Fian Hidayah
2016015017
Abstrak
Upacara Sadranan dilakukan setiap
tahun di Hutan Wonosadi yang berlokasi di Dusun Duren dan Sidorejo Desa Beji,
Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Upacara adat ini di laksanakan setelah panen kedua pada hari Senin Legi di Hutan Adat
Wonosadi Desa Beji Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Kegiatan sadranan sebelum
dilakukan di Hutan Wonosadi, kegiatan yang sama juga dilakukan di 4 sendang
yang berada di bawah Hutan Wonosadi, sebagai bentuk puji syukur atas air yang
melimpah, kegiatan sadranan ini diikuti oleh warga dari 14 Padukuhan di Desa
Beji, dengan membawa sesajen(nasi lauk pauk, ingkung, buah-buahan) dan
gunungan(hasil panen warga sekitar Hutan Wonosadi) yang diarak dari bawah hutan
menuju atas bukit. Upacara adat ini merupakan wujud ungkapan rasa syukur
warga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya panen dan kesuburan hutan
Wonosadi. Selain itu, juga sebagai wujud penghormatan kepada Leluhur Eyang
Onggo Lotjo yang telah mengajarkan ilmu bercocok tanam dan menyatukan warga
agar setiap setahun sekali berjalan kaki naik ke Hutan Wonosadi untuk bersyukur
dan kembul bujono (makan bersama).
(kata kunci : Upacara Adat Sadranan Wonosadi)
Pendahuluan
Indonesia adalah salah
satu Negara yang mempunyai ragam budaya, suku, ras, kesenian dan lain-lain,
yang selalu padu dalam berkehidupan bermasyarakat dan selalu rukun dan aman
sentosa karena menjunjung tinggi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” walaupun
berdebda-beda namun tetap satu jua. Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara didefinisikan
sebagai buah budi manusia, yang merupakan hasil dari dua pengaruh besar yaitu
alam dan kodrat masyarakat. Ini juga merupakan sebuah bukti kejayaan kehidupan
manusia untuk dapat mengatasi kesulitan di dalam hidupnya agar keselamatan dan
kebahagyaan bisa tercapai. Nantinya, sifat tertib dan damai juga akan terlahir
dari sini. Salah satu kebudayaan yang berada dimasyarakat adalah upacara adat.
Upacara adat merupakan suatu bentuk tradisi yang bersifat turun-temurun yang
dilaksanakan secara teratur dan tertib menurut adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk
suatu rangkaian aktivitas permohonan sebagai ungkapan rasa terima kasih. Selain
itu, upacara adat merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat yang
mempunyai nilai-nilai universal, bernilai sakral, suci,
religius, dilakukan secara turun-temurun. Upacara Sadranan merupakan salah satu
bentuk upacara adat yang ditujukan untuk mewujudkan rasa syukur atas hasil
panen warga Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Selain itu juga
sebagai penghormatan atas leluhur Eyang Onggo Lotjho yang trlah mengajarkan
masyarakat untuk bercocok tanam.
Pembahasan
Hutan
Wonosadi yang berlokasi di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan hutan adat. Warga sekitar Hutan
Wonosadi maupun masyarakat luas mengikuti upacara nyadran Hutan Wonosadi, biasanya
keikutsertaannya karena adanya kepercayaan bahwa keinginannya sudah terpenuhi.
Hutan Wonosadi juga dikenal membawa berkah sehingga ada sebagian warga yang
mempercayai doa dan keinginan dapat terkabul lewat ”penguasa’ Wonosadi. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut juga dimainkan
kesenian Rinding Gumbeng.
Sejarah
Hutan Wonosadi
Asal-usul
masyarakat dusun ini berawal dari adanya perang antara kerajaan Demak di bawah
kekuasaan Raden Patah dengan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja
Brawijaya V.pada tahun 1478 M. Dalam peperangan tersebut, Majapahit kalah maka
raja beserta keluarga dan prajurit setia melarikan diri ke daerah pantai
selatan dan akhirnya menyebar di kawasan Gunung Seribu yang sekarang dikenal
dengan Gunung Kidul. Dalam pelarian tersebut Raja Brawijaya memberikan perintah
untuk agar pengikutnya membentuk kelompok-kelompok dan mencari tempat yang
cocok untuk bermukim. Salah satu rombongan tersebut adalah kelompok yang
terdiri dari istri selir Raja Brawijaya V yang bernama Rara Resmi dengan dua
orang putranya yang bernama Onggoloco dan Gadhingmas. Kedua putranya adalah
mantan senopati (panglima) perang yang tangguh. Kelompok ini terus berjalan ke
barat mengikuti apa yang disebut petunjuk gaib. Sampailah kelompok ini di
wilayah perbukitan yang miring ke Selatan. Dipuncaknya ditumbuhi hutan lebat
yang dikenal angker dan dipercaya dihuni banyak makhluk halus. Di tengah hutan
terdapat sumber mata air yang selalu mengalir. Dengan tekad yang mantap
dipilihlah wilayah ini menjadi tempat pemukiman meskipun harus bertarung dengan
makhluk halus penghuni hutan. Dengan kesaktian yang dipunyai para mantan
senopati Majapahit tersebut, ditakklukkanlah Raja Jin yang dikenal dengan nama
Gadhung Melati, bahkan para penghuni hutan tersebut bersedia membantu
masyarakat yang akan tinggal asal dibolehkan menetap dengan seluruh anak buahnya
pada pusat mata air di hutan. Permintaan tersebut dikabulkan dengan syarat
Gadhung Melati dan anak buahnya tidak boleh mengganggu kehidupan masyarakat
sekitar hutan dan diharuskan ikut melestarikan hutan tersebut. Atas dasar
cerita inilah maka masyarakat mempercayai hutan ini angker dan mengenalnya
sebagai hutan keramat. Hutan itulah yang sekarang dikenal dengan hutan
Wonosadi.Daerah pertama yang menjadi bubak-cithak masyarakat adalah dusun
Duren. Konon di daerah ini ditumbuhi banyak pohon durian. Sebagai prasasti
permulaan pembukaan pemukiman, ditanamlah pohon mangga yang disebut Mangga
Emprit. Buahnya kecil-kecil dan cara makannya disedot karena daging buahnya
encer bila telah matang. Meskipun pohon buah ini masih hidup sampai sekarang
tetapi sulit dibudidayakan. Tempat ini disebut Kaliendek dan konon menjadi
tempat tinggal Rara Resmi. Setelah dusun pertama ini kemudian bermunculanlah
dusun-dusun lain seperti dusun Tungkluk, Serut, Ngelo, Beji dan lainnya. Kedua
putra Majapahit, Onggoloco dan Gadhingmas berperan besar mengembangkan
pertanian dan memberikan teladan bagi petani. Mereka juga piawai dalam bidang
keprajuritan (kanuragan) dan keagamaan (kebatinan). Pribadinya sederhana dan
rendah hati, menunjukkan sosok kesatria. Mereka dihormati anggota masyarakat
yang lain. Ketika Kademangan Ngawen (sekarang kecamatan Ngawen) berdiri, kedua
putra Majapahit ini mendukung Kademangan pimpinan Ki Kertiboyo ini dan membuka
perguruan keprajuritan bagi para pemuda sekitar. Di pusat hutan Wonosadi,
Lembah Ngenuman, mereka mendirikan padepokan untuk mendidik para pemuda di
bidang keprajuritan dan kebatinan.. Perguruan terus berkembang sampai kedua
tokoh lanjut usia. Kondisi masyarakat pun tercukupi dengan kondisi tanah dan
airnya yang subur dan pertanian yang baik. Di masa tua mereka, para murid
banyak yang sudah berhasil dalam kehidupan. Maka kedua tokoh sakti ini sering
mengumpulkan mereka bersama anak cucu dan masyarakat setempat di Lembah
Ngenuman. Pertemuan tersebut berfungsi sebagai media kangen-kangenan, pentas seni
Rinding Gumbeng, dan pemberian wejangan atau pendadaran. Acara diakhiri dengan
makan (kembul bujono). Peristiwa ini berlangsung setiap tahun setelah masa
panen pada hari Senin Legi atau Kamis Legi dalam hitungan bulan Jawa. Dan
ketika kedua tokoh benar-benar lanjut usia, mereka berkeinginan untuk menjemput
ajal dengan membersihkan diri bersemadi untuk mencapai tingkat kesempurnaan
hidup. Berpisahlah keduanya. Ki Onggoloco bertapa di Lembah Ngenuman dan Ki
Gadhingmas bertapa di puncak Gunung Gambar, maka ketika akhir hayat dirasa
sudah dekat pada pertemuan terakhir Ki Onggoloco memberi wasiat atau pesan pada
mereka yang hadir pada pertemuan tersebut.
Isi
wasiat tersebut adalah:
a)
Hutan Wonosadi harus dijaga dan dilestarikan sepanjang masa demi kemakmuran
anak cucu. Oleh karenanya dilarang merusak hutan dan barang siapa berani
merusak hutan maka mereka akan menerima musibah atau bencana. Lembah Ngenuman
juga diperbolehkan sebagai tempat bertapa/bermunajat oleh anak cucu.
b)
Hutan Wonosadi menyimpan banyak tanaman obat, maka bila anak cucu ada yang
sakit obatnya sudah tersedia di hutan ini. Hutan ini juga disebut Wono Usodo
(hutan penyempuhan).
c)
Upacara tahunan berkumpulnya anak cucu agar dilanjutkan untuk menyambung tali
kebersamaan atau silaturahmi dan waktunya ditentukan setelah panen sawah pada
hari Senin Legi atau Kamis Legi.
Setelah
pertemuan terakhir tersebut, diceritakan bahwa kedua tokoh ini meninggal dunia.
Tidak ditemukan kuburannya dan diyakini mereka meninggal dengan tanpa
meninggalkan jasad atau disebut ”mati muksa”.
Prosesi
Sadranan dumulai dari Sendang Karang Tengah, Kali Endhek dan Ngenuman. Versi
lain menyebutkan bahwa Sadranan Wonosadi juga dimaksudkan untuk mengingatkan
akan peran Rara Resmi dalam mendukung kerja keras putra-putranya di Ngenuman.
Rara Resmi selalu mengantar makanan untuk anak-anaknya. Dan aktivitas ini
diabadikan dalam bentuk Sadranan Wonosadi ini. Sebagai bentuk napak tilas
tempat terakhir panutan masyarakat, yaitu Ki Onggoloco dan Ki Gadhingmas dan
merupakan wahana berkumpul dan makan bersama. Biasanya jenis makanannya sudah
ditentukan, antara lain: panggang ayam, pisang raja, air tape ketan (badeg),
dan makanan lain sebagai hasil pertanian.
Kesimpulan
Upacara adat Sadranan Wonosadi Gunungkidul Yogyakarta dilaksanakan
setahun sekali setelah panen kedua pada hari Senin Legi di Hutan Adat Wonosadi
Desa Beji Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Upacara adat ini merupakan wujud
ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya panen
dan kesuburan hutan Wonosadi. Selain itu, juga sebagai wujud penghormatan
kepada Leluhur Eyang Onggo Lotjo yang telah mengajarkan ilmu bercocok tanam dan
menyatukan warga agar setiap setahun sekali berjalan kaki naik ke hutan
Wonosadi untuk bersyukur dan kembul bujono (makan bersama). Melalui upacara
adat ini, terciptalah interaksi antar warga yang guyub, rukun, dan sejahtera
demi persatuan dan kesatuan Indonesia.
Referensi
Cerita masyarakat Hutan Wonosadi (THE EXISTENCE OF
WONOSADI FOREST: BETWEEN MYTH AND ECHOLOGICAL WISDOM ) Oleh: Sartini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar