Jumat, 24 Mei 2019

PERNIKAHAN ADAT JAWA DI DESA SRIGADING, KECAMATAN SANDEN, KABUPATEN BANTUL



Intan Nurhidayati A
(2017015001)
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

ABSTRAK
Upacara pernikahan adat Jawa merupakan warisan dari tradisi Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Upacara pernikahan dalam budaya Jawa berpegang pada aturan baku/pakem. Aturan dan tata cara tersebut tidak hanya memperlihatkan nilai keindahan (estetik) semata, tetapi juga mengandung makna filosofis. Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul masih berusaha menjunjung nilai budaya Jawa dalam prosesi pernikahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan mengkaji prosesi pernikahan yang diselenggarakan di Desa Srigading, Sanden, Bantul. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, literatur, dan dokumentasi. Data yang diperoleh lalu diolah dengan pendekatan kualitatif (Amiri, 1995:34). Hasil penelitian adalah bahwa masyarakat Desa Srigading, Sanden, Bantul memiliki pandangan hidup terhadap pernikahan sebagai sesuatu sakral dan suci. Prosesi pernikahan adat Jawa ini memang tidak diselenggarakan secara lengkap, tetapi masih berpegang pada atutan baku pernikahan Jawa.
Kata kunci: pernikahan, Bantul, budaya, Jawa, tradisi


PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Tualaka, 2009, h.12). Dasar dalam sebuah perkawinan itu dibentuk oleh suatu unsur alami dari manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan hidup berumah tangga, kebutuhan biologis untuk melahirkan keturunan, kebutuhan terhadap kasih sayang antaranggota keluarga, dan juga kebutuhan rasa persaudaraan serta kewajiban untuk memelihara anakanak agar menjadi penerus generasi dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Pernikahan diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup karena pernikahan merupakan peristiwa yang suci, sakral, dan menjadi kenangan seumur hidup. Perkawinan juga perlambangan kehormatan, kejayaan, prestasi, dan prestise orang tua mempelai serta pasangan pengantin (Febriantiko, 2014:100).
Masyarakat tradisional Jawa mempunyai tata cara yang lengkap dalam melangsungkan sebuah tradisi pernikahan. Tata cara pernikahan adat jawa terdiri dari nglamar (melamar/ pinangan), wangsulan (pemberian jawaban), asok tukon (pemberian uang dari keluarga calon pengantin pria ke calon pengantin wanita sebagai bentuk rasa tanggung jawab orangtua), srah-srahan (penyerahan barang-barang sebagai hadiah dari calon pengantin pria ke calon pengantin wanita), nyatri (kehadiran calon pengantin pria dan keluarga ke kediaman calon pengantin wanita), pasang tarub (memasang tambahan atap sementara di depan rumah sebagai peneduh tamu), siraman (upacara mandi kembang), dan midodareni (upacara untuk mengharap berkah Tuhan agar diberikan keselamatan pada pemangku hajat di perhelatan berikutnya). Berikutnya, hari pelaksanaan pernikahan biasanya mengadakan upacara boyongan atau ngunduh (silaturahmi pengantin wanita ke kediaman pengantin pria setelah hari kelima pernikahan) (Suryakusuma dkk, 2008:91).
Pernikahan pada umumnya merupakan salah satu pristiwa besar dan penting dalam sejarah hidup seseorang. Peristiwa pernikahan tentunya dirayakan dengan serangkaian upacara yang berlandaskan budaya luhur dan suci. Hal ini tidak segan-segan bagi seseorang yang mencurahkan segenap tenaga, mengorbankan banyak waktu, dan mengeluarkan biaya besar untuk menyelenggarakan upacara pernikahan ini (Murtiadji dkk, 2012:6).
Sebagai peristiwa yang diharapkan tidak terulang kembali dalam seumur hidup, pernikahan biasanya dibuat meriah, indah, elok, simpatik, dan bekharisma. Berdasarkan alasan tersebut, tujuan atau masalah utama dari tulisan ini adalah prosesi pernikahan adat Jawa di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Dari hal itu, hal yang dibahas dalam tulisan ini adalah, pertama, pandangan dari prosesi pernikahan adat Jawa yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Srigading Kecamatan Sanden, Bantul. Kedua, makna dari prosesi pernikahan adat Jawa bagi masyarakat Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul.


PEMBAHASAN
Arti pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar “nikah”. Kata itu merupakan bahasa Arab, yaitu nikkah yang berarti perjanjian perkawinan. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat penandatanganan dokumen tertulis dalam mencatatkan pernikahan.
Upacara pernikahan mengubah seseorang individu dalam menempuh kehidupan baru. Keluarga yang baru dibangun perlu dibina agar mendatangkan suasana yang bahagia, sejahtera, nyaman, dan tentram. Oleh karena itu, hal ini membutuhkan sikap tanggung jawab, terstruktur, dan terpadu. Masing-masing anggota keluarga dituntut berperan aktif sesuai dengan kemampuannya.
Selain membangun keluarga baru, melalui pernikahan, manusia dapat memenuhi kebutuhan biologisnya sehingga hal itu merupakan elemen untuk melanjutkan kehidupan generasi. Manusia selalu berharap agar mendapat karunia dari Tuhan, dari masyarakat, dari keluarga, maupun dari dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu, penyaluran kebutuhan biologis diatur melalui pernikahan yang sah.
Adat istiadat dan tata cara pernikahan Jawa berasal dari budaya keraton. Pada masa silam, tata cara adat kebesaran pernikahan Jawa itu hanya boleh dilakukan di dalam tembok keraton, abdi dalem (pelayan raja), atau orang-orang yang masih mempunyai keturunan dengan raja (priayi/bangsawan). Tata acara pernikahan adat Jawa pada dasarnya memiliki beberapa tahap yang biasanya dilalui, yaitu tahap awal, tahap persiapan, tahap puncak acara, dan tahap akhir. Namun, hal itu tidak semuanya oleh orang yang menyelenggarakan pesta pernikahan selalu dilaksanakan. Beberapa rangkaian itu saat ini sudah mengalami perubahan sejalan dengan tata nilai yang berkembang.
Setelah melewati tahap awal dengan ritual nontoni, nglamar, wangsulan, dan asok tukon, prosesi selanjutnya adalah ritual serahserahan. Serah-serahan merupakan upacara penyerahan barang-barang dari pihak calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita dan keluarganya sebagai hadiah menjelang upacara panggih (berjumpa). Serah-serahan merupakan acara yang tidak baku, tetapi hanya sebagai nepa palupi atau melestarikan adat budaya yang telah berjalan dan dipandang baik (Pringgawidagda, 2006:47). Upacara serah-serahan biasanya dilaksanakan sehari sebelum dilaksanakannya upacara pernikahan, tepatnya di malam midodareni
Midodareni adalah upacara untuk mengharapkan berkah dari Tuhan agar diberikan keselamatan dan kelancaran kepada pemangku hajat. Secara khusus, pemangku hajat mengharapkan turunnya wahyu kecantikan bagi calon pengantin wanita sehingga kecantikannya diibaratkan seperti widodari (bidadari) (Suwarno, 2006:133).
Dilanjutkan dengan prosesi ijab. Tahap ini merupakan acara terpenting dari rangkaian acara pernikahan. Sebab, dalam acara ini, calon mempelai pria dan wanita mengucapkan janji seumur hidup, sehidup semati. Sebagai suatu upacara yang paling penting, acara ini biasanya ditata dengan sedemikian rupa sehingga terasa khusyuk. Mengenai tempat dilaksanakanya pernikahan, sebagaian orang ada yang berpendapat tempat ijab perlu dilakukan di luar rumah karena saat itu calon mempelai pria belum sah sehingga belum diizinkan masuk ke dalam rumah (Hariwijaya, 2005:139).
Sebelum upacara panggih dimulai, mempelai wanita sudah lebih dahulu didudukkan di pelaminan bersama kedua orang tuanya. Sebelum memasuki upacara panggih, ada upacara yang dilakukan, yaitu menyerahkan sanggan (barang serahserahan) kepada orang tua mempelai wanita. Jika seseorang mau menikah dan telah memiliki mahar, pasangan mempelai yang ingin mengikuti upacara panggih pengantin harus dengan menggunakan kembar mayang (Hariwijaya, 2005:155).
Gambar kembang mayang yang dibawa oleh Mbah Mardi
Kembar mayang merupakan simbol yang berbentuk bunga yang dirangkai menggunakan janur dan daun-daunan. Fungsinya sebagai petunjuk dan nasehat bagi pengantin dalam mengarungi hidup baru. Kembar artinya sama. Mayang adalah bunga. Kembar mayang adalah sepasang bunga khusus yang bentuknya sama untuk upacara pengantin, kecuali pada upacara pengantin yang tidak menggunakan kembar mayang (Suwarno, 2006:135).
Upacara panggih adalah tradisi pertemuan antara pengantin pria dan wanita. Acara panggih dilaksanakan setelah ijab atau akad nikah.
Prosesi dan Makna Adat Pernikahan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul.
Prosesi lamaran
Upacara pernikahan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul merupakan salah satu prosesi pernikahan adat Jawa yang sampai saat ini masih berpegang teguh pada pakem (aturan) adat istiadat Jawa.
Lamaran adalah permohonan dari keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin wanita untuk dijadikan pasangan hidup. Sebagai orang tua dari anak laki-laki, lazimnya, mereka mengutus dua atau empat orang untuk menanyakan padhang petengnya (pertimbangan baik dan buruk) pihak keluarga perempuan. Pihak perempuan dalam menerima tamu ini biasanya menyampaikan segala hal seperti apa adanya dan memberikan kesanggupan agar segera ditindaklanjuti. Hajat pesta pernikahan atau mantu merupakan bagian dari kehormatan dan wibawa keluarga. Mantu berasal dari istilah mengantu-antu, yang artinya saat yang ditunggu-tunggu. Orang yang pertama kali menikahkan anaknya dinamakan mantu sapisan (mantu yang pertama). Atau dengan kata lain, orang Jawa menyebutnya sebagai mbukak kawah (membuka jalan). Sementara itu, mantu anak bungsu dinamakan mantu ragil atau tumplakpunjen (simbol menumpahkan isi pundi atau punjen sebagai bentuk rasa tanggung jawab orang tua).  
Prosesi Upacara Serah-Serahan Peningset
Upacara serah-serahan pada pernikahan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul pada dasarnya sama dengan prosesi serah-serahan pada pernikahan adat Jawa lainnya. Biasanya, acara serah-serahan dihadiri oleh keluarga calon mempelai pria yang datang kepada keluarga calon mempelai wanita. Umumnya, mereka membawa makanan sebagai benda seserahan. Upacara serah-serahan ini menunjukan bahwa lamaran yang dilakukan pihak calon mempelai pria telah diterima oleh pihak calon mempelai wanita. Upacara ini sekaligus sebagai tanda pengikat antara calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Acara serahserahan ini tidak mesti dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan upacara perkawinan. Namun, kadang kala, masyarakat Desa Srigading melangsungkan prosesi serahserahan ini dua atau tiga hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Mereka membawa makanan dan bahan pokok.
 
Gambar seserahan dari pihak priya untuk  pihak wanita
Selain makanan dan bahan pokok, barang tambahan dalam serah-serahan umumnya adalah sejumlah uang, buah-buahan, jajanan pasar, kue-kue, dan lain sebagainya. Sejumlah uang atau biasa disebut buwuh ini merupakan pemberian uang dari pihak calon mempelai pria. Buwuh mempunyai arti imbuh-imbuh kanggo ewuh (tambah-tambah untuk hajat). Hal ini bermakna calon mempelai pria ikut membantu biaya perhelatan calon mempelai wanita demi terselenggaranya pesta pernikahan. Biasanya, buwuh ini kurang lebih 50% dari perkiraan biaya pernikahan yang tetap ditanggung dari pihak mempelai wanita. Selian itu, barang yang lain adalah sejumlah busana yang dibawa calon mempelai pria untuk keluarga calon mempelai wanita. Jumlah dan jenis bingkisan yang dibawa tergantung pada kemampuan masing-masing pihak. Akan tetapi, jumlah itu diharapkan genap. Biasanya, bingkisan-bingkisan ini dibawakan oleh para wanita dari calon mempelai pria. Kemudian, salah satu sesepuh dari calon pengantin pria menyerahkan secara simbolis kepada ibu dari pihak calon pengantin wanita (Hariwijaya, 2005:75-76).
Penyelenggaraan Upacara Pasang Tarub
Masyarakat Jawa di Desa Srigading yang menyelenggarakan pesta pernikahan biasanya memasang tarub dan bleketepe di depan rumah mereka. Hal itu sebagai simbol tolak bala agar prosesi pernikahan dapat berlajan lancar. Tarub adalah tambahan atap sementara yang terbuat daun pohon kelapa kering yang sudah disusun rapih. Bleketepe adalah sebuah anyaman daun kelapa atau nipah. Saat ini, sebagaian besar tarub yang dibangun dari kain atau terpal yang dipasang atau diletakkan di sebelah kanan dan kiri pendopo dan di belakang rumah. Biasanya, tarub juga dihiasi dengan buntal (untaian) yang terbuat dari lima macam daun, yaitu adalah daun beringin, kraton, bayambayaman merah, pupus pisang, dan daun pandan.
Bagian pintu sebelah kanan rumah atau gerbang dipasang satu tandan pisang raja yang sudah matang, satu jenjang cengkir atau kelapa gading muda, satu batang tebu wulung, dan berbagai dedaunan. Dedaunan itu diantaranya adalah daun kluwih dan daun alang-alang. Bagian pintu sebelah kiri rumah atau gerbang diberi batang pisang pulut lengkap dengan satu tundun pisang yang sudah matang, dan satu cengkir kelapa hijau. Istilah tarub memiliki sebuah arti, yaitu ditata kareben murup (ditata agar hidup). Walaupun pernikahan dilaksanakan di dalam gedung pertemuan, hiasan tarub biasanya tetap dipasang. Pemasangan tarub dan bleketepe dilaksanakan pada tiga hari ataupun seminggu sebelum hari pernikahan berlangsung. Sebagai salah satu rangkaian upacara pernikahan, pemasangan tarub ini juga mempertimbangkan waktu atau tanggal yang baik. Misalnya adalah hari yang sesuai dengan waktu pengantin melaksanakan ijab kabul yang dilihat dari neptu hari dan pasaranya.
Upacara Midodareni
Pada malam, midodareni calon pengantin wanita hanya boleh berada di dalam kamar dan yang boleh menemuinya hanyalah saudara dan juga tamu wanita saja. Malam midodareni pada masa lalu dilaksanakan pada pukul 18.00 sampai jam 24.00 malam. Dalam prosesi midodareni, calon pengantin wanita mengenakan busana polos tanpa perhiasan. Pada malam ini, pihak calon pengantin pria datang ke rumah pengantin wanita untuk bersama-sama memohon berkah Tuhan. Biasanya, calon pengantin pria datang membawakan bingkisan atau seserahan. Setelah calon pengantin pria datang untuk menunjukan kesungguhanya, ibu dari calon pengantin wanita lalu berbicara kepada puterinya yang menjadi pengantin wanita untuk menanyakan kesungguhanya menjadi calon isteri tantingan. Tantingan ini dilakukan untuk mendapatkan kepastian terakhir tentang kesediaan calon pengantin wanita untuk dinikahkan.
Selanjutnya, pihak orang tua (bapak) dari calon pengantin wanita memberikan wejengan (nasehat) pada calon pengantin pria. Wejangan itu biasa disebut dengan catur wedha (empat nasehat), yang berisi empat pedoman hidup yang diharapkan menjadi bekal untuk calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga. Catur wedha biasanya disampaikan dalam bahasa Jawa Ngoko.
Upacara Ijab Kabul
Ijab merupakan inti utama dalam rangkaian perhelatan pernikahan. Ijab merupakan tata cara keagamaan. Sementara itu, rangkaian acara yang lain merupakan tradisi dalam kebudayaan Jawa. Setiap orang yang melaksanakan ijab tidak akan berbeda dalam hal syarat dan rukunnya (Suwarna, 2006:181). Ijab kabul ini merupakan prosesi keagamaan dalam agama Islam.
Upacara akad nikah atau ijab kabul ini dilaksanakan menurut kepercayaannya masing-masing mempelai. Akad nikah dapat dilakukan di masjid atau mendatangkan penghulu.
Gambar Ijab Kobul


Upacara Pangih Temanten
Upacara panggih juga disebut upacara dhaup atau temu, yaitu tradisi pertemuan antara pengantin pria dan wanita. Acara ini dilaksanakan setelah akad nikah di masjid atau Kantor Urusan Agama (KUA). Upacara panggih di Desa Srigadin, Sanden, Bantul dimulai dengan mempersilahkan mempelai wanita duduk terlebih dahulu di kursi pelaminan yang sudah disediakan bersama dengan kedua orang tua atau walinya. Sebelum dilaksanakannya upacara panggih, ada upacara menyerahkan sanggan kepada ibu dan bapak mempelai wanita, dan tukar menukar kembang mayang.
 
Gambar prosesi panggih  
Ngidak Tigan dan Wijik Sekar Setaman
Upacara ngidak tigan dan wijik sekar setaman berarti menginjak telur dan mencuci dengan air kembang setaman. Hal ini merupakan perlambangan bahwa pengantin pria berhasil menurunkan benih dan mendapatkan keturunan yang baik. Hal itu disimbolkan dengan pecahnya telur tersebut. Pengantin pria tetap berdiri dengan kaki yang diposisikan menginjak telur dan ditaruh di atas nampan. Sementara itu, pengantin wanita jongkok di depannya. Setelah telur berhasil diinjak dan pecah, pengantin wanita lalu membersihkan kaki pengantin pria dengan air kembang setaman yang sudah dipersiapkan.
Gambar Wijik Kembang Setaman
Acara ritual ngidak tigan mempunyai makna filosofis yang penting bagi kedua mempelai. Tigan atau telur yang digunakan dalam prosesi biasanya telur ayam kampung yang diletakkan di atas baki. Telur tersebut diinjak dengan kaki kanan pengantin pria sampai pecah. Setelah selesai menginjak telur, kaki kanan pengantin pria dibersihkan dan dikeringkan, lalu pengantin wanita memasukannya lagi ke dalam selop. Pengantin wanita melakukan prosesi ini sebagai tanda bakti seorang isteri kepada suami. Ritual ngidak tigan ini bermakna ganda. Pertama adalah simbol peralihan dari masa lajang bagi kedua pengantin untuk memasuki kehidupan baru yang berat dan penuh tantangan. Kedua, ritual ini memiliki makna filosofis sebagai pemecahan selaput dara pengantin wanita. Kedua pengantin memiliki kewajiban sebagai suami-istri untuk memenuhi kebutuhan biologis satu dengan yang lain dengan tujuan untuk memperoleh keturunan. Oleh karena itu, pada saat menginjak telur, pengantin pria mengucapkan kalimat: “Ambedah korining kasuwargan” (menembus gerbang surga). Ritual ngidak tigan ini hanya terdapat dalam upacara pernikahan adat Jawa (Perbowosari, tt:85).
Adicara Sinduran dan Kacar Kucur
Kedua pengantin saling berdampingan, Setelah prosesi ngidak tigan selesai, pengantin kemudian saling berdampingan. Pengantin wanita di sebelah kiri dan pengantin pria di sebelah kanan. Ibu pengantin wanita lalu mengenakan sindur (selendang merah purih) pada kedua mempelai dan memeganginya dari belakang. Sementara itu, bapak pengantin wanita berada di depan pengantin berjalan pelan-pelan sambil memegang kedua ujung kain sindur tersebut. Prosesi mengalungkan kain sindur dipundak kedua mempelai ini sebagai simbol untuk menyatukan kedua mempelai menjadi satu. Kedua kelingking mempelai masing-masing saling bergandengan. Sementara itu, tangan mereka yang lain memegang bahu bapak pengantin wanita.
Istilah sindur bisa diartikan isin mundur atau malu bila mundur. Hal ini memiliki makna bahwa walaupun badai kehidupan yang harus mereka hadapi sangat berat, kedua mempelai harus tabah dan malu jika harus mundur dan berpisah. Selain itu, kain sindur memiliki makna kedua mempelai menyatu lahir batin dalam satu tujuan hidup. Ibu yang berada di belakang pengantin memiliki makna simbolis merestui pasangan tersebut atau tut wuri handayani. Sementara itu, sang ayah yang berada di depan memiliki makna sebagai teladan bagi semuanya atau ing ngarsa sung tuladha (Hariwijaya, 2005:165).
Prosesi berikutnya adalah upacara kacar-kucur. Prosesi kacar kucur melambangkan seorang suami yang jujur dan tidak curang. Semua hasil jerih payah dari bekerja diperuntukkan bagi keluarga. Isteri harus pandai mengatur ekonomi rumah tangga. Prosesi kacar kucur dimulai dengan berjalannya kedua mempelai secara bergandengan jari kelingking ke tempat upacara kacar kucur. Pengantin wanita menerima benda-benda dari pengantin pria. Benda-benda itu diantaranya adalah beberapa kedelai, kacang, padi, jagung, beras kuning, jamu dlingo bengle, bunga, dan beberapa mata uang yang berbeda nilainya (jumlah dari mata uang harus genap). Hal ini merupakan simbol bahwa suami memberi semua penghasilannya kepada isterinya. Pengantin wanita harus berhati-hati dalam menerima pemberian di dalam kain putih ini. Setelah itu, pengantin wanita meletakkan pemberian suaminya itu di atas tikar yang sudah digelar di pangkuannya (Suwarno, 2006:197).
Gambar prosesi kacar kucur
Prosesi dahar kembul memiliki makna harapan agar kedua mempelai bisa hidup rukun, saling mengisi, dan tolong menolong. Bunga kasih yang diharapkan mampu menyatukan keduanya dalam suka dan duka. Pengantin pria dan pengantin wanita lalu membuat kepelan (sejumput) dari nasi punar (ketan kuning). Mereka pun saling menyuapi sebanyak tiga kali. Prosesi dahar kembul ini melambangkan bahwa kedua pengantin akan hidup bersama-sama (Hamidi, 2002:64).
Gambar prosesi dahar kembul
Selanjutnya acara sungkeman. Sungkeman ini di tunjukkan kepada kedua orangtua pengantin. Maksudnya adalah untuk menunjukkan dharma bakti si anak kepada dua pasang orangtuanya. Kedua pasang orangtua itu harus diperlakukan secara sama tanpa ada perbedaan.
Acar sungkeman ini akan membuat oarangtua menjadi nongkok, bombing, bahagia dan gembira. Namun juga bercampur haru. Tata cara sungkeman yaitu sepasang pengantin tersebut hormat dengan berjongkok menghaturkan sembah kepada kedua orangtua untuk memohon restu. Hal itu dilakukan secara berururtan sebagai berikut: bapak mempelai priya, ibu mempelai priya, bapak mempelai wanita, ibu mempelai wanita. Yang memberikan sungkem dahulu mempelai priya disusul oleh mempelai wanita. Setelah menjadi suami istri, mereka berkewajiban menghormati dan berterimakasih kepada orangtua, bahwa beliau-beliau telah merawat dan mengentaskannya hingga dewasa (Purwadi, 2004:29-31).
Gambar prosesi sungkeman
Prosesi setelah pernikahan berlangsung adalah boyongan atau ngunduh manten. Hal ini disebut boyongan karena pengantin wanita dan pengantin pria diantar oleh keluarga pihak pengantin wanita ke keluarga pihak pengantin pria secara bersama-sama. Ngunduh manten diadakan di rumah pengantin pria. Biasanya, prosesi tersebut tidak selengkap pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita (mantu). Biasanya, ngunduh manten diselenggarakan sepasar setelah acara pernikahan.
 
Gambar prosesi boyongan
Jadi dalam upacara adat pernikahan terdapat nilai nilai yang dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai nilai tersebut yakni :
1.      Tidak memaksakan kehendak
2.      Saling menghormati
3.      Religi
4.      Ketertiban
5.      Tolong menolong
6.      Musyawarah
7.      Tanggung jawab

SIMPULAN
Di dalam pandangan orang Jawa, jodoh merupakan salah satu rahasia Tuhan. Sebuah kearifan mengatakan “siji pesthi, loro jodho, telu tibaning wahyu, papat kodrat, lima bandha, iku saka kersaning Hyang kang murbeng dumadi”. Kalimat itu memiliki makna bahwa satu maut, dua jodoh, tiga turunnya wahyu, empat kodrat, dan kelima harta. Semua itu adalah kehendak Tuhan yang maha menciptakan alam semesta. Adat pernikahan Jawa di Desa Srigading, Sanden, Bantul cenderung lebih sederhana bila dibandingkan dengan adat Jawa yang lebih lengkap. Meskipun demikian, nilai kesakralannya tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA
Febriantiko, H. (2014). Perbandingan Prosesi Perkawinan Adat Keraton Yogyakarta Masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan IX dalam Avatara. Jurnal Pendidikan Sejarah, 100.
Hamidin. (2002). Buku Pintar Perkawinan Nusantara. Yogyakarta : DIVA Press.
Hariwijaya, M. (2005). Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Hanggar Kreator.
Murtiadji. (2012). Tata Rias Pengantin dan Adat Pernikahan Gaya Yogyakarta Klasik Corak Paes Ageng . Jakarta: PT Gramedia.
Pringgawadagda. (2006). Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius.
Purwadi. (2004). Tata Cara Pernikahan Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Suryaksuma, S. (2008). Resep Sajen Perkawinan Pasang Tarub Jawa. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.
Amirin, T.M. (1995). Menyusun Rencana Penelitian . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tualaka. (2009). Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: New Merah Putih.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...