Oleh
Melania Floyani Lanu (2016015412)
Abstract
Budaya telah memberikan kontribusi besar dalam
membentuk tradisi masyarakat. Termasuk juga tradisi“pati karapau”(potong kerbau) yang tepat dilestarikan hingga
sekarang oleh masyarakat dusun Ko’a Desa Rokirole Kecamatan Palue Kabupaten
Sikka Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini dilaksanakan secara turun temurun tanpa
diketahui dengan pasti kapan munculnya. Menurut masyarakat dusun ko’a, pati karapau merupakan upacara
penyembahan kepada era wula watu tana
sebagai tanda atas segala kemudahan, kelancaran mereka baik berupa kesehatan,
keselamatan, panen melimpah, maupun kesejaterahan hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah,
maksud dan tujuan diadakan upacara pati
karapau didusun Ko’a, mengetahui seperti apa bentuk serta proses
kegiatanya, apakah masih tetap sama dengan sebelumn-sebelumnya.
Ruang lingkup penelitian meliputi kondisi social
budaya masyarakat dusun Ko’a sebelum tahun 2000- dan kondisi social budaya
masyarakat saat ini. Ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
masuk ke tengah-tengah masyarakat dusun Ko’a dan telah banyak merubah perilaku
mereka. Namun tradisi pati karapau
tetap di pertahankan sebagai satu identitas diri.
Tipe penelitian ini adalah penelitian descriptive,
dengan menggunakn metode survey lapangan dan wawancara. Hasil pengamatan
tersebut menemukan bahwa masyarakat dusun Ko’a menganggap bahwa tradisi ini
sangatlah penting karena terbukti efektif untuk memupuk rasa persaudaraan
antara anggota masyarakat. Inilah yang menyebabkan eksistensi dari pati karapau tetapp terpelihara dengan
baik.
Kata Kunci: Budaya , Social, tradisi
BAB 1
PENDAHULUAN
Budaya adalah suatu warisan dari leluhur atau nenek moyang
kita yang tidak ternilai harganya. Negara Indonesia disebut Negara maritim
karena dikelilingin oleh banyak pulau, budaya Indonesia sangat banyak dan
beraneka ragam, budaya itulah yang seharusnya kita jaga dan kita lestarikan
agar tidak punah atuapun diklaim oleh Negara lain.
Salah satu adat kebudayaan di Indonesia adalah dari pulau palue. Pulau
Palue merupakan satu dari sekian banyak pulau dalam wilayah administratif
Kabupaten Sikka , NTT, Indonesia . Ia berjarak 15 km dari pesisir utara Pulau
Flores. Pulau ini berbentuk kerucut dan bundar dengan luas lebih dari 72 km2.
Disana ada upacara adat yang dinamakan ”upacara pati karapau” atau disebut
dengan “upacara potong kerbau”

Ritus Pati
Kerapau ini dijalankan secara tetap setiap lima tahun. Tentu bukan sekedar
pengulangan hampa makna. Melaluinya, dalam suatu perayaan bersama, diadakan
penciptaan kembali dan pemulihan relasi yang rusak dengan Yang Illahi dan
sesama. pati Kerapau
demikian orang Palue menyebut merupakan acara yang syarat dengan makna. Upacara
Pati Kerapau adalah acara upacara kegembiraan masyarakat Palue sekali
syukuran kepada leluhur mereka yang ditandai dengan penyembelihan seekor kerbau
di sekitar mesbah oleh Lakimosa. Pada saat itu masyarakat dengan wajah yang
berseri menari dan memainkan musik tradisional Palue yang membuat acara ini
semakin menarik.
Ko’a
merupakan salah satu kampung tradisional yang berada di lereng gunung
Rokatenda, di Pulau Palue, Kabupaten Sikka. Di kampung ini dijalankan ritus Pua
Kerapau dan Pati Kerapau (poka pu’u supo ngalu) atau
upacara potong kerbau (pati : potong, memotong dan kerapau :
kerbau). Untuk mencapai kampung tradisional ini, orang harus melewati jalan
setapak yang terjal dan berbatu.

Dari segi
adat, wilayah perkampungan tradisional Ko’a terbentuk dari enam kunu
atau marga yakni Powowawo, Manggepase, Nunusomba, Sarikoa, Rokaroi, dan Kacu
male. Dari enam kunu ini, kunu Powowawu merupakan kepala dan
karenanya memegang peranan penting dalam pelaksanaan ritus Pua Kerapau
dan Pati Kerapau. Dalam hubungan dengan pelaksanaan ritus Pua
Kerapau dan Pati Kerapau, dari enam kunu di atas hanya
dua kunu, yaitu Powowawo dan Manggepase yang membuat ritus ini.
Sedangkan kunu yang lain bertindak sebagai pendukung pelaksanaan ritus
Pati Kerapau. Di kampung Ko’a terdapat dua altar kuno tempat
pelaksanaan ritus Pati Kerapau dan saat ritus tersebut
dijalankan ia selalu dimulai dari dan oleh kunu Powowawo.
Struktur sosial-tradisional masyarakat Ko’a dapat digambarkan secara sederhana
dengan mengikuti penjelasan atas struktur tupu atau altar tempat ritus
pati kerapau dijalankan. Tempat itu menyerupai sebuah panggung, yang
tersusun dari batu-batu dan membentuk lingkaran berlapis tiga bagian, yakni :
(1) lingkaran bagian dalam adalah wilayah lakimosa; (2) lingkaran
kedua adalah pendukung lakimosa (ina tuke laki); dan (3)
lingkaran paling luar menggambarkan seluruh warga kampung sebagai satu kesatuan
yang tak terpisahkan (wai walu).
Jadi ia
adalah suatu tindakan kreatif. Dalam tindakan kreatif itu, ada imperatif moral
bahwa hidup harus selalu diperbaharui. Kalau perayaan itu adalah kisah, maka ia
adalah kisah tentang kerusakan, korban dan pemulihan.
Tujuan
dari pebuatan artikel ini adalh untuk bisa mengetahui tradisi upacara pati karapu
atau yang biasa disebut dengan potong
kerbau.
Bab II
PEMBAHASAN
kemarau
panjang, hasil pertanian dan laut kurang menggembirakan, serta wabah penyakit
melanda menjadi tanda serius bagi tetua adat untuk segera melakukan
”pendinginan” atau pemulihan alam. Ritual Pua Karapau merupakan salah satu
jawabannya.
Pua Karapau (muat kerbau)
merupakan salah satu ritual adat yang telah dilakukan turun-temurun oleh
warga di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pulau sendiri
sekitar dua jam dengan morot laut dari Maumere (Kabupaten Sikka) atau satu jam
dari Ropa (pesisir utara Kabupaten Ende).

Warga dua dusun itu yang
berada di luar Palue pun berdatangan sebelum rangkaian Pua Karapau mulai
dilakukan hingga puncaknya, yakni berupa pemotongan kerbau sebagai persembahan
kepada Rawula Watu Tana (Tuhan penguasa alam semesta) dan para leluhur. Tahun
ini puncak acara jatuh awal bulan 04 tahun 2019.
Pua Karapau tahun ini
memang agak unik karena semestinya hanya memuat dua kerbau. Namun, berhubung
seekor kerbau yang dipersiapkan sejak tahun 2014 mati pada bulan Juni 2018,
maka perlu dipersiapkan gantinya tahun ini sehingga yang dipersiapkan menjadi
tiga ekor.
Pasalnya,
untuk Pua Karapau tahap pertama akan dipersiapkan dua kerbau, seekor di
antaranya untuk dipotong dalam ritual tersebut, sedangkan seekor lainnya dipersiapkan
untuk dipersembahkan pada masa Pati Karapau (potong kerbau) pada tahun ke-5.
Sementara pada Pua Karapau tahap kedua juga
dimuat lagi dua kerbau, seekor dipotong saat itu, sedangkan seekor lainnya
untuk Pati Karapau. Dengan demikian, saat Pati Karapau tahun 2019 akan dipotong
dua kerbau yang dipersembahkan bagi Rawula.
”Persembahan kerbau pada
waktu Pua Karapau dimaksudkan sebagai pemberitahuan bahwa masyarakat Nitung
telah mempersiapkan persembahan (dua kerbau) untuk Rawula dan para leluhur,
yang akan diberikan pada saat Pati Karapau,” kata Tongge.
Dari delapan desa di
Pulau Palue, tradisi Pua Karapau dan Pati Karapau dilakukan turun-temurun oleh
komunitas adat di empat desa, yaitu Nitunglea, Rokirole, Tuanggeo, dan
Ladolaka.
Namun,
tata cara ritual antara satu wilayah adat dan wilayah yang lain berbeda-beda.
Sebagai contoh di Rokirole yang berpenduduk 1.500 jiwa—yang meliputi tiga
dusun—memiliki dua wilayah kelakimosaan, yaitu wilayah adat Cawelo dan Tudu,
serta wilayah Lakimosa Koa. Di Cawelo, Pua Karapau dalam lima tahun dilakukan
dua kali, sedangkan di Nitung dilaksanakan sekali saja.
Serba lima
Satu
hal yang menarik dalam Pua Karapau sejumlah ritual yang dilakukan serba lima.
Begitu pula Pati Karapau digelar setiap lima tahun sekali. Bagi komunitas
pendukung ritual itu, angka lima menyimbolkan keberuntungan.
Sebelum Pua Karapau
dilaksanakan, masyarakat Nitung harus menjalani masa pantang, yaitu tidak
melakukan pekerjaan di kebun, melaut, atau pekerjaan lain, selama lima hari.
Selama hampir sepekan itu sejumlah warga menyeberang ke Ropa, Desa Keliwumbu,
Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende di daratan Pulau Flores, untuk membeli tiga
kerbau sebagai hewan kurban.
Sebelum
berangkat ke Ropa, rombongan adat masing-masing harus lima kali mengelilingi tubu
ca (tugu besar) dan tubu lo’o (tugu kecil) di tengah kampung. Selanjutnya
perahu yang juga bermuatan gendang dan gong harus berputar lima kali di sekitar
pelabuhan sebelum bertolak ke Ropa.
Selama perjalanan juga
dilantunkan lima lagu adat. Begitu pula ketika rombongan hampir tiba di Ropa,
perahu harus berputar lima kali sebelum lego jangkar. Setelah kerbau dinaikkan
ke dalam perahu di pantai Ropa, perahu kembali berputar lima kali sebelum
bertolak pulang ke Pulau Palue.

Tongge menjelaskan, dalam
ritual Pua Karapau akan terbangun relasi yang baik, terutama dengan Rawula,
lalu persahabatan dengan alam, serta hubungan yang harmonis dengan sesama.
Ritual itu menuntut yang berkonflik menjadi rukun kembali karena di dalamnya
ada proses perdamaian dan pemulihan.
Kerbau
yang dipotong sebagai persembahan dalam ritual tersebut, ujar Lakimosa Cawelo
yang lain, Mikhel Riba, juga berperan sebagai korban penebusan sebagai ganti
kesalahan yang dibuat manusia atau warga setempat.
Karena itu, tak heran,
begitu kerbau yang telah dipotong tersungkur karena kehabisan darah, warga
berebut menyentuhkan kakinya ke badan kerbau yang berlumuran darah. Tentu
dengan harapan segala penyakit yang diderita juga tertumpah atau ditanggung ke
darah kerbau tersebut.
Karena
berfungsi sebagai korban penebusan kesalahan, daging kerbau tidak dikonsumsi
oleh semua lakimosa dan keluarganya, serta warga Nitung.
Sebaliknya warga dusun
atau desa lain diperbolehkan mengambil dan mengonsumsi daging kerbau itu.
Namun, pengambilan daging kerbau kurban itu harus dilakukan secara diam-diam
seolah mencuri atau tanpa diketahui masyarakat Nitung.
Warga juga berkeyakinan
posisi kepala kerbau setelah jatuh dan tewas mempunyai makna sendiri. Arah
kepala hewan kurban itu diyakini menunjukkan kawasan yang akan memberikan hasil
panen berlimpah pada musim mendatang.
Pada ritual , kepala
kerbau sebenarnya menghadap ke gunung di bagian selatan, posisi yang tidak
mendatangkan rezeki karena menghadap kawasan berbatu atau bukan lahan
pertanian. Karena masih bernapas, kepala kerbau itu oleh sejumlah tetua
cepat-cepat digeser dan diarahkan ke utara menghadap areal kebun dan perairan
pantai tempat para nelayan memburu ikan.
”Lewat ritual ini
diharapkan hasil dari kebun maupun laut berlimpah. Kalau demikian, masyarakat
berkecukupan dan dijauhkan dari penyakit. Juga mereka yang bekerja di luar
pulau akan mendapatkan perlindungan,” kata Lakimosa Cawelo, P.Paulus Pio, SVD,
seusai pemotongan kerbau.
Ketahanan pangan baik
Tradisi
tua itu menunjukkan betapa masyarakat Nitung masih berpegang kuat pada akar
budaya mereka. Ritual Pua Karapau dan Pati Karapau juga menunjukkan masyarakat
Nitung adalah masyarakat yang religius. Tradisi itu juga berdampak positif pada
pertanian mereka.
Masyarakat
Palue tidak menanam padi untuk kebutuhan pangan. Mereka hanya menanam jagung,
ubi-ubian, kacang-kacangan, dan pisang. Penunjang ekonomi mereka yang lain
adalah dari tanaman perdagangan, seperti kelapa, vanili, jambu mete, dan kakao,
serta hasil melaut.
Mereka
tidak pernah mengalami krisis pangan alias kelaparan. Ketahanan pangan warga
Palue secara umum baik, sebagaimana warga Nitung, karena ditunjang dengan adat
istiadat setempat.

Setelah
masa Pua Karapau berakhir dalam lima tahun, yang ditutup dengan Pati Karapau,
masyarakat adat Nitung akan memasuki phije, yakni masa haram atau pantang
selama lebih kurang lima tahun. Selama masa itu mereka dilarang melakukan
aktivitas yang merusak alam, juga melukai tanah. Sebagai contoh, memetik daun,
apalagi menebang pohon, merupakan larangan keras. Begitu pula penggalian,
pengerukan, dan pembuatan jalan maupun fondasi rumah juga dilarang. Penguburan
orang mati pun tak bisa dilakukan dalam masa phije. Orang mati pada masa itu
terpaksa tidak dikubur dalam tanah, melainkan dibaringkan saja di pemakaman.
Pada masa phije, yang diperbolehkan adalah aktivitas untuk menunjang
atau memberikan kehidupan seperti bertani. Jika masa pantang itu dilanggar,
warga akan dikenai sanksi adat. Yang lebih fatal, sebuah pelanggaran diyakini
dapat mengakibatkan korban jiwa atau kesialan. Itu sebabnya pada masa itu warga
menjadi fokus pada kegiatan pertanian. Bahkan, kelestarian lingkungan juga
terjaga dengan baik.
Namun, pengaruh adat itu juga berdampak kurang baik pada aspek
pembangunan, salah satunya pembuatan jalan kabupaten pada bulan Oktober lalu
menjadi terhambat. Hal itu terjadi untuk pembuatan jalan sepanjang 1 kilometer
lebih, yang menghubungkan Dusun Cawelo dengan Koa.
Pembangunan
tidak bisa berjalan karena di Dusun Koa telah dilakukan Pati Karapau pada bulan
Januari sehingga saat ini telah memasuki masa phije lebih kurang hingga tahun
2014.
Camat
Palue Fernandes Woda saat itupunpun kemudian mengusulkan kepada Bupati Sikka
Sosimus Mitang agar proyek jalan rabat beton Cawelo-Koa dialihkan dahulu ke
daerah lain dalam wilayah Palue.
Dari pengalaman kasus ini memang sudah tidak zamannya lagi penetapan
dan pengalokasian anggaran pembangunan desa dilakukan dari atas (top down),
melainkan harus dari aspirasi arus bawah (bottom up).
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sikka sebelum menetapkan alokasi
anggaran pembangunan desa perlu berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga adat
sehingga program pembangunan desa tidak terbengkalai
Kesimpulan
Kearifan lokal soal perlindungan lingkungan jelas ada di Palu’e, baik langsung di aturan adat maupun tidak langsung lewat mitos, tabu dan sanksi leluhur. Kesadaran akan butuh perlindungan alam ada di masyarakat Palu’e hari ini, dan adat bisa berperan efisien dalam upaya perlindungannya, misalnya phije bom ikan. Inovasi dalam adat bertolak belakang dengan tradisi, dan tingkat larangan harus disetujui orang banyak. Dalam ekonomi modern yang individualis manusia selamatkan dirinya dulu, dari kemiskinan, dan ide-ide tentang perlindungan alam menyusul belakangan. Adat tetap lebih efisien dalam mengumpulkan dan menyatukan orang banyak, dan lebih efisien menyelesaikan beberapa jenis kasus dan masalah. Demikian menurut sumber di kampung-kampung di Palu’e.
Kearifan lokal soal perlindungan lingkungan jelas ada di Palu’e, baik langsung di aturan adat maupun tidak langsung lewat mitos, tabu dan sanksi leluhur. Kesadaran akan butuh perlindungan alam ada di masyarakat Palu’e hari ini, dan adat bisa berperan efisien dalam upaya perlindungannya, misalnya phije bom ikan. Inovasi dalam adat bertolak belakang dengan tradisi, dan tingkat larangan harus disetujui orang banyak. Dalam ekonomi modern yang individualis manusia selamatkan dirinya dulu, dari kemiskinan, dan ide-ide tentang perlindungan alam menyusul belakangan. Adat tetap lebih efisien dalam mengumpulkan dan menyatukan orang banyak, dan lebih efisien menyelesaikan beberapa jenis kasus dan masalah. Demikian menurut sumber di kampung-kampung di Palu’e.
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Palu’e mampu
melakukan konservasi lingkungan melalui berbagai warisan. Namun perubahan
pikiran orang Palu’e telah menggeser pemaknaan terhadap berbagai mitos karena
masyarakat semakin rasional dan tidak selalu percaya lagi pada mitos yang
mendukung tempat-tempat angker. Masyarakat adat juga tidak mampu menghukum
masyarakat yang melanggar sekuat seperti zaman dulu. Akibatnya sisa hutan dan
tempat sacred groves masih terdesak. Karena itu perlunya rekulturasi
nilai-nilai tradisional dalam melakukan konservasi. Untuk melestarikan hutan
dan alam dibutuhkan konservasi dua lapis, yaitu baik melawan amnesia lewat
pendekatan pelestarian warisan lisan maupun dengan cara menciptakan cagar alam,
walau kecil, atau situs warisan budaya sekitar tempat keramat. Penulis
mengusulkan bahwa rekulturasi dibuat dengan cara yang bisa diterima oleh mereka
yang menganut pikiran modern dan rasional, yaitu menggandakan status
tempat-tempat keramat ke situs warisan budaya, lengkap dengan inventaris mitos
dan sejarah. Penelitian yang telah dibuat di Wakatobi menyimpulkan bahwa
konservasi lingkungan yang dibangun melalui proses pengkeramatan yang didukung
mitos lokal “dapat menjadi salah satu bentuk konservasi alternatif, di tengah
hampir gagalnya wilayah-wilayah konservasi konvensional seperti zonasi, taman
nasional, dan cagar biosfer” (Udu 2013). Artinya lebih baik menggunakan
pendekatan budaya, adat dan peraturan pemerintah sekalian. Sebaiknya zona lindung agak diperluas jika
tempat keramat terlalu kecil supaya memanfaatkan tempat yang ada dalam dua
fungsi tersebut; lingkungan dan warisan budaya. Menurut penulis perlu dibuat
zonasi yang melindungi beberapa sisa hutan – termasuk sekitar gunung – sacred
groves dan daerah pesisir laut berkarang. Diusulkan bahwa tempat angker atau
keramat dan sisa hutan diberi status lindung yang lebih jelas. Dalam hal ini
pemerintah lokal dan pemimpin adat perlu kerja sama. Peran LSM menurut penulis
belum ada, kecuali organisasi mahasiswa yang pernah tanam mahony dan nimba
sepanjang jalan dari Uwa ke Rokirole.
Sumber/ refrensi:
Sumber primer :
·
Wawancara
·
Observasi lapangan
Dokumentasi :
Temapt: desa rokirole.dusun ko’a
Tanggal 19 april 2019


















Tidak ada komentar:
Posting Komentar