Intan Nurhidayati A
(2017015001)
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
ABSTRAK
Upacara pernikahan adat
Jawa merupakan warisan dari tradisi Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Upacara
pernikahan dalam budaya Jawa berpegang pada aturan baku/pakem. Aturan dan tata
cara tersebut tidak hanya memperlihatkan nilai keindahan (estetik) semata,
tetapi juga mengandung makna filosofis. Desa Srigading, Kecamatan Sanden,
Bantul masih berusaha menjunjung nilai budaya Jawa dalam prosesi pernikahan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan mengkaji prosesi pernikahan
yang diselenggarakan di Desa Srigading, Sanden, Bantul. Metode penelitian yang
digunakan adalah studi pustaka, literatur, dan dokumentasi. Data yang diperoleh
lalu diolah dengan pendekatan kualitatif (Amiri, 1995:34). Hasil penelitian
adalah bahwa masyarakat Desa Srigading, Sanden, Bantul memiliki pandangan hidup
terhadap pernikahan sebagai sesuatu sakral dan suci. Prosesi pernikahan adat
Jawa ini memang tidak diselenggarakan secara lengkap, tetapi masih berpegang
pada atutan baku pernikahan Jawa.
Kata
kunci: pernikahan, Bantul, budaya, Jawa, tradisi
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Tualaka, 2009,
h.12). Dasar dalam sebuah perkawinan itu dibentuk oleh suatu unsur alami dari
manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan hidup berumah tangga, kebutuhan
biologis untuk melahirkan keturunan, kebutuhan terhadap kasih sayang
antaranggota keluarga, dan juga kebutuhan rasa persaudaraan serta kewajiban
untuk memelihara anakanak agar menjadi penerus generasi dan menjadi anggota
masyarakat yang baik. Pernikahan diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup
karena pernikahan merupakan peristiwa yang suci, sakral, dan menjadi kenangan
seumur hidup. Perkawinan juga perlambangan kehormatan, kejayaan, prestasi, dan
prestise orang tua mempelai serta pasangan pengantin (Febriantiko, 2014:100).
Masyarakat tradisional
Jawa mempunyai tata cara yang lengkap dalam melangsungkan sebuah tradisi
pernikahan. Tata cara pernikahan adat jawa terdiri dari nglamar (melamar/
pinangan), wangsulan (pemberian jawaban), asok tukon (pemberian uang dari
keluarga calon pengantin pria ke calon pengantin wanita sebagai bentuk rasa
tanggung jawab orangtua), srah-srahan (penyerahan barang-barang sebagai hadiah
dari calon pengantin pria ke calon pengantin wanita), nyatri (kehadiran calon
pengantin pria dan keluarga ke kediaman calon pengantin wanita), pasang tarub
(memasang tambahan atap sementara di depan rumah sebagai peneduh tamu), siraman
(upacara mandi kembang), dan midodareni (upacara untuk mengharap berkah Tuhan
agar diberikan keselamatan pada pemangku hajat di perhelatan berikutnya).
Berikutnya, hari pelaksanaan pernikahan biasanya mengadakan upacara boyongan
atau ngunduh (silaturahmi pengantin wanita ke kediaman pengantin pria setelah
hari kelima pernikahan) (Suryakusuma dkk, 2008:91).
Pernikahan pada umumnya merupakan salah
satu pristiwa besar dan penting dalam sejarah hidup seseorang. Peristiwa
pernikahan tentunya dirayakan dengan serangkaian upacara yang berlandaskan
budaya luhur dan suci. Hal ini tidak segan-segan bagi seseorang yang
mencurahkan segenap tenaga, mengorbankan banyak waktu, dan mengeluarkan biaya
besar untuk menyelenggarakan upacara pernikahan ini (Murtiadji dkk, 2012:6).
Sebagai peristiwa yang diharapkan tidak
terulang kembali dalam seumur hidup, pernikahan biasanya dibuat meriah, indah,
elok, simpatik, dan bekharisma. Berdasarkan alasan tersebut, tujuan atau
masalah utama dari tulisan ini adalah prosesi pernikahan adat Jawa di Desa
Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Dari hal itu, hal yang dibahas
dalam tulisan ini adalah, pertama, pandangan dari prosesi pernikahan adat Jawa
yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Srigading Kecamatan Sanden, Bantul.
Kedua, makna dari prosesi pernikahan adat Jawa bagi masyarakat Desa Srigading,
Kecamatan Sanden, Bantul.
PEMBAHASAN
Arti
pernikahan
Pernikahan berasal dari
kata dasar “nikah”. Kata itu merupakan bahasa Arab, yaitu nikkah yang berarti
perjanjian perkawinan. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya
terjadi pada saat penandatanganan dokumen tertulis dalam mencatatkan
pernikahan.
Upacara pernikahan
mengubah seseorang individu dalam menempuh kehidupan baru. Keluarga yang baru
dibangun perlu dibina agar mendatangkan suasana yang bahagia, sejahtera,
nyaman, dan tentram. Oleh karena itu, hal ini membutuhkan sikap tanggung jawab,
terstruktur, dan terpadu. Masing-masing anggota keluarga dituntut berperan
aktif sesuai dengan kemampuannya.
Selain membangun
keluarga baru, melalui pernikahan, manusia dapat memenuhi kebutuhan biologisnya
sehingga hal itu merupakan elemen untuk melanjutkan kehidupan generasi. Manusia
selalu berharap agar mendapat karunia dari Tuhan, dari masyarakat, dari
keluarga, maupun dari dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu, penyaluran
kebutuhan biologis diatur melalui pernikahan yang sah.
Adat istiadat dan tata
cara pernikahan Jawa berasal dari budaya keraton. Pada masa silam, tata cara
adat kebesaran pernikahan Jawa itu hanya boleh dilakukan di dalam tembok
keraton, abdi dalem (pelayan raja), atau orang-orang yang masih mempunyai
keturunan dengan raja (priayi/bangsawan). Tata acara pernikahan adat Jawa pada
dasarnya memiliki beberapa tahap yang biasanya dilalui, yaitu tahap awal, tahap
persiapan, tahap puncak acara, dan tahap akhir. Namun, hal itu tidak semuanya
oleh orang yang menyelenggarakan pesta pernikahan selalu dilaksanakan. Beberapa
rangkaian itu saat ini sudah mengalami perubahan sejalan dengan tata nilai yang
berkembang.
Setelah melewati tahap
awal dengan ritual nontoni, nglamar, wangsulan, dan asok tukon, prosesi
selanjutnya adalah ritual serahserahan. Serah-serahan merupakan upacara
penyerahan barang-barang dari pihak calon pengantin pria kepada calon pengantin
wanita dan keluarganya sebagai hadiah menjelang upacara panggih (berjumpa).
Serah-serahan merupakan acara yang tidak baku, tetapi hanya sebagai nepa palupi
atau melestarikan adat budaya yang telah berjalan dan dipandang baik
(Pringgawidagda, 2006:47). Upacara serah-serahan biasanya dilaksanakan sehari
sebelum dilaksanakannya upacara pernikahan, tepatnya di malam midodareni
Midodareni adalah
upacara untuk mengharapkan berkah dari Tuhan agar diberikan keselamatan dan
kelancaran kepada pemangku hajat. Secara khusus, pemangku hajat mengharapkan
turunnya wahyu kecantikan bagi calon pengantin wanita sehingga kecantikannya
diibaratkan seperti widodari (bidadari) (Suwarno, 2006:133).
Dilanjutkan dengan
prosesi ijab. Tahap ini merupakan acara terpenting dari rangkaian acara
pernikahan. Sebab, dalam acara ini, calon mempelai pria dan wanita mengucapkan
janji seumur hidup, sehidup semati. Sebagai suatu upacara yang paling penting,
acara ini biasanya ditata dengan sedemikian rupa sehingga terasa khusyuk.
Mengenai tempat dilaksanakanya pernikahan, sebagaian orang ada yang berpendapat
tempat ijab perlu dilakukan di luar rumah karena saat itu calon mempelai pria
belum sah sehingga belum diizinkan masuk ke dalam rumah (Hariwijaya, 2005:139).
Sebelum upacara panggih
dimulai, mempelai wanita sudah lebih dahulu didudukkan di pelaminan bersama
kedua orang tuanya. Sebelum memasuki upacara panggih, ada upacara yang
dilakukan, yaitu menyerahkan sanggan (barang serahserahan) kepada orang tua
mempelai wanita. Jika seseorang mau menikah dan telah memiliki mahar, pasangan
mempelai yang ingin mengikuti upacara panggih pengantin harus dengan
menggunakan kembar mayang (Hariwijaya, 2005:155).
Gambar kembang mayang yang dibawa oleh
Mbah Mardi
Kembar mayang merupakan
simbol yang berbentuk bunga yang dirangkai menggunakan janur dan daun-daunan.
Fungsinya sebagai petunjuk dan nasehat bagi pengantin dalam mengarungi hidup
baru. Kembar artinya sama. Mayang adalah bunga. Kembar mayang adalah sepasang
bunga khusus yang bentuknya sama untuk upacara pengantin, kecuali pada upacara
pengantin yang tidak menggunakan kembar mayang (Suwarno, 2006:135).
Upacara panggih adalah
tradisi pertemuan antara pengantin pria dan wanita. Acara panggih dilaksanakan
setelah ijab atau akad nikah.
Prosesi
dan Makna Adat Pernikahan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul.
Prosesi
lamaran
Upacara pernikahan di
Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul merupakan salah satu prosesi
pernikahan adat Jawa yang sampai saat ini masih berpegang teguh pada pakem
(aturan) adat istiadat Jawa.
Lamaran adalah
permohonan dari keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin
wanita untuk dijadikan pasangan hidup. Sebagai orang tua dari anak laki-laki,
lazimnya, mereka mengutus dua atau empat orang untuk menanyakan padhang
petengnya (pertimbangan baik dan buruk) pihak keluarga perempuan. Pihak
perempuan dalam menerima tamu ini biasanya menyampaikan segala hal seperti apa
adanya dan memberikan kesanggupan agar segera ditindaklanjuti. Hajat pesta
pernikahan atau mantu merupakan bagian dari kehormatan dan wibawa keluarga.
Mantu berasal dari istilah mengantu-antu, yang artinya saat yang
ditunggu-tunggu. Orang yang pertama kali menikahkan anaknya dinamakan mantu
sapisan (mantu yang pertama). Atau dengan kata lain, orang Jawa menyebutnya sebagai
mbukak kawah (membuka jalan). Sementara itu, mantu anak bungsu dinamakan mantu
ragil atau tumplakpunjen (simbol menumpahkan isi pundi atau punjen sebagai
bentuk rasa tanggung jawab orang tua).
Prosesi
Upacara Serah-Serahan Peningset
Upacara serah-serahan
pada pernikahan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul pada dasarnya sama
dengan prosesi serah-serahan pada pernikahan adat Jawa lainnya. Biasanya, acara
serah-serahan dihadiri oleh keluarga calon mempelai pria yang datang kepada
keluarga calon mempelai wanita. Umumnya, mereka membawa makanan sebagai benda
seserahan. Upacara serah-serahan ini menunjukan bahwa lamaran yang dilakukan
pihak calon mempelai pria telah diterima oleh pihak calon mempelai wanita.
Upacara ini sekaligus sebagai tanda pengikat antara calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita. Acara serahserahan ini tidak mesti dilaksanakan sehari
sebelum pelaksanaan upacara perkawinan. Namun, kadang kala, masyarakat Desa
Srigading melangsungkan prosesi serahserahan ini dua atau tiga hari sebelum
acara pernikahan berlangsung. Mereka membawa makanan dan bahan pokok.
Gambar seserahan dari pihak priya
untuk pihak wanita
Selain makanan dan
bahan pokok, barang tambahan dalam serah-serahan umumnya adalah sejumlah uang,
buah-buahan, jajanan pasar, kue-kue, dan lain sebagainya. Sejumlah uang atau
biasa disebut buwuh ini merupakan pemberian uang dari pihak calon mempelai
pria. Buwuh mempunyai arti imbuh-imbuh kanggo ewuh (tambah-tambah untuk hajat).
Hal ini bermakna calon mempelai pria ikut membantu biaya perhelatan calon
mempelai wanita demi terselenggaranya pesta pernikahan. Biasanya, buwuh ini
kurang lebih 50% dari perkiraan biaya pernikahan yang tetap ditanggung dari
pihak mempelai wanita. Selian itu, barang yang lain adalah sejumlah busana yang
dibawa calon mempelai pria untuk keluarga calon mempelai wanita. Jumlah dan
jenis bingkisan yang dibawa tergantung pada kemampuan masing-masing pihak. Akan
tetapi, jumlah itu diharapkan genap. Biasanya, bingkisan-bingkisan ini
dibawakan oleh para wanita dari calon mempelai pria. Kemudian, salah satu
sesepuh dari calon pengantin pria menyerahkan secara simbolis kepada ibu dari
pihak calon pengantin wanita (Hariwijaya, 2005:75-76).
Penyelenggaraan
Upacara Pasang Tarub
Masyarakat Jawa di Desa
Srigading yang menyelenggarakan pesta pernikahan biasanya memasang tarub dan
bleketepe di depan rumah mereka. Hal itu sebagai simbol tolak bala agar prosesi
pernikahan dapat berlajan lancar. Tarub adalah tambahan atap sementara yang
terbuat daun pohon kelapa kering yang sudah disusun rapih. Bleketepe adalah
sebuah anyaman daun kelapa atau nipah. Saat ini, sebagaian besar tarub yang
dibangun dari kain atau terpal yang dipasang atau diletakkan di sebelah kanan
dan kiri pendopo dan di belakang rumah. Biasanya, tarub juga dihiasi dengan
buntal (untaian) yang terbuat dari lima macam daun, yaitu adalah daun beringin,
kraton, bayambayaman merah, pupus pisang, dan daun pandan.
Bagian pintu sebelah
kanan rumah atau gerbang dipasang satu tandan pisang raja yang sudah matang,
satu jenjang cengkir atau kelapa gading muda, satu batang tebu wulung, dan
berbagai dedaunan. Dedaunan itu diantaranya adalah daun kluwih dan daun
alang-alang. Bagian pintu sebelah kiri rumah atau gerbang diberi batang pisang
pulut lengkap dengan satu tundun pisang yang sudah matang, dan satu cengkir
kelapa hijau. Istilah tarub memiliki sebuah arti, yaitu ditata kareben murup
(ditata agar hidup). Walaupun pernikahan dilaksanakan di dalam gedung
pertemuan, hiasan tarub biasanya tetap dipasang. Pemasangan tarub dan bleketepe
dilaksanakan pada tiga hari ataupun seminggu sebelum hari pernikahan
berlangsung. Sebagai salah satu rangkaian upacara pernikahan, pemasangan tarub
ini juga mempertimbangkan waktu atau tanggal yang baik. Misalnya adalah hari
yang sesuai dengan waktu pengantin melaksanakan ijab kabul yang dilihat dari
neptu hari dan pasaranya.
Upacara
Midodareni
Pada malam, midodareni
calon pengantin wanita hanya boleh berada di dalam kamar dan yang boleh
menemuinya hanyalah saudara dan juga tamu wanita saja. Malam midodareni pada
masa lalu dilaksanakan pada pukul 18.00 sampai jam 24.00 malam. Dalam prosesi
midodareni, calon pengantin wanita mengenakan busana polos tanpa perhiasan.
Pada malam ini, pihak calon pengantin pria datang ke rumah pengantin wanita
untuk bersama-sama memohon berkah Tuhan. Biasanya, calon pengantin pria datang
membawakan bingkisan atau seserahan. Setelah calon pengantin pria datang untuk
menunjukan kesungguhanya, ibu dari calon pengantin wanita lalu berbicara kepada
puterinya yang menjadi pengantin wanita untuk menanyakan kesungguhanya menjadi
calon isteri tantingan. Tantingan ini dilakukan untuk mendapatkan kepastian
terakhir tentang kesediaan calon pengantin wanita untuk dinikahkan.
Selanjutnya, pihak orang
tua (bapak) dari calon pengantin wanita memberikan wejengan (nasehat) pada
calon pengantin pria. Wejangan itu biasa disebut dengan catur wedha (empat
nasehat), yang berisi empat pedoman hidup yang diharapkan menjadi bekal untuk
calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga. Catur wedha biasanya
disampaikan dalam bahasa Jawa Ngoko.
Upacara
Ijab Kabul
Ijab merupakan inti
utama dalam rangkaian perhelatan pernikahan. Ijab merupakan tata cara
keagamaan. Sementara itu, rangkaian acara yang lain merupakan tradisi dalam
kebudayaan Jawa. Setiap orang yang melaksanakan ijab tidak akan berbeda dalam
hal syarat dan rukunnya (Suwarna, 2006:181). Ijab kabul ini merupakan prosesi
keagamaan dalam agama Islam.
Upacara akad nikah atau
ijab kabul ini dilaksanakan menurut kepercayaannya masing-masing mempelai. Akad
nikah dapat dilakukan di masjid atau mendatangkan penghulu.
Gambar
Ijab Kobul
Upacara
Pangih Temanten
Upacara panggih juga
disebut upacara dhaup atau temu, yaitu tradisi pertemuan antara pengantin pria
dan wanita. Acara ini dilaksanakan setelah akad nikah di masjid atau Kantor
Urusan Agama (KUA). Upacara panggih di Desa Srigadin, Sanden, Bantul dimulai
dengan mempersilahkan mempelai wanita duduk terlebih dahulu di kursi pelaminan
yang sudah disediakan bersama dengan kedua orang tua atau walinya. Sebelum
dilaksanakannya upacara panggih, ada upacara menyerahkan sanggan kepada ibu dan
bapak mempelai wanita, dan tukar menukar kembang mayang.
Gambar prosesi panggih
Ngidak
Tigan dan Wijik Sekar Setaman
Upacara ngidak tigan
dan wijik sekar setaman berarti menginjak telur dan mencuci dengan air kembang
setaman. Hal ini merupakan perlambangan bahwa pengantin pria berhasil
menurunkan benih dan mendapatkan keturunan yang baik. Hal itu disimbolkan
dengan pecahnya telur tersebut. Pengantin pria tetap berdiri dengan kaki yang
diposisikan menginjak telur dan ditaruh di atas nampan. Sementara itu,
pengantin wanita jongkok di depannya. Setelah telur berhasil diinjak dan pecah,
pengantin wanita lalu membersihkan kaki pengantin pria dengan air kembang
setaman yang sudah dipersiapkan.
Gambar Wijik Kembang Setaman
Acara ritual ngidak
tigan mempunyai makna filosofis yang penting bagi kedua mempelai. Tigan atau
telur yang digunakan dalam prosesi biasanya telur ayam kampung yang diletakkan
di atas baki. Telur tersebut diinjak dengan kaki kanan pengantin pria sampai
pecah. Setelah selesai menginjak telur, kaki kanan pengantin pria dibersihkan
dan dikeringkan, lalu pengantin wanita memasukannya lagi ke dalam selop. Pengantin
wanita melakukan prosesi ini sebagai tanda bakti seorang isteri kepada suami.
Ritual ngidak tigan ini bermakna ganda. Pertama adalah simbol peralihan dari
masa lajang bagi kedua pengantin untuk memasuki kehidupan baru yang berat dan
penuh tantangan. Kedua, ritual ini memiliki makna filosofis sebagai pemecahan
selaput dara pengantin wanita. Kedua pengantin memiliki kewajiban sebagai
suami-istri untuk memenuhi kebutuhan biologis satu dengan yang lain dengan
tujuan untuk memperoleh keturunan. Oleh karena itu, pada saat menginjak telur,
pengantin pria mengucapkan kalimat: “Ambedah korining kasuwargan” (menembus
gerbang surga). Ritual ngidak tigan ini hanya terdapat dalam upacara pernikahan
adat Jawa (Perbowosari, tt:85).
Adicara
Sinduran dan Kacar Kucur
Kedua pengantin saling
berdampingan, Setelah prosesi ngidak tigan selesai, pengantin kemudian saling
berdampingan. Pengantin wanita di sebelah kiri dan pengantin pria di sebelah
kanan. Ibu pengantin wanita lalu mengenakan sindur (selendang merah purih) pada
kedua mempelai dan memeganginya dari belakang. Sementara itu, bapak pengantin
wanita berada di depan pengantin berjalan pelan-pelan sambil memegang kedua
ujung kain sindur tersebut. Prosesi mengalungkan kain sindur dipundak kedua
mempelai ini sebagai simbol untuk menyatukan kedua mempelai menjadi satu. Kedua
kelingking mempelai masing-masing saling bergandengan. Sementara itu, tangan
mereka yang lain memegang bahu bapak pengantin wanita.
Istilah sindur bisa
diartikan isin mundur atau malu bila mundur. Hal ini memiliki makna bahwa
walaupun badai kehidupan yang harus mereka hadapi sangat berat, kedua mempelai
harus tabah dan malu jika harus mundur dan berpisah. Selain itu, kain sindur
memiliki makna kedua mempelai menyatu lahir batin dalam satu tujuan hidup. Ibu
yang berada di belakang pengantin memiliki makna simbolis merestui pasangan
tersebut atau tut wuri handayani. Sementara itu, sang ayah yang berada di depan
memiliki makna sebagai teladan bagi semuanya atau ing ngarsa sung tuladha
(Hariwijaya, 2005:165).
Prosesi berikutnya
adalah upacara kacar-kucur. Prosesi kacar kucur melambangkan seorang suami yang
jujur dan tidak curang. Semua hasil jerih payah dari bekerja diperuntukkan bagi
keluarga. Isteri harus pandai mengatur ekonomi rumah tangga. Prosesi kacar
kucur dimulai dengan berjalannya kedua mempelai secara bergandengan jari
kelingking ke tempat upacara kacar kucur. Pengantin wanita menerima benda-benda
dari pengantin pria. Benda-benda itu diantaranya adalah beberapa kedelai,
kacang, padi, jagung, beras kuning, jamu dlingo bengle, bunga, dan beberapa
mata uang yang berbeda nilainya (jumlah dari mata uang harus genap). Hal ini
merupakan simbol bahwa suami memberi semua penghasilannya kepada isterinya.
Pengantin wanita harus berhati-hati dalam menerima pemberian di dalam kain
putih ini. Setelah itu, pengantin wanita meletakkan pemberian suaminya itu di
atas tikar yang sudah digelar di pangkuannya (Suwarno, 2006:197).
Gambar prosesi kacar kucur
Prosesi dahar kembul
memiliki makna harapan agar kedua mempelai bisa hidup rukun, saling mengisi,
dan tolong menolong. Bunga kasih yang diharapkan mampu menyatukan keduanya
dalam suka dan duka. Pengantin pria dan pengantin wanita lalu membuat kepelan
(sejumput) dari nasi punar (ketan kuning). Mereka pun saling menyuapi sebanyak tiga
kali. Prosesi dahar kembul ini melambangkan bahwa kedua pengantin akan hidup
bersama-sama (Hamidi, 2002:64).
Gambar prosesi dahar kembul
Selanjutnya acara
sungkeman. Sungkeman ini di tunjukkan kepada kedua orangtua pengantin.
Maksudnya adalah untuk menunjukkan dharma bakti si anak kepada dua pasang
orangtuanya. Kedua pasang orangtua itu harus diperlakukan secara sama tanpa ada
perbedaan.
Acar sungkeman ini akan
membuat oarangtua menjadi nongkok, bombing, bahagia dan gembira. Namun juga bercampur
haru. Tata cara sungkeman yaitu sepasang pengantin tersebut hormat dengan
berjongkok menghaturkan sembah kepada kedua orangtua untuk memohon restu. Hal
itu dilakukan secara berururtan sebagai berikut: bapak mempelai priya, ibu
mempelai priya, bapak mempelai wanita, ibu mempelai wanita. Yang memberikan
sungkem dahulu mempelai priya disusul oleh mempelai wanita. Setelah menjadi
suami istri, mereka berkewajiban menghormati dan berterimakasih kepada orangtua,
bahwa beliau-beliau telah merawat dan mengentaskannya hingga dewasa (Purwadi,
2004:29-31).
Gambar prosesi sungkeman
Prosesi setelah
pernikahan berlangsung adalah boyongan atau ngunduh manten. Hal ini disebut
boyongan karena pengantin wanita dan pengantin pria diantar oleh keluarga pihak
pengantin wanita ke keluarga pihak pengantin pria secara bersama-sama. Ngunduh
manten diadakan di rumah pengantin pria. Biasanya, prosesi tersebut tidak
selengkap pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita (mantu).
Biasanya, ngunduh manten diselenggarakan sepasar setelah acara pernikahan.
Gambar prosesi boyongan
Jadi dalam upacara adat pernikahan terdapat nilai nilai yang
dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai nilai tersebut yakni :
1. Tidak memaksakan kehendak
2. Saling menghormati
3. Religi
4. Ketertiban
5. Tolong menolong
6. Musyawarah
7. Tanggung jawab
SIMPULAN
Di dalam pandangan
orang Jawa, jodoh merupakan salah satu rahasia Tuhan. Sebuah kearifan
mengatakan “siji pesthi, loro jodho, telu tibaning wahyu, papat kodrat, lima
bandha, iku saka kersaning Hyang kang murbeng dumadi”. Kalimat itu memiliki
makna bahwa satu maut, dua jodoh, tiga turunnya wahyu, empat kodrat, dan kelima
harta. Semua itu adalah kehendak Tuhan yang maha menciptakan alam semesta. Adat
pernikahan Jawa di Desa Srigading, Sanden, Bantul cenderung lebih sederhana
bila dibandingkan dengan adat Jawa yang lebih lengkap. Meskipun demikian, nilai
kesakralannya tetap terjaga.
DAFTAR
PUSTAKA
Febriantiko, H. (2014). Perbandingan Prosesi
Perkawinan Adat Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan IX
dalam Avatara. Jurnal Pendidikan Sejarah, 100.
Hamidin.
(2002). Buku Pintar Perkawinan Nusantara. Yogyakarta : DIVA Press.
Hariwijaya, M. (2005). Perkawinan Adat Jawa.
Yogyakarta: Hanggar Kreator.
Murtiadji.
(2012). Tata Rias Pengantin dan Adat Pernikahan Gaya Yogyakarta Klasik
Corak Paes Ageng . Jakarta: PT Gramedia.
Pringgawadagda.
(2006). Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta. Yogyakarta:
Kanisius.
Purwadi.
(2004). Tata Cara Pernikahan Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Suryaksuma,
S. (2008). Resep Sajen Perkawinan Pasang Tarub Jawa. Yogyakarta:
Pustaka Anggrek.
Amirin,
T.M. (1995). Menyusun Rencana Penelitian . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tualaka.
(2009). Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: New Merah Putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar