Jumat, 24 Mei 2019

Acara Adat Pati Karapu Di Pulau Palue Kabupaten Sikka Flores Nusa Tenggara Timur



Oleh
Melania Floyani Lanu  (2016015412)

Abstract
Budaya telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk tradisi masyarakat. Termasuk juga tradisi“pati karapau”(potong kerbau) yang tepat dilestarikan hingga sekarang oleh masyarakat dusun Ko’a Desa Rokirole Kecamatan Palue Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini dilaksanakan secara turun temurun tanpa diketahui dengan pasti kapan munculnya. Menurut masyarakat dusun ko’a, pati karapau merupakan upacara penyembahan kepada era wula watu tana sebagai tanda atas segala kemudahan, kelancaran mereka baik berupa kesehatan, keselamatan, panen melimpah, maupun kesejaterahan hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah, maksud dan tujuan diadakan upacara pati karapau didusun Ko’a, mengetahui seperti apa bentuk serta proses kegiatanya, apakah masih tetap sama dengan sebelumn-sebelumnya.
Ruang lingkup penelitian meliputi kondisi social budaya masyarakat dusun Ko’a sebelum tahun 2000- dan kondisi social budaya masyarakat saat ini. Ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah masuk ke tengah-tengah masyarakat dusun Ko’a dan telah banyak merubah perilaku mereka. Namun tradisi pati karapau tetap di pertahankan sebagai satu identitas diri.
Tipe penelitian ini adalah penelitian descriptive, dengan menggunakn metode survey lapangan dan wawancara. Hasil pengamatan tersebut menemukan bahwa masyarakat dusun Ko’a menganggap bahwa tradisi ini sangatlah penting karena terbukti efektif untuk memupuk rasa persaudaraan antara anggota masyarakat. Inilah yang menyebabkan eksistensi dari pati karapau tetapp terpelihara dengan baik.
Kata Kunci: Budaya , Social,  tradisi


BAB 1
PENDAHULUAN

Budaya adalah suatu warisan dari leluhur atau nenek moyang kita yang tidak ternilai harganya. Negara Indonesia disebut Negara maritim karena dikelilingin oleh banyak pulau, budaya Indonesia sangat banyak dan beraneka ragam, budaya itulah yang seharusnya kita jaga dan kita lestarikan agar tidak punah atuapun diklaim oleh Negara lain. Salah satu adat kebudayaan di Indonesia adalah  dari pulau palue. Pulau Palue merupakan satu dari sekian banyak pulau dalam wilayah administratif Kabupaten Sikka , NTT, Indonesia . Ia berjarak 15 km dari pesisir utara Pulau Flores. Pulau ini berbentuk kerucut dan bundar dengan luas lebih dari 72 km2. Disana ada upacara adat yang dinamakan ”upacara pati karapau” atau disebut dengan “upacara potong kerbau”
Ritus Pati Kerapau ini dijalankan secara tetap setiap lima tahun. Tentu bukan sekedar pengulangan hampa makna. Melaluinya, dalam suatu perayaan bersama, diadakan penciptaan kembali dan pemulihan relasi yang rusak dengan Yang Illahi dan sesama. pati Kerapau demikian orang Palue menyebut merupakan acara yang syarat dengan makna. Upacara Pati Kerapau adalah acara upacara kegembiraan masyarakat Palue sekali syukuran kepada leluhur mereka yang ditandai dengan penyembelihan seekor kerbau di sekitar mesbah oleh Lakimosa. Pada saat itu masyarakat dengan wajah yang berseri menari dan memainkan musik tradisional Palue yang membuat acara ini semakin menarik.
Ko’a merupakan salah satu kampung tradisional yang berada di lereng gunung Rokatenda, di Pulau Palue, Kabupaten Sikka. Di kampung ini dijalankan ritus Pua Kerapau dan Pati Kerapau (poka pu’u supo ngalu) atau upacara potong kerbau (pati : potong, memotong dan kerapau : kerbau). Untuk mencapai kampung tradisional ini, orang harus melewati jalan setapak yang terjal dan berbatu.
Dari segi adat, wilayah perkampungan tradisional Ko’a terbentuk dari enam kunu atau marga yakni Powowawo, Manggepase, Nunusomba, Sarikoa, Rokaroi, dan Kacu male. Dari enam kunu ini, kunu Powowawu merupakan kepala dan karenanya memegang peranan penting dalam pelaksanaan ritus Pua Kerapau dan Pati Kerapau. Dalam hubungan dengan pelaksanaan ritus Pua Kerapau dan Pati Kerapau, dari enam kunu di atas hanya dua kunu, yaitu Powowawo dan Manggepase yang membuat ritus ini. Sedangkan kunu yang lain bertindak sebagai pendukung pelaksanaan ritus Pati Kerapau. Di kampung Ko’a terdapat dua altar kuno tempat pelaksanaan ritus Pati Kerapau dan saat ritus tersebut dijalankan ia selalu dimulai dari dan oleh kunu Powowawo.

       Struktur sosial-tradisional masyarakat Ko’a dapat digambarkan secara sederhana dengan mengikuti penjelasan atas struktur tupu atau altar tempat ritus pati kerapau dijalankan. Tempat itu menyerupai sebuah panggung, yang tersusun dari batu-batu dan membentuk lingkaran berlapis tiga bagian, yakni : (1) lingkaran bagian dalam adalah wilayah lakimosa; (2) lingkaran kedua adalah pendukung lakimosa (ina tuke laki); dan (3) lingkaran paling luar menggambarkan seluruh warga kampung sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan (wai walu).
Jadi ia adalah suatu tindakan kreatif. Dalam tindakan kreatif itu, ada imperatif moral bahwa hidup harus selalu diperbaharui. Kalau perayaan itu adalah kisah, maka ia adalah kisah tentang kerusakan, korban dan pemulihan.
Tujuan dari pebuatan artikel ini adalh untuk bisa mengetahui tradisi upacara pati karapu atau yang  biasa disebut dengan potong kerbau.












Bab II
PEMBAHASAN

kemarau panjang, hasil pertanian dan laut kurang menggembirakan, serta wabah penyakit melanda menjadi tanda serius bagi tetua adat untuk segera melakukan ”pendinginan” atau pemulihan alam. Ritual Pua Karapau merupakan salah satu jawabannya.
Pua Karapau (muat kerbau) merupakan salah satu ritual adat yang telah dilakukan turun-temurun oleh warga  di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pulau sendiri sekitar dua jam dengan morot laut dari Maumere (Kabupaten Sikka) atau satu jam dari Ropa (pesisir utara Kabupaten Ende).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLpRDLvLBCkgzCnpbsCgSrORe4h0_I1OOJmTDPVqA48n8EVdeUNVNVnsX16BmWpJwUMtL7VixZBvBm8No8LZ9Vb4UipZue_q_FVC7556c7qDoVrqlTTA47XdckODSIJtpjPXv0wrToMFk/s400/al1.jpg
Warga dua dusun itu yang berada di luar Palue pun berdatangan sebelum rangkaian Pua Karapau mulai dilakukan hingga puncaknya, yakni berupa pemotongan kerbau sebagai persembahan kepada Rawula Watu Tana (Tuhan penguasa alam semesta) dan para leluhur. Tahun ini puncak acara jatuh awal bulan 04 tahun 2019.
Pua Karapau tahun ini memang agak unik karena semestinya hanya memuat dua kerbau. Namun, berhubung seekor kerbau yang dipersiapkan sejak tahun 2014 mati pada bulan Juni 2018, maka perlu dipersiapkan gantinya tahun ini sehingga yang dipersiapkan menjadi tiga ekor.
Pasalnya, untuk Pua Karapau tahap pertama akan dipersiapkan dua kerbau, seekor di antaranya untuk dipotong dalam ritual tersebut, sedangkan seekor lainnya dipersiapkan untuk dipersembahkan pada masa Pati Karapau (potong kerbau) pada tahun ke-5.
 Sementara pada Pua Karapau tahap kedua juga dimuat lagi dua kerbau, seekor dipotong saat itu, sedangkan seekor lainnya untuk Pati Karapau. Dengan demikian, saat Pati Karapau tahun 2019 akan dipotong dua kerbau yang dipersembahkan bagi Rawula.
”Persembahan kerbau pada waktu Pua Karapau dimaksudkan sebagai pemberitahuan bahwa masyarakat Nitung telah mempersiapkan persembahan (dua kerbau) untuk Rawula dan para leluhur, yang akan diberikan pada saat Pati Karapau,” kata Tongge.
Dari delapan desa di Pulau Palue, tradisi Pua Karapau dan Pati Karapau dilakukan turun-temurun oleh komunitas adat di empat desa, yaitu Nitunglea, Rokirole, Tuanggeo, dan Ladolaka.
Namun, tata cara ritual antara satu wilayah adat dan wilayah yang lain berbeda-beda. Sebagai contoh di Rokirole yang berpenduduk 1.500 jiwa—yang meliputi tiga dusun—memiliki dua wilayah kelakimosaan, yaitu wilayah adat Cawelo dan Tudu, serta wilayah Lakimosa Koa. Di Cawelo, Pua Karapau dalam lima tahun dilakukan dua kali, sedangkan di Nitung dilaksanakan sekali saja.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1OS1ehvL7nrLgjHJuMpJ21yaQUJbziJOnUS8MsVLV3pQeHlTTnvm0D1crCkgdXAj7x56zD1wBc-dj3fbdEgtAWIwsjdOjViBt7L_NxpV03W4YntH3gRoYkPOC6R3ni3q5ipTGDY7dybo/s400/al2.jpg

Serba lima
Satu hal yang menarik dalam Pua Karapau sejumlah ritual yang dilakukan serba lima. Begitu pula Pati Karapau digelar setiap lima tahun sekali. Bagi komunitas pendukung ritual itu, angka lima menyimbolkan keberuntungan.
Sebelum Pua Karapau dilaksanakan, masyarakat Nitung harus menjalani masa pantang, yaitu tidak melakukan pekerjaan di kebun, melaut, atau pekerjaan lain, selama lima hari. Selama hampir sepekan itu sejumlah warga menyeberang ke Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende di daratan Pulau Flores, untuk membeli tiga kerbau sebagai hewan kurban.
Sebelum berangkat ke Ropa, rombongan adat masing-masing harus lima kali mengelilingi tubu ca (tugu besar) dan tubu lo’o (tugu kecil) di tengah kampung. Selanjutnya perahu yang juga bermuatan gendang dan gong harus berputar lima kali di sekitar pelabuhan sebelum bertolak ke Ropa.
Selama perjalanan juga dilantunkan lima lagu adat. Begitu pula ketika rombongan hampir tiba di Ropa, perahu harus berputar lima kali sebelum lego jangkar. Setelah kerbau dinaikkan ke dalam perahu di pantai Ropa, perahu kembali berputar lima kali sebelum bertolak pulang ke Pulau Palue.
Tongge menjelaskan, dalam ritual Pua Karapau akan terbangun relasi yang baik, terutama dengan Rawula, lalu persahabatan dengan alam, serta hubungan yang harmonis dengan sesama. Ritual itu menuntut yang berkonflik menjadi rukun kembali karena di dalamnya ada proses perdamaian dan pemulihan.
Kerbau yang dipotong sebagai persembahan dalam ritual tersebut, ujar Lakimosa Cawelo yang lain, Mikhel Riba, juga berperan sebagai korban penebusan sebagai ganti kesalahan yang dibuat manusia atau warga setempat.
Karena itu, tak heran, begitu kerbau yang telah dipotong tersungkur karena kehabisan darah, warga berebut menyentuhkan kakinya ke badan kerbau yang berlumuran darah. Tentu dengan harapan segala penyakit yang diderita juga tertumpah atau ditanggung ke darah kerbau tersebut.
Karena berfungsi sebagai korban penebusan kesalahan, daging kerbau tidak dikonsumsi oleh semua lakimosa dan keluarganya, serta warga Nitung.
Sebaliknya warga dusun atau desa lain diperbolehkan mengambil dan mengonsumsi daging kerbau itu. Namun, pengambilan daging kerbau kurban itu harus dilakukan secara diam-diam seolah mencuri atau tanpa diketahui masyarakat Nitung.
Warga juga berkeyakinan posisi kepala kerbau setelah jatuh dan tewas mempunyai makna sendiri. Arah kepala hewan kurban itu diyakini menunjukkan kawasan yang akan memberikan hasil panen berlimpah pada musim mendatang.
Pada ritual , kepala kerbau sebenarnya menghadap ke gunung di bagian selatan, posisi yang tidak mendatangkan rezeki karena menghadap kawasan berbatu atau bukan lahan pertanian. Karena masih bernapas, kepala kerbau itu oleh sejumlah tetua cepat-cepat digeser dan diarahkan ke utara menghadap areal kebun dan perairan pantai tempat para nelayan memburu ikan.
”Lewat ritual ini diharapkan hasil dari kebun maupun laut berlimpah. Kalau demikian, masyarakat berkecukupan dan dijauhkan dari penyakit. Juga mereka yang bekerja di luar pulau akan mendapatkan perlindungan,” kata Lakimosa Cawelo, P.Paulus Pio, SVD, seusai pemotongan kerbau.
Ketahanan pangan baik
Tradisi tua itu menunjukkan betapa masyarakat Nitung masih berpegang kuat pada akar budaya mereka. Ritual Pua Karapau dan Pati Karapau juga menunjukkan masyarakat Nitung adalah masyarakat yang religius. Tradisi itu juga berdampak positif pada pertanian mereka.
Masyarakat Palue tidak menanam padi untuk kebutuhan pangan. Mereka hanya menanam jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan pisang. Penunjang ekonomi mereka yang lain adalah dari tanaman perdagangan, seperti kelapa, vanili, jambu mete, dan kakao, serta hasil melaut.
Mereka tidak pernah mengalami krisis pangan alias kelaparan. Ketahanan pangan warga Palue secara umum baik, sebagaimana warga Nitung, karena ditunjang dengan adat istiadat setempat.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgejLUHlEn2n-1kg6dg4wg3xhjkWyjvuSA2je0FwP2cKWtT0f9cVuezk21blbH05cF3WSHeUe2jCXFTbIGgLqGZGyjXjskGGrHalqUC9nQ-AiGDWHQci9y7BFqckCjJSncDg4kAAhbtW0o/s400/al.JPG

Setelah masa Pua Karapau berakhir dalam lima tahun, yang ditutup dengan Pati Karapau, masyarakat adat Nitung akan memasuki phije, yakni masa haram atau pantang selama lebih kurang lima tahun. Selama masa itu mereka dilarang melakukan aktivitas yang merusak alam, juga melukai tanah. Sebagai contoh, memetik daun, apalagi menebang pohon, merupakan larangan keras. Begitu pula penggalian, pengerukan, dan pembuatan jalan maupun fondasi rumah juga dilarang. Penguburan orang mati pun tak bisa dilakukan dalam masa phije. Orang mati pada masa itu terpaksa tidak dikubur dalam tanah, melainkan dibaringkan saja di pemakaman.
            Pada masa phije, yang diperbolehkan adalah aktivitas untuk menunjang atau memberikan kehidupan seperti bertani. Jika masa pantang itu dilanggar, warga akan dikenai sanksi adat. Yang lebih fatal, sebuah pelanggaran diyakini dapat mengakibatkan korban jiwa atau kesialan. Itu sebabnya pada masa itu warga menjadi fokus pada kegiatan pertanian. Bahkan, kelestarian lingkungan juga terjaga dengan baik.
            Namun, pengaruh adat itu juga berdampak kurang baik pada aspek pembangunan, salah satunya pembuatan jalan kabupaten pada bulan Oktober lalu menjadi terhambat. Hal itu terjadi untuk pembuatan jalan sepanjang 1 kilometer lebih, yang menghubungkan Dusun Cawelo dengan Koa.

Pembangunan tidak bisa berjalan karena di Dusun Koa telah dilakukan Pati Karapau pada bulan Januari sehingga saat ini telah memasuki masa phije lebih kurang hingga tahun 2014.
Camat Palue Fernandes Woda saat itupunpun kemudian mengusulkan kepada Bupati Sikka Sosimus Mitang agar proyek jalan rabat beton Cawelo-Koa dialihkan dahulu ke daerah lain dalam wilayah Palue.
            Dari pengalaman kasus ini memang sudah tidak zamannya lagi penetapan dan pengalokasian anggaran pembangunan desa dilakukan dari atas (top down), melainkan harus dari aspirasi arus bawah (bottom up).
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sikka sebelum menetapkan alokasi anggaran pembangunan desa perlu berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga adat sehingga program pembangunan desa tidak terbengkalai

Kesimpulan
           
Kearifan lokal soal perlindungan lingkungan jelas ada di Palu’e, baik langsung di aturan adat maupun tidak langsung lewat mitos, tabu dan sanksi leluhur. Kesadaran akan butuh perlindungan alam ada di masyarakat Palu’e hari ini, dan adat bisa berperan efisien dalam upaya perlindungannya, misalnya phije bom ikan. Inovasi dalam adat bertolak belakang dengan tradisi, dan tingkat larangan harus disetujui orang banyak. Dalam ekonomi modern yang individualis manusia selamatkan dirinya dulu, dari kemiskinan, dan ide-ide tentang perlindungan alam menyusul belakangan. Adat tetap lebih efisien dalam mengumpulkan dan menyatukan orang banyak, dan lebih efisien menyelesaikan beberapa jenis kasus dan masalah. Demikian menurut sumber di kampung-kampung di Palu’e.  
            Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Palu’e mampu melakukan konservasi lingkungan melalui berbagai warisan. Namun perubahan pikiran orang Palu’e telah menggeser pemaknaan terhadap berbagai mitos karena masyarakat semakin rasional dan tidak selalu percaya lagi pada mitos yang mendukung tempat-tempat angker. Masyarakat adat juga tidak mampu menghukum masyarakat yang melanggar sekuat seperti zaman dulu. Akibatnya sisa hutan dan tempat sacred groves masih terdesak. Karena itu perlunya rekulturasi nilai-nilai tradisional dalam melakukan konservasi. Untuk melestarikan hutan dan alam dibutuhkan konservasi dua lapis, yaitu baik melawan amnesia lewat pendekatan pelestarian warisan lisan maupun dengan cara menciptakan cagar alam, walau kecil, atau situs warisan budaya sekitar tempat keramat. Penulis mengusulkan bahwa rekulturasi dibuat dengan cara yang bisa diterima oleh mereka yang menganut pikiran modern dan rasional, yaitu menggandakan status tempat-tempat keramat ke situs warisan budaya, lengkap dengan inventaris mitos dan sejarah. Penelitian yang telah dibuat di Wakatobi menyimpulkan bahwa konservasi lingkungan yang dibangun melalui proses pengkeramatan yang didukung mitos lokal “dapat menjadi salah satu bentuk konservasi alternatif, di tengah hampir gagalnya wilayah-wilayah konservasi konvensional seperti zonasi, taman nasional, dan cagar biosfer” (Udu 2013). Artinya lebih baik menggunakan pendekatan budaya, adat dan peraturan pemerintah sekalian.    Sebaiknya zona lindung agak diperluas jika tempat keramat terlalu kecil supaya memanfaatkan tempat yang ada dalam dua fungsi tersebut; lingkungan dan warisan budaya. Menurut penulis perlu dibuat zonasi yang melindungi beberapa sisa hutan – termasuk sekitar gunung – sacred groves dan daerah pesisir laut berkarang. Diusulkan bahwa tempat angker atau keramat dan sisa hutan diberi status lindung yang lebih jelas. Dalam hal ini pemerintah lokal dan pemimpin adat perlu kerja sama. Peran LSM menurut penulis belum ada, kecuali organisasi mahasiswa yang pernah tanam mahony dan nimba sepanjang jalan dari Uwa ke Rokirole.  


Sumber/ refrensi:
Sumber primer :
·         Wawancara
·         Observasi lapangan

Dokumentasi :

Temapt: desa rokirole.dusun ko’a
Tanggal 19 april 2019














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...