Jumat, 17 Mei 2019

ADAT SADRANAN HUTAN WONOSADI GUNUNGKIDUL D.I.YOGYAKARTA



Fian Hidayah
2016015017

Abstrak

Upacara Sadranan dilakukan setiap tahun di Hutan Wonosadi yang berlokasi di Dusun Duren dan Sidorejo Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Upacara adat ini di laksanakan setelah panen kedua pada hari Senin Legi di Hutan Adat Wonosadi Desa Beji Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Kegiatan sadranan sebelum dilakukan di Hutan Wonosadi, kegiatan yang sama juga dilakukan di 4 sendang yang berada di bawah Hutan Wonosadi, sebagai bentuk puji syukur atas air yang melimpah, kegiatan sadranan ini diikuti oleh warga dari 14 Padukuhan di Desa Beji, dengan membawa sesajen(nasi lauk pauk, ingkung, buah-buahan) dan gunungan(hasil panen warga sekitar Hutan Wonosadi) yang diarak dari bawah hutan menuju atas bukit. Upacara adat ini merupakan wujud ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya panen dan kesuburan hutan Wonosadi. Selain itu, juga sebagai wujud penghormatan kepada Leluhur Eyang Onggo Lotjo yang telah mengajarkan ilmu bercocok tanam dan menyatukan warga agar setiap setahun sekali berjalan kaki naik ke Hutan Wonosadi untuk bersyukur dan kembul bujono (makan bersama).

(kata kunci : Upacara Adat Sadranan Wonosadi)

Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu Negara yang mempunyai ragam budaya, suku, ras, kesenian dan lain-lain, yang selalu padu dalam berkehidupan bermasyarakat dan selalu rukun dan aman sentosa karena menjunjung tinggi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” walaupun berdebda-beda namun tetap satu jua. Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara didefinisikan sebagai buah budi manusia, yang merupakan hasil dari dua pengaruh besar yaitu alam dan kodrat masyarakat. Ini juga merupakan sebuah bukti kejayaan kehidupan manusia untuk dapat mengatasi kesulitan di dalam hidupnya agar keselamatan dan kebahagyaan bisa tercapai. Nantinya, sifat tertib dan damai juga akan terlahir dari sini. Salah satu kebudayaan yang berada dimasyarakat adalah upacara adat. Upacara adat merupakan suatu bentuk tradisi yang bersifat turun-temurun yang dilaksanakan secara teratur dan tertib menurut adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk suatu rangkaian aktivitas permohonan sebagai ungkapan rasa terima kasih. Selain itu, upacara adat merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai universal, bernilai sakral, suci, religius, dilakukan secara turun-temurun. Upacara Sadranan merupakan salah satu bentuk upacara adat yang ditujukan untuk mewujudkan rasa syukur atas hasil panen warga Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Selain itu juga sebagai penghormatan atas leluhur Eyang Onggo Lotjho yang trlah mengajarkan masyarakat untuk bercocok tanam.

Pembahasan
Hutan Wonosadi yang berlokasi di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan hutan adat. Warga sekitar Hutan Wonosadi maupun masyarakat luas mengikuti upacara nyadran Hutan Wonosadi, biasanya keikutsertaannya karena adanya kepercayaan bahwa keinginannya sudah terpenuhi. Hutan Wonosadi juga dikenal membawa berkah sehingga ada sebagian warga yang mempercayai doa dan keinginan dapat terkabul lewat ”penguasa’ Wonosadi.  Dalam kegiatan-kegiatan tersebut juga dimainkan kesenian Rinding Gumbeng.

Sejarah Hutan Wonosadi
Asal-usul masyarakat dusun ini berawal dari adanya perang antara kerajaan Demak di bawah kekuasaan Raden Patah dengan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Brawijaya V.pada tahun 1478 M. Dalam peperangan tersebut, Majapahit kalah maka raja beserta keluarga dan prajurit setia melarikan diri ke daerah pantai selatan dan akhirnya menyebar di kawasan Gunung Seribu yang sekarang dikenal dengan Gunung Kidul. Dalam pelarian tersebut Raja Brawijaya memberikan perintah untuk agar pengikutnya membentuk kelompok-kelompok dan mencari tempat yang cocok untuk bermukim. Salah satu rombongan tersebut adalah kelompok yang terdiri dari istri selir Raja Brawijaya V yang bernama Rara Resmi dengan dua orang putranya yang bernama Onggoloco dan Gadhingmas. Kedua putranya adalah mantan senopati (panglima) perang yang tangguh. Kelompok ini terus berjalan ke barat mengikuti apa yang disebut petunjuk gaib. Sampailah kelompok ini di wilayah perbukitan yang miring ke Selatan. Dipuncaknya ditumbuhi hutan lebat yang dikenal angker dan dipercaya dihuni banyak makhluk halus. Di tengah hutan terdapat sumber mata air yang selalu mengalir. Dengan tekad yang mantap dipilihlah wilayah ini menjadi tempat pemukiman meskipun harus bertarung dengan makhluk halus penghuni hutan. Dengan kesaktian yang dipunyai para mantan senopati Majapahit tersebut, ditakklukkanlah Raja Jin yang dikenal dengan nama Gadhung Melati, bahkan para penghuni hutan tersebut bersedia membantu masyarakat yang akan tinggal asal dibolehkan menetap dengan seluruh anak buahnya pada pusat mata air di hutan. Permintaan tersebut dikabulkan dengan syarat Gadhung Melati dan anak buahnya tidak boleh mengganggu kehidupan masyarakat sekitar hutan dan diharuskan ikut melestarikan hutan tersebut. Atas dasar cerita inilah maka masyarakat mempercayai hutan ini angker dan mengenalnya sebagai hutan keramat. Hutan itulah yang sekarang dikenal dengan hutan Wonosadi.Daerah pertama yang menjadi bubak-cithak masyarakat adalah dusun Duren. Konon di daerah ini ditumbuhi banyak pohon durian. Sebagai prasasti permulaan pembukaan pemukiman, ditanamlah pohon mangga yang disebut Mangga Emprit. Buahnya kecil-kecil dan cara makannya disedot karena daging buahnya encer bila telah matang. Meskipun pohon buah ini masih hidup sampai sekarang tetapi sulit dibudidayakan. Tempat ini disebut Kaliendek dan konon menjadi tempat tinggal Rara Resmi. Setelah dusun pertama ini kemudian bermunculanlah dusun-dusun lain seperti dusun Tungkluk, Serut, Ngelo, Beji dan lainnya. Kedua putra Majapahit, Onggoloco dan Gadhingmas berperan besar mengembangkan pertanian dan memberikan teladan bagi petani. Mereka juga piawai dalam bidang keprajuritan (kanuragan) dan keagamaan (kebatinan). Pribadinya sederhana dan rendah hati, menunjukkan sosok kesatria. Mereka dihormati anggota masyarakat yang lain. Ketika Kademangan Ngawen (sekarang kecamatan Ngawen) berdiri, kedua putra Majapahit ini mendukung Kademangan pimpinan Ki Kertiboyo ini dan membuka perguruan keprajuritan bagi para pemuda sekitar. Di pusat hutan Wonosadi, Lembah Ngenuman, mereka mendirikan padepokan untuk mendidik para pemuda di bidang keprajuritan dan kebatinan.. Perguruan terus berkembang sampai kedua tokoh lanjut usia. Kondisi masyarakat pun tercukupi dengan kondisi tanah dan airnya yang subur dan pertanian yang baik. Di masa tua mereka, para murid banyak yang sudah berhasil dalam kehidupan. Maka kedua tokoh sakti ini sering mengumpulkan mereka bersama anak cucu dan masyarakat setempat di Lembah Ngenuman. Pertemuan tersebut berfungsi sebagai media kangen-kangenan, pentas seni Rinding Gumbeng, dan pemberian wejangan atau pendadaran. Acara diakhiri dengan makan (kembul bujono). Peristiwa ini berlangsung setiap tahun setelah masa panen pada hari Senin Legi atau Kamis Legi dalam hitungan bulan Jawa. Dan ketika kedua tokoh benar-benar lanjut usia, mereka berkeinginan untuk menjemput ajal dengan membersihkan diri bersemadi untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup. Berpisahlah keduanya. Ki Onggoloco bertapa di Lembah Ngenuman dan Ki Gadhingmas bertapa di puncak Gunung Gambar, maka ketika akhir hayat dirasa sudah dekat pada pertemuan terakhir Ki Onggoloco memberi wasiat atau pesan pada mereka yang hadir pada pertemuan tersebut.

Isi wasiat tersebut adalah:
a) Hutan Wonosadi harus dijaga dan dilestarikan sepanjang masa demi kemakmuran anak cucu. Oleh karenanya dilarang merusak hutan dan barang siapa berani merusak hutan maka mereka akan menerima musibah atau bencana. Lembah Ngenuman juga diperbolehkan sebagai tempat bertapa/bermunajat oleh anak cucu.
b) Hutan Wonosadi menyimpan banyak tanaman obat, maka bila anak cucu ada yang sakit obatnya sudah tersedia di hutan ini. Hutan ini juga disebut Wono Usodo (hutan penyempuhan).
c) Upacara tahunan berkumpulnya anak cucu agar dilanjutkan untuk menyambung tali kebersamaan atau silaturahmi dan waktunya ditentukan setelah panen sawah pada hari Senin Legi atau Kamis Legi.

Setelah pertemuan terakhir tersebut, diceritakan bahwa kedua tokoh ini meninggal dunia. Tidak ditemukan kuburannya dan diyakini mereka meninggal dengan tanpa meninggalkan jasad atau disebut ”mati muksa”.
Prosesi Sadranan dumulai dari Sendang Karang Tengah, Kali Endhek dan Ngenuman. Versi lain menyebutkan bahwa Sadranan Wonosadi juga dimaksudkan untuk mengingatkan akan peran Rara Resmi dalam mendukung kerja keras putra-putranya di Ngenuman. Rara Resmi selalu mengantar makanan untuk anak-anaknya. Dan aktivitas ini diabadikan dalam bentuk Sadranan Wonosadi ini. Sebagai bentuk napak tilas tempat terakhir panutan masyarakat, yaitu Ki Onggoloco dan Ki Gadhingmas dan merupakan wahana berkumpul dan makan bersama. Biasanya jenis makanannya sudah ditentukan, antara lain: panggang ayam, pisang raja, air tape ketan (badeg), dan makanan lain sebagai hasil pertanian.
Kesimpulan
Upacara adat Sadranan Wonosadi Gunungkidul Yogyakarta dilaksanakan setahun sekali setelah panen kedua pada hari Senin Legi di Hutan Adat Wonosadi Desa Beji Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Upacara adat ini merupakan wujud ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya panen dan kesuburan hutan Wonosadi. Selain itu, juga sebagai wujud penghormatan kepada Leluhur Eyang Onggo Lotjo yang telah mengajarkan ilmu bercocok tanam dan menyatukan warga agar setiap setahun sekali berjalan kaki naik ke hutan Wonosadi untuk bersyukur dan kembul bujono (makan bersama). Melalui upacara adat ini, terciptalah interaksi antar warga yang guyub, rukun, dan sejahtera demi persatuan dan kesatuan Indonesia.

Referensi
Cerita masyarakat Hutan Wonosadi (THE EXISTENCE OF WONOSADI FOREST: BETWEEN MYTH AND ECHOLOGICAL WISDOM ) Oleh: Sartini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...