Oleh :
Alfiana Nurul Fathimah (2017015034)
Abstrak
Nyadran
adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di
daerah Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta yakni “sraddha” yang
keyakinan. Dalam bahasa Jawa nyadran berasal dari kata “sadran” yang artinya
ruwah syakban. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa,
umumnya di pedesaan. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa
pembersihan makam leluhur, tabor bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan
di makam. Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan
Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan pada saat nyadran atau ruwahan adalah
menyelenggarakan kenduri, dengan diawali pembacaan ayat suci Al-Qur’an, zikir,
tahlilan dan doa. Kemudian diakhiri dengan makan bersama, melakukan besik yaitu
pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan, melakukan upacara ziarah
kubur, dengan mendoakan nenek moyang kita yang sudah meninggal kita yang sudah
meninggal di area makam. Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10
bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Dalam ziarah kubur biasanya
peziarah membawa bunga tabur, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan
sebagai lambing adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang
diziarahi. Para masyarakat yang mengikuti acara nyadran biasanya mereka
mendoakan kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudara mereka yang sudah
meninggal. Setelah berdoa bersama, masyarakat melaksanakan kenduri/makan
bersama. Setiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri.
makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional seperti ayam ingkung,
sambal goreng ati, semur kentang, urap sayur, perkedel, tempe, tahu bacem apem,
peyek, dan lain sebagainya. Pada saat makan bersama, makanan yang telah dibawa
dari rumah harus ditukar milik orang lain atau orang lain mengambil sebagian dari makanan
tersebut.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tradisi nyadran di
Desa Bayuran, Sumberagung, Jetis, Bantul. Penelitian ini menggunakan metode
langsung yaitu pada tanggal 21 April 2019. Sumber data juga diperoleh dari
dokumentasi pada saat acara berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan makna yang terkandung dalam tradisi nyadran di Desa Bayuran,
Sumberagung, Jetis, Bantul yaitu, melestarikan warisan Nenek Moyang (nguri-uri
budaya Jawi), wujud terimakasih Kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai ajang
silaturahmi. Dampak positif yang dirasakan masyrakat di Desa Sumberagung dalam
tradisi nyadran yaitu timbulnya rasa kegotongroyongan antar warga masyarakat.
Sedangkan dampak negatifnya yaitu anggapan masyarakat tentang pelaksanaan
tradisi nyadran yang hanya ditujukan kepada nenek moyang yang menempati suatu
tempat, namun ada pula yang melakukan tradisi nyadran ditujukan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan adnya bentuk pemborosan dalam pekasanaan tradisi nyadran.
Kata kunci :
Nyadran, pembersihan makam, dan genduri.
PENDAHULUAN.
Nyadran
adalah suatu rangkaian acara budaya yang berupa pembersihan makam leluhur,
tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Kegiatan
ini juga salah satu tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam
perkembangan zaman, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan
masih memegang peranan penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara tradisional
yang memiliki makna folosifis tersendiri sampai sekarang masih dipatuhi oleh
masyarakat pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak
melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat di Jawa mengalami alkulturasi
dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya
diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat
memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi social
budaya masyarakat anyata yang satu dengan yang lainnya berbeda.
Kebudayaan
sebagai cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi
kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan social dalam ruang dan
waktu. Salah satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi
kejawen. Kebudayaan selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada
umumnya diartikan sebagai proses atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia
dalam menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya.
Upacara
tradisional yang dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan dengan
kepercayaan akan adanya kekuatan di luar manusia. Adapun yang dimaksud kekuatan
di luar manusia yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dapat juga diartikan sebagai
kekuatan supranatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, dan bisa juga roh
leluhur yang dianggap masih memberikan perlindungan padanya dan keturunannya.
Mereka percaya bahwa tidak semua usaha manusia dapat berjalan lancer, terkadang
menemui tantangan dan hambatan yang sulit dipecahkan. Hal tersebut disebabkan
oleh keterbatasan akal dan system pengetahuan manusia, sehingga masalah-masalah
yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mulai dipecahkan secara religi.
Pada
dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh
norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Adanya keyakinan pada
masyarakat Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku merupakan cara berpikir
seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya kepercayaan atau keyakinan
terhadpa kekuatan gaib yang ada di alam semesta. Kekuatan alam semesta dianggap
ada di atas segalanya. Selanjutnya dikaitkan bahwa dalam masyarakat Jawa
kekuatan manusia dinggap lemah bila dihadapakan dengan alam semesta. Pandangan
hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran Jawa tradisional, kepercayaan
Hindu, dan ajaran Islam. Budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan warisan sosial
yang dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur,
biasanya terdiri dari pada kebendaan, kemahiran, nilai-nilai tertentu dan
sebagainya.
Apresiasi
budaya sering kali dihubungkan dengan cara hidup, adat istiadat suatu
masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Misalnya upacara adat
tradisional yang pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau doktrin yang
juga merupakan perwujudan dari religi. Semua aktivitas manusia yang berhubungan
dengan religi dan didasarkan pada suatu getaran jiwa biasanya disebut dengan
emosi keagamaan, emosi keagamaan mendorong manusia melakukan tindakan religi.
Dalam kepercayaan religi animisme, makam adalah tempat suci yang digunakan
sebagai sarana berkomunikasi spriritual
nenek moyang dengan roh para leluhur atau dengan Tuhan. Pada jaman sekarang
ini, kepercayaan tersebut belum luntur.
Salah
satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya masyarakat Jawa
adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis nyadran adalah ritual simbolik yang
sarat dengan makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti berziarah kubur atau
pergi ke makam nenek moyang dengan membawa menyan, bunga dan air doa. Sadran
berarti kembali atau meziarahi makam atau tempat yang dianggap sebagai cikal
bakal suatu desa, biasanya masyarakat menanamkan tempat tersebut dengan sebutan
punden yaitu makam cikal bakal desa setempat. Sebelum beziarah kubur biasanya
masyarakat terlebih dahulu membersihkan makam secara bersama-sama.
Bersih
kubur yang dikenal dengan nama sadranan atau besik merupakan salah satu bentuk
alkulturasi Islam dengan kebudayaan Jawa. Tradisi sadranan merupakan tradisi
yang sudah dikenal oleh semua masyarakat terutama masyarakat Jawa, karena
sadranan dilakukan di berbagai daerah seperti di Desa Bayuran. Sebelum Islam
dating kepercayaan Animisme dan Dinamisme serta agama Hindu Budha telah lebih
dahulu berkembang di Indonesia khususnya pulau Jawa. Islam diterima di
masyarakat Jawa dengan mudah dan damai, karena para da’I memiliki sikap
toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan Jawa. Islam tidak perlu mengubah
struktur budaya dan kepercayaan yang telah ada, melainkan tinggal
melestarikannya dengan siraman Islam. Keadaan demikian memberikan dampak pada
pandnagan yang tidak mempersoalkan suatu agama itu benar atau salah, suka
memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda bahkan
berlawanan.
Tujuan
dari upacara nyadran adalah untuk meminta doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan kepada nenek moyang agar semua urusan dilancarkan. Sedangkan menurut
kebiasaan Jawa, selain mempererat persaudaraan adlah untuk meminta maaf atas
kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja, sehingga
dalam bulan suci Ramadhan nanti diri mereka juga suci, telah bersih dengan
ampunan Allah dan maaf dari sesama manusia.
PEMBAHASAN.
Tradisi
Nyadran telah dimulai sejak zaman Hindu-Budha dimana Agama Islam belum masuk ke
Indonesia. Terdapat tradisi serupa dengan Nyadran yakni Tradisi Craddha pada
zaman Kerajaan Majapahit. Adapun kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan
manusia dengan leluhur yang sudah meninggal. Adanya sesaji dan ritual
sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal. Sedangkan
tradisi nyadran merupaka sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah
nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan. Agama Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke-13 melalui Walisongo. Sekiranya dakwah dengan pendekatan-pendekatan
budaya merupakan jalan terbaik dalam penyebaran Agama yang masih baru.
Banyaknya
ritual-ritual yang bertentangan dengan Agama Islam tidak menjadikan para wali
semerta-merta menghapus tradisi-tradisi yang telah melembaga dalam masyarakat
Jawa. Mereka mengambil jalan kebijaksanaan yakni menyebarkan agama Islam dengan
mengakulturasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam supaya mudah diterima
oleh masyarakat dan masuk Islam.
Pelaksanaan
tradisi Nyadran (Craddha) pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan
sesaji sebagai pelengkapan ritualnya
sedangkan oleh Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-Quran.
Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya
masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Karena
pengaruh Agama Islam makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa
kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan
Sya’ban atau Nifsu Sya’ban.
Ajaran
agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan
merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh karena itu,
pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana introspeksi atau
perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu
tahun.
Tradisi
nyadran yang dilangsungkan di Dusun Bayuran Sumberagung Jetis Bantul Yogyakarta
ini juga tidak jauh beda dengan prosesi nyadran pada umumnya. Tepat pukul 09.00
pagi masyarakat di dusun ini berbondong-bondong datang ke makam dusun yang
letaknya berada di pojok utara Dusun Bayuran. Suasana makam masih tampak
rindang diiringi semilir dari hembusan angin menabrak pepohonan bambu yang
berada di sekitar makam. Kondisi makam juga terlihat bersih karena pada awal
bulan para warga telah lebih dahulu melakukan besik makam, yaitu pembersihan
makam leluhur dari kotoran rerumputan. Para warga duduk berkumpul di sesarehan
makam untuk pembacaan ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa. Kemudian
dilangsungkan pembagian nasi gurih yang sebelumnya telah disiapkan dan diracik
oleh sebagian Bapak-Bapak dan teman-teman Basudewa di rumah Mbah Priyo. Setelah
pembagian nasi gurih dan membaca doa, kemudian para warga beranjak pulang
dahulu untuk beribadah shalat Dhuhur karena waktu sudah menunjukkan pukul
11.30. Keseluruhan acara ini dilangsungkan oleh para kaum pria, karena ibu-ibu
dan para wanita sedang menyiapkan makanan yang dikemas dalam besek untuk
selanjutnya dibagikan pada acara kenduri.
Para
warga kembali datang ke Makam dengan membawa makanan dalam besek, berupa
makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan
lauk rempah, perkedel, tempe, tahu bacem dan lain sebagainya yang nantinya akan
saling ditukarkan antar warga. Selama prosesi tersebut para warga lain juga
saling berdatangan untuk melakukan ziarah kubur dan peziarah juga membawa bunga
sendiri dari rumah.
Makna
dan nilai-nilai filosifis dalam tradisi nyadran terdiri dari makna dan nilai
filosofis dalam ritual upacara myadran. Meliputi makna membersihkan desa dan
makam yang berarti agar memupuk rasa kebersamaan dan mengasah rasa gotong
royong antar masyarakat. Tabur bunga,
bermakna sebagai peringatan kepada para leluhur yang sudah mendahului
kita. Malam tirakatan, bermakna sebagai kesempatan untuk mendoakan para leluhur
agar berada di sisi Tuhan di tempat yang baik. Membaca ayat Suci Al-Qur’an yang
berarti untuk menjaga kesucian tradisi upacara dan memberikan ketenangan bagi
pembacanya. Kenduri di makam, bermaksud untuk masyarakat mengetahui akan ajal
yang akan menjemput dan sebagai bentuk rasa kebersamaan dengan saling berbagi
dan bersedekah. Makan bersama, bermakna sebagai bentuk sedekah kepada orang
lain, berbagi kebahagiaan, dan saling bertoleransi.
Selanjutnya
makna dan nilai-nilai filosofis dalam upacara tradisi nyadran. Berdasarkan
hasil observasi dapat disimpulkan bahwa nasi putih, melambangkan kesucian.
Ingkung ayam, sebagai rasa pasrah diri kepada Tuhan. Bubur sebagai ajang
mencari nafkah agar tidak terhalangi oleh apapun. Bunga, sebagai lambing
permohonan dari keharuan. Pisang raja bermakna sebagai seorang raja yang hidup
terhormat. Jajanan pasar, bermakna sebagai gambaran keinginan manusia.
Buah-buahan bermakna sebagai ucapan rasa terimakasih kepada Tuhan. Daun pisang
bermakna sebagai kesuburan, dan air tawar sebagai lambing keselamatan.
Terakhir
makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran. Dalam hal ini meiliki makna
diantaranya melestarikan warisan nenek moyang, wujud terimakasih kepada Tuhan
Yang Maha Esa, perwujudan sikap rukun, membangkitkan kedewasaan kehidupan
beragama, sebagai perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial.
PENUTUP.
Nyadran
adalah suatu rangkaian acara budaya yang berupa pembersihan makam leluhur,
tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Kegiatan
ini juga salah satu tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam
perkembangan zaman, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa
dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara
tradisional yang memiliki makna folosifis tersendiri sampai sekarang masih
dipatuhi oleh masyarakat pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika
tidak melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak
diinginkan. makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran. Dalam hal ini
meiliki makna diantaranya melestarikan warisan nenek moyang, wujud terimakasih
kepada Tuhan Yang Maha Esa, perwujudan sikap rukun, membangkitkan kedewasaan
kehidupan beragama, sebagai perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial.
LAMPIRAN.
Pada
saat warga sedang membaca zikir, tahlil, dan doa bersama.
Warga berkumpul menunggu pembagian
nasi gurih di rumah Mbah Priyo.
Warga membagikan nasi gurih kepada
para warga yang lain dan saling membantu.
Setelah pembagian nasi gurih, warga
berdoa dan beranjak pulang untuk melakukan shalat dhuhur.
Warga dan teman-teman Basudewa
membantu meyiapkan makanan di rumah Mbah Priyo.
Salah satu warga sedang mendoakan
para leluhur di makam desa Bayuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar