Oleh
:
Putri
Novitasari (2017015008)
Abstrak
Nyadran
merupakan tradisi masyarakat di daerah jawa yang dilakukan setiap satu tahun
sekali pada saat akan memasuki bulan
Suci Ramadhan. Tradisi nyadran adalah salah satu tradisi yang masih melekat
pada masyarakat Desa Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten. Tradisi ini
biasanya dilakukan secara turun temurun, tradisi nyadran telah berakulturasi
dengan agama Islam. Pelaksanaan tradisi nyadran meliputi dari membersihkan
makam leluhur, tabur bunga, dan dilanjukan dengan kenduri di beberapa rumah.
Tradisi nyadran dapat di lihat dari beberapa aspek yaitu asek sosial ekonomi, religius,
dan sosial budaya. Dari peneilitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tradisi
nyadran dari segi asek sosial ekonomi tidak membahas status ekonomi serta untuk
menjalin silaturohmi antar warga, dari segi religius tradisi nyadran merupakan
bentuk rasa syukur kepada Allah serta mengingatkan akan kematian dan mendoakan
arwah leluhur atau keluarga yang sudah meninggal, sedangkan tujuan dari
pelaksanaan tradisi nyadran dari segi sosial budaya merupakan bentuk
pelestarian budaya. Setiap rumah yang melakukan tradisi kenduri nyadran menyiapkan
nasi tumpeng, nasi gurih, ayam ingkung, sayur kentang, gorengan, dan buah-buahan
serta jajanan pasar.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tradisi nyadran di
Desa Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten. Penelitian ini menggunakan metode
langsung yang dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2019. Sumber data juga diperoleh
dari dokumentasi pada saat prosesi berlangsung. Berdasarkan hasil dari
penelitian menunjukkan makna yang
terkandung dalam tradisi nyadran di Desa
Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten yaitu tidak membahas status ekonomi
serta untuk menjalin silaturohmi antar warga, bentuk rasa syukur kepada Allah
serta mengingatkan akan kematian dan mendoakan arwah leluhur atau keluarga yang
sudah meninggal, bentuk pelestarian budaya.
Kata
kunci : Nyadran, membersihkan makam, dan kenduri.
PENDAHULUAN
Nyadran
adalah suatu rangkaian acara budaya yang dilakukan untuk menyambut bulan Suci Ramadhan,
diawali dengan pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri
di beberapa rumah. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, upacara
tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan
penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna
folosifis tersendiri sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat
pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara
tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada
dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh
norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Adanya keyakinan pada
masyarakat Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku merupakan cara berpikir
seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya kepercayaan atau keyakinan
terhadpa kekuatan gaib yang ada di alam semesta. Kekuatan alam semesta dianggap
ada di atas segalanya. Selanjutnya dikaitkan bahwa dalam masyarakat Jawa
kekuatan manusia dinggap lemah bila dihadapakan dengan alam semesta. Pandangan
hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran Jawa tradisional, kepercayaan
Hindu, dan ajaran Islam.
Salah
satu tradisi Jawa-Islam yang masih melekat pada masyaraka adalah tradisi
nyadran. Tradisi nyadran ini merupakan salah satu bentuk akulturasi Islam
dengan kebudayaan Jawa, yang masih ada hubungannya antara manusia dengan para
leluhurnya (Aninisme). Namun para wali membungkusnya menjadi sebuah ritual
untuk mendoakan para leluhur atau orang tua yang sudah tidak ada.
Salah
satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya masyarakat Jawa
adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis nyadran adalah ritual simbolik yang
sarat dengan makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti berziarah kubur atau
pergi ke makam nenek moyang dengan membawa menyan, bunga dan air doa. Sadran
berarti kembali atau meziarahi makam atau tempat yang dianggap sebagai cikal
bakal suatu desa, biasanya masyarakat menanamkan tempat tersebut dengan sebutan
punden yaitu makam cikal bakal desa setempat. Sebelum beziarah kubur biasanya
masyarakat terlebih dahulu membersihkan makam secara bersama-sama.
Tujuan
dari nyadran adalah untuk meminta doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
kepada nenek moyang agar semua urusan dilancarkan. Sedangkan menurut kebiasaan
jawa, untuk mempererat persaudaraan selain itu untuk meminta maaf atas
kesalahan- kesalahan yang dilakukan baik yang disengaja maupun tidak disengaja,
sehingga dalam menjalankan bulan Suci Ramadhan nanti diri merekapun sudah suci,
telah bersih dengan ampunan Allah dan maaf dari sesama manusia.
PEMBAHASAN.
Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta,
yakni "Sradha". Istilah yang digunakan warga Hindu untuk upacara
pemuliaan roh leluhur. Diawali di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam
Wuruk, ia menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah sang
Ibunda Tribhuwana Tunggadewi. Masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi
tradisi nyadran yang
rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah. Kosa kata Ruwah merujuk pada kata
Arwah, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang
sudah meninggal.
Terdapat
tradisi serupa dengan Nyadran yakni Tradisi Craddha pada zaman Kerajaan
Majapahit. Adapun kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan
leluhur yang sudah meninggal. Adanya sesaji dan ritual sesembahan untuk
penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal. Sedangkan tradisi nyadran
merupaka sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan
memanjatkan doa selamatan. Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13
melalui Walisongo. Sekiranya dakwah dengan pendekatan-pendekatan budaya
merupakan jalan terbaik dalam penyebaran Agama yang masih baru.
Banyaknya
ritual-ritual yang bertentangan dengan Agama Islam tidak menjadikan para wali
semerta-merta menghapus tradisi-tradisi yang telah melembaga dalam masyarakat
Jawa. Mereka mengambil jalan kebijaksanaan yakni menyebarkan agama Islam dengan
mengakulturasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam supaya mudah
diterima oleh masyarakat dan masuk Islam.
Pelaksanaan
tradisi Nyadran (Craddha) pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan
sesaji sebagai pelengkapan ritualnya
sedangkan oleh Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-Quran.
Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih
ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Karena pengaruh
Agama Islam makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada Tuhan
menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nifsu
Sya’ban. Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang
Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh karena
itu, pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana introspeksi atau
perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu
tahun.
Prosesi Nyadran di
Desa
Sepuluh, Kadilajo, Karangnongko, Klaten yaitu diawali pada pagi hari dengan
membersihkan makam leluhur atau keluarga
yang sudah meninggal dari kotoran dan rumput liar, dilanjutkan dengan berdoa
dan tabur bunga, setelah itu baru dilakukan kenduri di beberapa rumah sesuai
dengan grup kondangan masing-masing. Setiap grup kondangan biasanya terdiri
dari 8-19 anggota. Tidak semua rumah mengadakan kenduri hanya beberapa rumah saja
yang anggota keluarganya sudah meninggal yang melakukan kenduri. Tiap anggota
berkumpul sesuai dengan grup kondangan masing-masing. Setelah semua anggota
kenduri lengkap acara akan dimulai. Acara di awali dengan pembacaan doa yang di pimpin oleh modin dan anggota grup
mengamini, setelah pembacaan doa selesai salah satu anggota bertugas membagi
makanan sesuai jumlah orang yang mengikuti kenduri dan di masukkan tempat atau
panci yang telah dibawa oleh masing-masing anggota kenduri. Selanjutnya para
anggota kenduri pulang ke rumah masing-masing dan membawa jatah kendurinya
masing-masing untuk dimakan bersama keluarga.
Makna
dan nilai-nilai filosofis dalam upacara tradisi nyadran. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa nasi
tumpeng mengandung makna yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan
alam, dan dengan sesama manusia. Nasi gurih merupakan wujud dari rasa syukur
dan meminta keselamatan kepada Tuhan. Ingkung ayam menjadi simbol menyembah
Tuhan dengan khusuk dengan hati yang tenang dan yang disembelih untuk kenduri
adalah ayam jago karena ayam jago memunyai makna menghindari sifat-sifat buruk
ayam jago. Jajanan pasar melambangkan hubungan kemanusiaan atau silahturohmi
antar manusia. Pisang merupakan lambang dari etika kehidupan, diharapkan
manusia dapat mencontoh watak pisang yang dapat hidup dimana saja. Tabur bungga
memiliki makna sebagai peringatan kepada
para leluhur yang sudah berpulang mendahului kita.
Yang
terakhir makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran yaitu wujud
terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai waadah silaturohmi, perwujudan
sikap rukun, perwujudan sikap hormat, perwujudan kedewasaan kehidupan beragama,
sebagai perwujudan sikap keseimbangan
kehidupan sosial, dan untuk melestarikan warisan nenek moyang.


Nasi
Tumpeng Nasi Gurih


Jajanan Pasar+Pisang Ayam
Ingkung

Gorengan

PENUTUP
Nyadran
adalah suatu rangkaian acara budaya yang dilakukan untuk menyambut bulan Suci
Ramadhan, diawali dengan pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya
berupa kenduri di beberapa rumah. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern,
upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang
peranan penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki
makna folosifis tersendiri sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat
pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara
tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Makna dan nilai
filosofis dalam tradisi nyadran yaitu wujud terimakasih kepada Tuhan Yang Maha
Esa, sebagai waadah silaturohmi, perwujudan sikap rukun, perwujudan sikap
hormat, perwujudan kedewasaan kehidupan beragama, sebagai perwujudan sikap keseimbangan kehidupan
sosial, dan untuk melestarikan warisan nenek moyang.
Daftar Pustaka
Satria
Agung Deni. 2017. NILAI DAN FUNGSI DALAM PROSESI NYADRAN DI PADUKUHAN GEJAYAN,
CONDONG CATUR, KABUPATEN SLEMAN. Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar