FEBRIANA DWI LESTARI
2017015021
6B
Abstrak
Adat budaya
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara turun-menurun di setiap daerah.
Salah satu kegiatan
budaya yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sadranan. Kata sadranan
berasal dari
kata sadran sebagai kata serapan bahasa Arab al-shuduur. Dalam Al-Quran,
surat Al-Adiyat,
ayat 10 terdapat kata “al-shuduur” yang berarti di dalam dada.
Maksudnya, jiwa
yang berada di dalam dada manusia. Bratasiswara (2000:641) mengatakan bahwa
sadran berasal dari sraddha yang berarti upacara penghormatan kepada leluhur
yang sudah berpulang dan dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah.
Dalam kalender
Islam, bulan Ruwah dinamakan Syahru Sya’ban. Pembahasan sadranan pada makalah ini
berdasarkan hasil penelitian yang berlangsung di Klaten, Jawa Tengah,
Indonesia.
Sebagian masyarakat Jawa pada bulan Ruwah selalu melaksanakan sadranan
sebagai adat
budaya yang tidak tertulis. Hal itu sudah berlangsung sejak zaman dahulu
secara
turun-menurun. Pelaksanaannya telah ditentukan waktunya, mulai 15 s.d. 27 bulan
Ruwah. Jika
dilaksanakan sebelum tanggal 15 dan sesudah 27 pada bulan Ruwah maka
bukan sebagai
sadranan. Kegiatan sadranan dipimpin oleh seorang modin atau orang yang
dianggap mampu
dalam bidang agama Islam. Kegiatannya meliputi tabur bunga dan membersihkan
makam. Selanjutnya, berdoa bersama untuk para arwah, membaca AlQuran, dan
tahlil di salah satu rumah warga. Peranti makanan yang disajikan bukan
merupakan sajen
tetapi disebut shodaqoh. Makanan (shodaqoh) tersebut diberikan atau
disiapkan oleh
warga yang kerabatnya dimakamkan di desa tempat berlangsungnya sadranan.
Setelah pembacaan doa dan tahlil selesai, modin menerima uang dari para
peserta yang
jumlahnya sangat bervariasi. Uang yang diberikan dinamakan wajib.
Penyebutan
kegiatan sadranan ini disesuaikan dengan tanggal pelaksanaan. Jika
dilaksanakan
pada tanggal 15 Ruwah disebut limolasan, tanggal 23 disebut telulikuran,
tanggal 25
disebut selawenan, dan seterusnya.
Kata kunci:
Sadranan, Ruwah, Doa.
PENDAHULUAN
Peringatan
tentang kematian oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap sebagai wujud
penghormatan.
Mereka mempercayai bahwa arwah para leluhur itu masih berhubungan dengan
keluarganya.
Bratasiswara (2000:535) mengatakan bahwa bentuk hubungan itu berupa kunjungan
arwah para
leluhur kepada keluarganya pada kesempatan tertentu. Maka, untuk menyambut
kehadirannya diadakan acara kegiatan selamatan (berdoa bersama agar selamat
dunia dan akhirat). Doa keselamatan itu secara khusus disebut
sadranan. Kegiatan
sadranan diangapnya adat budaya yang penuh ritualitas dan sakral. Maka, dalam
pelaksanaanya
diperlukan sesajian (Jw: sajen) sebagai peranti sadranan dan berdoa bersama.
Bahasa yang
digunakan bukan bahasa Indonesia tetapi bahasa Arab dan bahasa Jawa. Sebab,
kegiatan
sadranan itu dilaksanakan oleh sebagian masyarakat di daerah Surakarta dan Yogyakarta
yang merupakan
wilayah bekas kerajaan Islam, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta yang
dahulu disebut Kerajaan Mataram. Juga, kedua wilayah tersebut sebagai pusat
kebudayaan Jawa
dengan bahasa Jawa sebagai barometer yang penuh dengan “unggah-ungguh”.
Oleh kareana
itu, kegiatan sadranan sebagai sikap sosial yang bernuansa keagamaan merupakan
interaksi antaranggota
masyarakat yang selalu menekankan kepada sistem komunikasi. Proses
komunikasi itu
berlangsung sangat harmonis, baik komunikasi secara horizontal (hablu minannas)
maupun secara
vertikal (hablu minallah). Hubungannya dengan manusia (secara
horizontal) adanya silaturrahim di antara warga yang berkumpul,
kemudian dalam hubungannya dengan Tuhan (Allah) kegiatan sadranan itu
dilaksanakan
dengan berdoa
bersama untuk para arwah. Waktu pelaksanaan sadranan pun telah ditentukan pada
bulan Ruwah yang
dimulai tanggal 15 s.d 27. Hal itu merupakan tradisi tetap (Jw: ajeg) yang
dapat dianggap
sebagai konvensi masyarakat yang tak tertulis. Adat yang berupa sadranan itu
diperkirakan
sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Mataram dan sampai sekarang kegiatan
sadranan masih
terjaga dengan baik, khususnya di daerah pedesaan dan pinggiran. Dalam kegiatan
sadranan yang
menarik untuk dikemukakan adalah tatacara dan peranti upacara dalam
pelaksanaannya.
Kegiatan
sadranan dimungkinkan adanya pengaruh Hindu. Artinya, antara ajaran Islam yang
berupa doa-doa
dan ajaran Hindu yang selalu menggunakan sesajian dalam peribadatannya
menyatu dalam
satu kegiatan ritual, seperti sadranan itu. Kegiatan sadranan yang dianggap
penting dan merupakan keharusan untuk dilaksanakan bagi masyarakat
Klaten, Jawa Tengah masih berlangsung hingga sekarang. Namun, khususnya
generasi muda
yang sudah terpengaruh modernisasi zaman seolah-olah tidak peduli lagi terhadap
kegiatan
sadranan. Pemahamannya sangat minim dan informasi tentang sadranan hanya sepotongsepotong.
Jadi, dapat dipastikan jika sadranan tidak dilestarikan maka suatu saat
kegiatan sadranan akan
hilang. Generasi sekarang perlu diberi pemahaman tentang pentingnya tatacara
dan peranti kegiatan
sadranan dalam budaya masyarakat Jawa. Tatacara yang dimaksud adalah aturan
pelaksanaan
kegiatan sadranan dan peranti adalah alat atau bahan (makanan) yang digunakan.
Masyarakat Jawa
yang dimaksud adalah masyarakat yang berdomisili di daerah Klaten, Jawa
Tengah.
Kegiatan
sadranan pada mulanya muncul dari upacara Sraddha Agung yang dilakukan oleh
Prabu Hayam
Wuruk, seorang Raja Majapahit pada tahun 1362 M untuk menghormati arwah
neneknya,
Gayatri yang telah berpulang (Bratasiswara, 2000:641). Oleh karena itu,
kegiatan sadranan
selalu identik dengan penghormatan kepada arwah para leluhur yang telah
meninggal dunia.
Jadi, sadranan pada hakikatnya adalah mendoakan arwah para leluhur agar
memperoleh tempat
yang layak di sisi Tuhannya. Wujud penghormatan dalam bentuk doa-doa bagi
masyarakat Jawa
memiliki makna yang sangat sakral dan nilai spiritual yang sangat penting.
Nilai spiritual itu didasarkan kepada sistem nilai yang
bersifat agamis dan bernuansa kerohanian. Nilai spiritual yang terkandung di
dalam kegiatan sadranan itu memang sesuai dengan kebudayaan Jawa yang
menekankan
kepada kehalusan jiwa Pelaksanaan kegiatan sadranan waktunya
telah ditentukan dan ditetapkan, yaitu pada bulan Ruwah (Sya’ban),
beberapa hari sebelum bulan Puasa (Ramadhan) Inti kegiatannya kirim doa atau
mendoakan arwah
para leluhur. Pelaksanaannya telah ditentukan secara turun-temurun, yaitu
dimulai tanggal
15 s.d. 27 Ruwah. Oleh karena itu, setiap bulan Ruwah sebagian masyarakat Jawa,
khususnya
masyarakat di desa pinggiran kabupaten Klaten secara rutin mengadakan tradisi
kegiatan sadranan
yang bertujuan untuk menyambut dan menghormati arwah para leluhur yang telah
meninggal dunia.
Kegiatan
sadranan atau “nyadran” memang bukan ajaran Islam tetapi merupakan tradisi
ritual atau adat
yang memanfaatkan peranti agama, seperti doa-doa dengan lafal bahasa Arab
dan bahasa Jawa.
Dengan demikian, sadranan hanya sebagai tradisi atau adat masyarakat Jawa
sebagai kegiatan
ritual dan budaya. Tradisi “kirim doa atau mendoakan” para leluhur sebelum
bulan Ramadhan
yang berlangsung secara turun-temurun dapat memunculkan budaya yang seolah-olah
merupakan
kegiatan keagamaan. Namun, pada dasarnya kegiatan itu hanya sebagai tradisi
budaya yang
telah berlangsung sangat lama. Kirim doa atau mendoakan orang yang
sudah meninggal dunia memang merupakan ibadah tetapi jika
kegiatannya selalu dibarengi dengan perangkat sesajian maka nilai ibadahnya
akan kabur.
Berdoa di
kuburan diperbolehkan tetapi mengharuskan berdoa di kuburan itu yang tidak
dibenarkan. Artinya, yang tidak dibenarkan adalah
mengharuskan berdoa di kuburan. Jadi, bukan berdoa di kuburannya yang tidak boleh
tetapi adanya keharusan itulah yang tidak dibenarkan. Jika sadranan sebagai
tradisi budaya
yang fokusnya pada doa kepada arwah itu tidak mengotori syar’i maka dapat
dijadikan ajang
untuk memperkuat akidah. Kegiatan sadranan berbeda-beda tatacara
dan pelaksanaannya di setiap desa. Namun, pada umumnya
memiliki tujuan yang sama di dalam penghormatan kepada arwah para leluhurnya.
Penghormatan
kepada arwah para leluhur di dalam masyarakat Jawa disebut pamulen. Tujuan
pamulen bagi
masyarakat Jawa: (1) memohon kepada Tuhan agar arwah para leluhur yang telah
meninggal dunia
diampuni segala dosa-dosanya atas kesalahan sewaktu masih hidup di dunia, (2)
mendoakan agar
para arwah para leluhur diberi tempat yang layak di sisi Tuhan, (3) menanamkan
kesadaran kepada
orang-orang yang masih hidup bahwa semua orang akan mengalami kematian,
dan (4)
mengingatkan kepada orang-orang yang masih hidup bahwa untuk menuju ke alam
baka diperlukan
bekal amalan sebanyak-banyaknya.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini
bertujuan mengetahui secara hakiki tatacara dan peranti yang digunakan di dalam
kegiatan
sadranan bagi masyarakat di daerah Klaten, Jawa Tengah. Sedangkan manfaatnya
sebagai
sumbangan pemikiran bagi lembaga keagamaan tentang pelaksanaan sadranan dan
perkembangannya
serta tatacara dan penggunaan peranti yang didasarkan pada realitas di
lapangan dan
wacana bagi para cendikia serta ulama. Juga sebagai acuan bagi peneliti lain
yang akan
mengadakan penelitian sejenis, masukan bagi masyarakat agar dapat memahami
lebih mendalam
tentang kegiatan sadranan yang sebenarnya, khususnya tatacara dan peranti yang
digunakannya.
Selanjutnya, para pemuda Islam agar di dalam langkah dan geraknya selalu dapat
beradaptasi
dengan lingkungan penyelenggara sadranan. Juga, masukan kepada instansi terkait
agar sadranan
dijadikan aset budaya bangsa yang dapat dilestarikan. Adapun, lokasinya di daerah
Klaten, Jawa
Tengah. Model
penelitian dengan strateginya yang paling tepat adalah penelitian deskriptif
kualitatif. Model
penelitian ini mampu menangkap berbagai informasi baru secara kualitatif dengan
deskripsi yang
lengkap dan penuh makna yang dapat diserap. Dengan demikian, penelitian ini
tidak hanya sekedar
mengungkapkan jumlah angka-angka dan frekuensi dalam bentuk persentase. Namun,
dapat mengungkap
secara lebih rinci tentang tatacara dan peranti yang digunakan di dalam
kegiatan sdaranan.
Data penelitian ini berupa data kualitatif, berupa informasi yang digali dari
bermacammacam sumber data, yaitu informan yang terdiri atas tokoh masyarakat
dan orang yang mengikuti kegiatan sadranan. Selanjutnya, data
tempat yang terdiri atas rumah (dopo) yang selalu dipakai untuk kegiatan
sadranan, mushalla, masjid, dan kuburan. Model penelitian ini berupa penelitian
deskriptif kualitatif. Maka, teknik pengumpulan datanya adalah
wawancara mendalam, yaitu wawancara dengan para informan. Wawancara
mendalam ini
bersifat terbuka dan dilakukan tidak dalam suasana formal serta dapat dilakukan
berulang-ulang.
Teknik wawancara menggunakan teknik bola salju (snow ball), yaitu semakin
banyak informan
yang diwawancarai maka semakin besar dan lengkap data yang diperoleh. Juga,
observasi terhadap
tempat yang dijadikan ajang kegiatan sadranan.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Kegiatan sadranan
merupakan acara ritual yang dilakukan secara bersama-sama, yakni berdoa
bersama yang
dipimpin oleh modin atau orang yang dituakan (Jw: sesepuh). Doa bersama-sama
itu intinya
kirim doa kepada para leluhur. Oleh karena itu, sadranan tidak dapat dipisahkan
dengan berdoa
bersama-sama untuk arwah para leluhur pada waktu tertentu. Istilah leluhur
disebut pepunden.
Kirim doa kepada pepunden itu mempunyai tujuan memintakan ampunan kepada Allah
swt agar
dosa-dosanya dapat diampuni. Hal itu dilakukan agar para arwah tidak tersiksa.
Sadran sesuai
dengan arti secara harfiah berasal dari kata shudur, diserap dari Bahasa
Arab yang
memiliki arti dada, yakni tempat bersemayamnya nafsu. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa
dada manusia adalah organ manusia yang penuh dengan dosa. Maka, dada yang penuh
dengan dosa-dosa
itu perlu dibersihkan oleh dirinya sendiri dengan doa-doa yang dipanjatkan
kepada Allah
swt. Bagi masyarakat Jawa pembersihan lahir dan batin menjelang bulan puasa
perlu dilakukan
secara menyeluruh. Kegiatan sadranan itu adalah membersihkan dada arwah para
leluhur dengan
berdoa secara bersama-sama. Jadi, sadranan bisa dimaknai sebagai acara
pembersihan dosa-dosa
dengan cara berdoa ke hadirat Allah swt yang ditujukan kepada para kerabat atau
keluarga yang
telah meninggal dunia. Berkenaan dengan berdoa yang dilakukan
secara bersama-sama kepada arwah para leluhur maka makna sadranan bagi
masyarakat Klaten memiliki makna khusus dan historis yang tidak dapat dipisahkan
dengan tradisi dan ritual. Artinya, kegiatan sadranan merupakan tradisi atau
adat budaya
masyarakat Jawa yang dilaksanakan dengan menggunakan peranti dan tatacara
tertentu. Meskipun
hanya tradisi budaya tetapi masyarakat diwajibkan untuk selalu menyelenggarakan
kegiatan
sadranan setiap tahun. Kegiatan sadranan memang memiliki makna
yang sangat mendalam tetapi di dalam pelaksanaannya masih kurang meriah
dibandingkan dengan pada masa lalu, yakni sekitar tahun 1950-an sampai
dengan tahun 1960-an. inti acara sadranan, yakni diawali dengan pembacaan doa
dan tahlilan
yang dipimpin oleh sesepuh desa yang bisa memimpin doa. Upacara tradisi ritual
yang dilakukan
selain bulan Ruwah bukan sebagai upacara sadranan. Padahal masyarakat Jawa,
khususnya
masyarakat Klaten sering melakukan kegiatan upacara yang bernuansa adat Jawa
sebagai kegiatan
tradisi, antara lain (1) nyekar, yaitu upacara pemasangan batu kubur pada suatu
pusara dengan
menaburkan bunga-bunga, (2) rasulan, yaitu upacara untuk keselamatan sebelum
acara
pernikahan, (3) ruwatan, yaitu upacara pembebasan sukerta dari nasib buruk dan
ancaman malapetaka,
dan (4) nyandi, yaitu upacara pemasangan batu nisan di pusara leluhur. Penamaan
kegiatan
sadranan sering diambilkan dari nama tanggal sesuai dengan nama hitungan Jawa.
Misalnya,
sadranan yang dilakukan pada tanggal 21 bulan Ruwah disebut selikuran,
dilaksanakan pada
tanggal 22 disebut rolikuran, dilaksanakan pada tanggal 23 disebut telulikuran,
dilaksanakan pada
tanggal 25 dinamakan selawenan, dan jika dilaksanakan pada tanggal 27 disebut
pitulikuran. Sebelum
diadakan kegiatan sadranan, masyarakat membersihkan kuburan atau makam
keluarganya
masing-masing yang disebut bebesik. Di samping itu, juga membetulkan batu nisan
(Jw: tetenger)
jika ada yang menceng letaknya dan memasang baru jika ada yang telah rusak.
Selain itu, kegiatan
masyarakat di kuburan menjelang sadranan biasanya berdoa, baik berdoa secara
sendirisendiri maupun secara berkelompok. Kegiatan berdoa secara
sendiri-sendiri ataupun berkelompok selalu dilakukan setelah bebesik.
Tempat kegiatan sadranan
di setiap desa dapat berbeda-beda tergantung kesepakatan warga. Ada warga
yang melaksanakan upacara sadranan di rumah dopo (rumah warga yang
besar), di
masjid, di mushalla, di jalan menuju makam, di makam, bahkan ada yang di
dhanyangan (makam
orang yang dianggap sakti yang berada di bawah pohon besar), dan di tempat yang
dianggap
keramat. Perbedaan tempat dilangsungkannya sadranan bagi masyarakat itu tidak
menimbulkan
masalah bagi warga. Juga, setiap kelompok di desa dalam pelaksanaannya ternyata
tergantung pada jumlah makam yang ada di desa tersebut. Jika sebuah desa
memiliki makam dua atau tiga buah makam maka pelaksanaannya
pun sejumlah makam yang ada tersebut. Selanjutnya, pelaksanaan
kegiatan sadranan pada umumnya pada pagi hari, yakni dimulai pukul 10.00. Cara
pemanggilan
warga supaya lekas datang ke tempat upacara sangat bervariasi, antara lain
dengan pengeras
suara di masjid atau dengan alat kentongan dari bambu. Jika, sudah ada tanda
panggilan maka
warga berduyun-duyun menuju lokasi kegiatan sadranan yang akan dilangsungkan.
Setiap keluarga
atau warga masyarakat yang menghadiri kegiatan sadranan selalu membawa makanan
sebagai salah satu peranti. Namun, sebenarnya makanan yang dibawa oleh
warga masyarakat
dilakukan atas kehendak sendiri secara sukarela. Artinya, setiap warga boleh
membawa makanan
dan juga boleh tidak membawanya. Makanan yang dibawa atau dikirimkan oleh
warga pada
dasarnya merupakan shadaqoh dan bukan sesaji yang serng disebut oleh kebanyakan
orang. Peranti
kegiatan upacara sadranan ini adalah syarat yang perlu dibawa oleh warga yang
menghadirinya.
Di dalam kegiatan sadranan itu yang dimaksud dengan peranti upacara sadranan
adalah makanan
(Jw. jajanan) yang dibawa atau dikirim oleh warga masyarakat. Selanjutnya,
peranti yang
berupa jajanan itu setelah terkumpul kemudian didoakan oleh modin atau pemimpin
upacara
sadranan. Selanjutnya, jajanan yang telah didoakan dimakan bersama-sama oleh
warga yang
mengikutinya bahkan jika tidak habis bisa dibawa pulang. Peranti berupa
jajanan atau makanan yang dikirimkan oleh warga itu bermacam-macam
jenisnya. Semua
jenis makanan itu ditaruh di piring yang telah disiapkan oleh warga yang
mengikuti kegiatan
sadranan. Jenis makanan yang berupa shadaqoh pada sangat bervariasi dan bermacammacam,
ada yang berupa buah-buahan dan ada pula yang berupa makanan. Shadaqoh yang
berupa
buah-buahan adalah salak, apel, pisang ambon, mangga, jeruk, sawo, manggis,
pepaya, semangka,
nanas, dan srikaya. Sedangkan yang berupa makanan (jajanan) adalah pisang godog,
pisang goreng,
bakwan, tape, wajik, jadah (ketan), emping, kacang rebus, kacang goreng, roti
basah, ager-ager,
rengginang, belut goreng, dodol, ketela godog, dan ketela goreng. Jadi, peranti
kegiatan sadranan
yang berupa makanan atau jajanan sebenarnya merupakan hidangan untuk para
peserta atau
warga yang mengikutinya. Namun, peranti itu merupakan kewajiban yang harus
dibawa dan dikirimkan
oleh warga yang mengikutinya. Jika keluarga yang tidak dapat hadir untuk
mengikuti sadranan
maka makanan atau jajanan bisa langsung dikirimkan atau dititipkan. Jadi,
perantinya harus
dikirimkan meskipun keluarga yang memiliki ahli waris yang telah meninggal
dunia tidak dapat mengikuti
sadranan. Hal itu dianggap oleh warga masyarakat yang memiliki ahli waris bahwa
peranti yang
berupa jajanan itu merupakan kewajiban yang harus dikirimkan. Selain makanan
atau jajanan yang telah disebutkan di muka, makanan yang berupa ambeng
pun harus
tersedia. Ambeng merupakan wadah berukuran bulat pendek yang berisi nasi,
sayur, krupuk,
rempeyek, mie goreng, telor, dan trancam. Jenis makanan di dalam ambeng itu
harus tersedia sebab
itu semua merupakan syarat yang harus dipenuhi. Makna isi ambeng yang berupa
nasi, sayur, krupuk,
rempeyek, mie goreng, telor, dan trancam tidak dapat dijelaskan. Selain makanan
yang berupa
ambeng ada juga makanan yang berjenis kenongan. Kenongan adalah makanan yang
bentuknya
seperti kenong (bentuk bulatan yang terdapat di gamelan atau gong). Maka,
makanan yang
bulat seperti kenong gamelan disebut kenongan. Juga, peranti upacara sadranan
yang lainnya adalah
makanan yang berupa tumpeng (bentuk kerucut). Rangkaian
prosesi sadranan sebenarnya sangat sederhana, yaitu melakukan bebesik di
makam para
leluhur, tabur bunga di pusara, kemudian berdoa bersama-sama dan diakhiri
dengan acara
tahlilan. Acara tahlilan biasanya dilaksanakan selama bulan Ruwah setiap malam
Jumat dan dasarnya
untuk menyambut sadranan yang akan berlangsung yakni diisi dengan doa-doa yang
ditujukan kepada
para arwah. Sebelum acara tahlilan, pemimpin sadranan terlebih dahulu
memberikan kata
sambutan sebagai pengantar dengan bahasa Jawa. Kata pengantar oleh modin
atau pemimpin
sadranan intinya adalah bersyukur ke hadirat Allah swt, untuk berziarah kubur
kepada para
leluhur, permintaan ampunan agar arwah mendapat jalan yang terang dan dijauhi
dari siksa kubur
dan siksa neraka, Allah swt dapat mengabulkan permintaan kita agar para arwah
diberikan kenikmatan
di alam kubur, permintaan ampunan dan doa itu diawali dengan membaca kalimat
thoyibah.
permintaan ke hadirat Allah swt agar diberikan kesehatan, keselamatan, dan lancer
rezekinya.
Selanjutnya, pemimpin sadranan mengakhiri dengan doa penutup. Selesai berdoa
para peserta
melemparkan uang (jumlahnya beragam) ke arah pemimpin upacara sadranan sebagai
tanda rasa
terima kasih warga. Menurut warga masyarakat yang menghadiri sadranan, uang
yang diberikan
atau dilemparkan ke arah pemimpin sadranan disebut Wajib.
KESIMPULAN
Kegiatan
sadranan artinya upacara penghormatan kepada arwah para leluhur pada bulan
Ruwah, sadranan
sebagai kegiatan ritual merupakan tradisiatau adat budaya masyarakat Jawa yang
memadukan antara
budaya Jawa dengan nafas Islam, pelaksanaan sadranan di antara tanggal 15
s.d 27 bulan
Ruwah. Hal itu diyakini oleh masyarakat bahwa pada bulan Ruwah, arwah para
leluhur mendatangi
rumah ahli waris untuk minta dikirimi doa. Tatacara sadranan setiap tahunnya
sama, yaitu bebesik
(membersihkan makam) para leluhur, tabur bunga di atas pusara makam, berdoa,
tahlilan, dan
makan bersama. Jadi, inti atau hakikat kegiatan sadranan adalah mendoakan arwah
para leluhur
atau ahli waris yang telah meninggal dunia. Selanjutnya, peranti upacara
sadranan adalah bunga
untuk ditabur di pusara makam para leluhur (kembang menyan), jajanan pasar,
makanan yang berupa
tumpengan dan kenongan.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar