Jumat, 24 Mei 2019

TRADISI NYADRAN DI DESA SEPULUH, KELURAHAN KADILAJO, KECAMATAN KARANGNONGKO, KABUPATEN KLATEN



Oleh :
Putri Novitasari (2017015008)
Abstrak
Nyadran merupakan tradisi masyarakat di daerah jawa yang dilakukan setiap satu tahun sekali pada saat  akan memasuki bulan Suci Ramadhan. Tradisi nyadran adalah salah satu tradisi yang masih melekat pada masyarakat Desa Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten. Tradisi ini biasanya dilakukan secara turun temurun, tradisi nyadran telah berakulturasi dengan agama Islam. Pelaksanaan tradisi nyadran meliputi dari membersihkan makam leluhur, tabur bunga, dan dilanjukan dengan kenduri di beberapa rumah. Tradisi nyadran dapat di lihat dari beberapa aspek yaitu asek sosial ekonomi, religius, dan sosial budaya. Dari peneilitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tradisi nyadran dari segi asek sosial ekonomi tidak membahas status ekonomi serta untuk menjalin silaturohmi antar warga, dari segi religius tradisi nyadran merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah serta mengingatkan akan kematian dan mendoakan arwah leluhur atau keluarga yang sudah meninggal, sedangkan tujuan dari pelaksanaan tradisi nyadran dari segi sosial budaya merupakan bentuk pelestarian budaya. Setiap rumah yang melakukan tradisi kenduri nyadran menyiapkan nasi tumpeng, nasi gurih, ayam ingkung, sayur kentang, gorengan, dan buah-buahan serta jajanan pasar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tradisi nyadran di Desa Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten. Penelitian ini menggunakan metode langsung yang dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2019. Sumber data juga diperoleh dari dokumentasi pada saat prosesi berlangsung. Berdasarkan hasil dari penelitian  menunjukkan makna yang terkandung  dalam tradisi nyadran di Desa Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten yaitu tidak membahas status ekonomi serta untuk menjalin silaturohmi antar warga, bentuk rasa syukur kepada Allah serta mengingatkan akan kematian dan mendoakan arwah leluhur atau keluarga yang sudah meninggal, bentuk pelestarian budaya.
Kata kunci : Nyadran, membersihkan makam, dan kenduri.
PENDAHULUAN
Nyadran adalah suatu rangkaian acara budaya yang dilakukan untuk menyambut bulan Suci Ramadhan, diawali dengan pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri di beberapa rumah. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna folosifis tersendiri sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Adanya keyakinan pada masyarakat Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku merupakan cara berpikir seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya kepercayaan atau keyakinan terhadpa kekuatan gaib yang ada di alam semesta. Kekuatan alam semesta dianggap ada di atas segalanya. Selanjutnya dikaitkan bahwa dalam masyarakat Jawa kekuatan manusia dinggap lemah bila dihadapakan dengan alam semesta. Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran Jawa tradisional, kepercayaan Hindu, dan ajaran Islam.
Salah satu tradisi Jawa-Islam yang masih melekat pada masyaraka adalah tradisi nyadran. Tradisi nyadran ini merupakan salah satu bentuk akulturasi Islam dengan kebudayaan Jawa, yang masih ada hubungannya antara manusia dengan para leluhurnya (Aninisme). Namun para wali membungkusnya menjadi sebuah ritual untuk mendoakan para leluhur atau orang tua yang sudah tidak ada.
Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya masyarakat Jawa adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis nyadran adalah ritual simbolik yang sarat dengan makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti berziarah kubur atau pergi ke makam nenek moyang dengan membawa menyan, bunga dan air doa. Sadran berarti kembali atau meziarahi makam atau tempat yang dianggap sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat menanamkan tempat tersebut dengan sebutan punden yaitu makam cikal bakal desa setempat. Sebelum beziarah kubur biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan makam secara bersama-sama.
           
Tujuan dari nyadran adalah untuk meminta doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada nenek moyang agar semua urusan dilancarkan. Sedangkan menurut kebiasaan jawa, untuk mempererat persaudaraan selain itu untuk meminta maaf atas kesalahan- kesalahan yang dilakukan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, sehingga dalam menjalankan bulan Suci Ramadhan nanti diri merekapun sudah suci, telah bersih dengan ampunan Allah dan maaf dari sesama manusia.

PEMBAHASAN.
Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, yakni "Sradha". Istilah yang digunakan warga Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur. Diawali di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, ia menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah sang Ibunda Tribhuwana Tunggadewi. Masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah. Kosa kata Ruwah merujuk pada kata Arwah, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang sudah meninggal.
Terdapat tradisi serupa dengan Nyadran yakni Tradisi Craddha pada zaman Kerajaan Majapahit. Adapun kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal. Adanya sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal. Sedangkan tradisi nyadran merupaka sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan. Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui Walisongo. Sekiranya dakwah dengan pendekatan-pendekatan budaya merupakan jalan terbaik dalam penyebaran Agama yang masih baru.
Banyaknya ritual-ritual yang bertentangan dengan Agama Islam tidak menjadikan para wali semerta-merta menghapus tradisi-tradisi yang telah melembaga dalam masyarakat Jawa. Mereka mengambil jalan kebijaksanaan yakni menyebarkan agama Islam dengan mengakulturasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam supaya mudah diterima oleh masyarakat dan masuk Islam.
Pelaksanaan tradisi Nyadran (Craddha) pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji  sebagai pelengkapan ritualnya sedangkan oleh Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-Quran. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Karena pengaruh Agama Islam makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nifsu Sya’ban. Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.
          Prosesi Nyadran di Desa Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten yaitu diawali pada pagi hari dengan membersihkan makam leluhur  atau keluarga yang sudah meninggal dari kotoran dan rumput liar, dilanjutkan dengan berdoa dan tabur bunga, setelah itu baru dilakukan kenduri di beberapa rumah sesuai dengan grup kondangan masing-masing. Setiap grup kondangan biasanya terdiri dari 8-19 anggota. Tidak semua rumah mengadakan kenduri hanya beberapa rumah saja yang anggota keluarganya sudah meninggal yang melakukan kenduri. Tiap anggota berkumpul sesuai dengan grup kondangan masing-masing. Setelah semua anggota kenduri lengkap acara akan dimulai. Acara di awali dengan pembacaan  doa yang di pimpin oleh modin dan anggota grup mengamini, setelah pembacaan doa selesai salah satu anggota bertugas membagi makanan sesuai jumlah orang yang mengikuti kenduri dan di masukkan tempat atau panci yang telah dibawa oleh masing-masing anggota kenduri. Selanjutnya para anggota kenduri pulang ke rumah masing-masing dan membawa jatah kendurinya masing-masing untuk dimakan bersama keluarga.
Makna dan nilai-nilai filosofis dalam upacara tradisi nyadran. Berdasarkan hasil  pengamatan dapat disimpulkan bahwa nasi tumpeng mengandung makna yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan sesama manusia. Nasi gurih merupakan wujud dari rasa syukur dan meminta keselamatan kepada Tuhan. Ingkung ayam menjadi simbol menyembah Tuhan dengan khusuk dengan hati yang tenang dan yang disembelih untuk kenduri adalah ayam jago karena ayam jago memunyai makna menghindari sifat-sifat buruk ayam jago. Jajanan pasar melambangkan hubungan kemanusiaan atau silahturohmi antar manusia. Pisang merupakan lambang dari etika kehidupan, diharapkan manusia dapat mencontoh watak pisang yang dapat hidup dimana saja. Tabur bungga memiliki makna  sebagai peringatan kepada para leluhur yang sudah berpulang mendahului kita.
Yang terakhir makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran yaitu wujud terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai waadah silaturohmi, perwujudan sikap rukun, perwujudan sikap hormat, perwujudan kedewasaan kehidupan beragama, sebagai  perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial, dan untuk melestarikan warisan nenek moyang.
Nasi Tumpeng                                         Nasi Gurih
Jajanan Pasar+Pisang                                          Ayam Ingkung
Gorengan
PENUTUP
Nyadran adalah suatu rangkaian acara budaya yang dilakukan untuk menyambut bulan Suci Ramadhan, diawali dengan pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri di beberapa rumah. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna folosifis tersendiri sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran yaitu wujud terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai waadah silaturohmi, perwujudan sikap rukun, perwujudan sikap hormat, perwujudan kedewasaan kehidupan beragama, sebagai  perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial, dan untuk melestarikan warisan nenek moyang.

Daftar Pustaka
Satria Agung Deni. 2017. NILAI DAN FUNGSI DALAM PROSESI NYADRAN DI PADUKUHAN GEJAYAN, CONDONG CATUR, KABUPATEN SLEMAN. Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...