menempati satu rumah wajib untuk membuat kue apem yang nantinya dibagikan kepada para tetangga. Di beberapa daerah, kue apem biasa dilengkapi dengan pisang raja. Maknanya adalah apem dan pisang tersebut seperti payung yang dapat melindungi seseorang dari cobaan ketika menjalankan ibadah puasa.
Namun, di Desa Plataran tradisi ruwahan dilaksanankan dengan cara berkatan atau ambengan. Yang mana setiap keluarga yang memiliki anggota keluarga meninggal akan melakukan slametan secara bergantian. Acara ruwahan biasanya dilaksanakan bakdo magrib (setelah magrib) atau bakdo ishak (setelah isyak). Acara akan dimulai setelah para laki-laki berkumpul ditempat yang mengundang dan dipimpin oleh seorang mbah kaum (orang yang dituakan dan dihormati). Mbah kaum akan membacakan doa-doa untuk mendoakan para leluhur dan diakhiri dengan pembagian berkat.
Gambar 1.1
Berkatan yang diberikan berisi berbagai makanan, karena perubahan zaman berkatan juga mulai menglami perubahan. Tidak banyak lagi rumah yang memberikan berkatan berupa makanan matang. Mereka memilih menggantinya dengan berkatan mentah (bahan makanan). Berkatan matang berisi berbagai jenis makanan misalnya saja peyek, nasi gurih (nasi yang dimasak dengan santan), daging ayam jawa, telur, dll. Pada Gambar 1.1 merupakan foto berkat untuk mbah kaum atau pemimpin acara. Yang membuat berbeda dengan berkat lainnya hanya daging ayam yang lebih berukuran besar atau mendapat satu bagian. Sedangkan untuk berkat mentahan berupa beras, telur, sarimi, gula, teh, minyak, dll. Acara ruwahan dilakukan hingga bulan ruwah selesai tergantung dari jumlah keluarga yang ada di desa. Karena penduduk desa tidak terlalu banyak maka semalam cuman 2 rumah saja yang mengadakan.

C.    Tradisi Nyadran dan Nyekar di Desa Plataran
Nyadran dan nyekar merupakan tradisi untuk slametan orang yang sudah meninnggal. Kedua tradisi ini, biasanya dilakukan di penghujung bulan ruwah atau sebelum puasa berlangsung. Selamatan kematian yaitu selamatan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal. Saat orang meninggal ada berbagai tradisi yang dipercayai masyarakat desa. Biasanya tradisi pertama kali yang dilakukan yaitu mempersiapkan penguburan orang mati dengan memandikan, mengkafani, menṣalati, dan pada akhirnya menguburkan bagi umat muslim. Selanjutnya, dilakukan selamatan yang dilaksanakan pada hari pertama, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan hari ulang tahun kematiannya. Selamatan untuk memperingati orang meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan kalimah ṭoyyibah (tahlil). Sehingga selamatan ini biasa disebut juga tahlilan.
Sedangkan Tradisi nyadran mulanya muncul dari nama kalender Islam yang awalnya menyebutkan bulan Ruwah disebut Sa’ban. Istilah dari kata sadran itulah muncul kata nyadran atau nyadranan, dan yang dimaksud adalah slametan atau sesaji, untuk para leluhur dikuburan atau juga tempat keramat sekaligus membersihkan tempat keramat tersebut. Sesaji yang dibawa saat nyadran berupa makanan dan berbagai buah-buahan. Setelah acar nyadran selesai, masyarakan akan melanjutkan dengan nyekar. Nyekar merupakan tradisi mengirim kembang dan doa untuk arwah leluhur atau keluarga yang sudah meninngal.
Di Desa Plataran tradisi nyadran dan nyekar masih ada. Tradisi ini dilakukan dirumah orang yang dituakan. Acara nyadran dan nyekar di Desa Plataran tahun ini diadakan pada hari 3 Mei 2019 bertempat di kediaman salah satu warga yang dituakan. Masyarakat berkumpul dengan membawa berbagai makanan dan buah-buahan. Acara dipimpin oleh salah satu ulama yang ada didesa. Ada beberapa rangkaian acara nyadran yaitu pembacaan doa, nasihat dari mbah kaum, pembacaan doa, dan makan bersama.

D.    Dampak dan Nilai bagi Masyarakat
Ada berbagai dampak dan nilai yang timbul dari tradisi di bulan ruwah. Dilihat dari bidang social maka dengan adanya tradisi yang masih berlangsung hingga sekarang mempererat tali persaudaraan sebab saat berkumpul masyarakat yang datang akan saling berinteraksi dan bercengkrama. Dilihat dari bidang ekonomi maka tradisi ini membawa dampak yang cukup baik karena sebagian besar masyarakat membeli bahan makanan dari warga yang lain. Masyarakat juga mulai memjual keperluan-keperluan yang diperlukan ntuk ruwahan, nyadran dan nyekar. Jika dilihat dari sisi kebudayaan maka kebiasaan ini termasuk salah satu cara melestarikan tradisi dari nenek moyang.

PENUTUB
A. Kesimpulan
Tradisi merayakan atau memperingati peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia dengan mengadakan upacara merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus manifestasi upaya manusia mendapatkan ketenangan rohani, yang masih kuat berakar sampai sekarang. Salah satu tradisi yang masih ada yaitu tradisi di bulan ruwah misalnya saja ruwahaan, nyadran dan nyekar. Sebagian masyarakat jawa khusunya di Desa Plataran selomartani Kalsan Sleman masih mempertahankan tradisi ini yang mana tradisi ini sudah teralkulturasi dengan budaya islam. Walaupun begitu masyarakat tidak melupakan nilai-nilai yang terkandung dan berupaya gara tradisi ini tetap terjaga serta lestari.
B. Saran
Artikel ini disusun dari hasil observasi serta beberapa jurnal dan buku. Setiap orang memiliki kepercayaan masing-masing yang mana sebagai warga Indonesia kita harus saling menghargai. Saya berharap artikel yang disusun dapat berguna dan dapat menjadi sumber inspirasi para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Roni, E. M. (2018). TRADISI RUWAHAN DAN INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT DUSUN BULUS I KECAMATANPAKEM KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...