Sabtu, 25 Mei 2019

TRADISI NYADRAN JELANG RAMADHAN DI DESA BAYURAN, KELURAHAN SUMBERAGUNG, KECAMATAN JETIS, KABUPATEN BANTUL.


Oleh :
Alfiana Nurul Fathimah (2017015034)
Abstrak
Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta yakni “sraddha” yang keyakinan. Dalam bahasa Jawa nyadran berasal dari kata “sadran” yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabor bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam. Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan pada saat nyadran atau ruwahan adalah menyelenggarakan kenduri, dengan diawali pembacaan ayat suci Al-Qur’an, zikir, tahlilan dan doa. Kemudian diakhiri dengan makan bersama, melakukan besik yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan, melakukan upacara ziarah kubur, dengan mendoakan nenek moyang kita yang sudah meninggal kita yang sudah meninggal di area makam. Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Dalam ziarah kubur biasanya peziarah membawa bunga tabur, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambing adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Para masyarakat yang mengikuti acara nyadran biasanya mereka mendoakan kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudara mereka yang sudah meninggal. Setelah berdoa bersama, masyarakat melaksanakan kenduri/makan bersama. Setiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri. makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, semur kentang, urap sayur, perkedel, tempe, tahu bacem apem, peyek, dan lain sebagainya. Pada saat makan bersama, makanan yang telah dibawa dari rumah harus ditukar milik orang lain atau    orang lain mengambil sebagian dari makanan tersebut.
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tradisi nyadran di Desa Bayuran, Sumberagung, Jetis, Bantul. Penelitian ini menggunakan metode langsung yaitu pada tanggal 21 April 2019. Sumber data juga diperoleh dari dokumentasi pada saat acara berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan makna yang terkandung dalam tradisi nyadran di Desa Bayuran, Sumberagung, Jetis, Bantul yaitu, melestarikan warisan Nenek Moyang (nguri-uri budaya Jawi), wujud terimakasih Kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai ajang silaturahmi. Dampak positif yang dirasakan masyrakat di Desa Sumberagung dalam tradisi nyadran yaitu timbulnya rasa kegotongroyongan antar warga masyarakat. Sedangkan dampak negatifnya yaitu anggapan masyarakat tentang pelaksanaan tradisi nyadran yang hanya ditujukan kepada nenek moyang yang menempati suatu tempat, namun ada pula yang melakukan tradisi nyadran ditujukan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan adnya bentuk pemborosan dalam pekasanaan tradisi nyadran.
Kata kunci : Nyadran, pembersihan makam, dan genduri.


PENDAHULUAN.
Nyadran adalah suatu rangkaian acara budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Kegiatan ini juga salah satu tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam perkembangan zaman, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna folosifis tersendiri sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat di Jawa mengalami alkulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi social budaya masyarakat anyata yang satu dengan yang lainnya berbeda.
Kebudayaan sebagai cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan social dalam ruang dan waktu. Salah satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen. Kebudayaan selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada umumnya diartikan sebagai proses atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya.
Upacara tradisional yang dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan di luar manusia. Adapun yang dimaksud kekuatan di luar manusia yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dapat juga diartikan sebagai kekuatan supranatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, dan bisa juga roh leluhur yang dianggap masih memberikan perlindungan padanya dan keturunannya. Mereka percaya bahwa tidak semua usaha manusia dapat berjalan lancer, terkadang menemui tantangan dan hambatan yang sulit dipecahkan. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan akal dan system pengetahuan manusia, sehingga masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mulai dipecahkan secara religi.
Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Adanya keyakinan pada masyarakat Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku merupakan cara berpikir seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya kepercayaan atau keyakinan terhadpa kekuatan gaib yang ada di alam semesta. Kekuatan alam semesta dianggap ada di atas segalanya. Selanjutnya dikaitkan bahwa dalam masyarakat Jawa kekuatan manusia dinggap lemah bila dihadapakan dengan alam semesta. Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran Jawa tradisional, kepercayaan Hindu, dan ajaran Islam. Budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan warisan sosial yang dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya terdiri dari pada kebendaan, kemahiran, nilai-nilai tertentu dan sebagainya.
Apresiasi budaya sering kali dihubungkan dengan cara hidup, adat istiadat suatu masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Misalnya upacara adat tradisional yang pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau doktrin yang juga merupakan perwujudan dari religi. Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi dan didasarkan pada suatu getaran jiwa biasanya disebut dengan emosi keagamaan, emosi keagamaan mendorong manusia melakukan tindakan religi. Dalam kepercayaan religi animisme, makam adalah tempat suci yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi   spriritual nenek moyang dengan roh para leluhur atau dengan Tuhan. Pada jaman sekarang ini, kepercayaan tersebut belum luntur.
Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya masyarakat Jawa adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis nyadran adalah ritual simbolik yang sarat dengan makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti berziarah kubur atau pergi ke makam nenek moyang dengan membawa menyan, bunga dan air doa. Sadran berarti kembali atau meziarahi makam atau tempat yang dianggap sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat menanamkan tempat tersebut dengan sebutan punden yaitu makam cikal bakal desa setempat. Sebelum beziarah kubur biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan makam secara bersama-sama.
Bersih kubur yang dikenal dengan nama sadranan atau besik merupakan salah satu bentuk alkulturasi Islam dengan kebudayaan Jawa. Tradisi sadranan merupakan tradisi yang sudah dikenal oleh semua masyarakat terutama masyarakat Jawa, karena sadranan dilakukan di berbagai daerah seperti di Desa Bayuran. Sebelum Islam dating kepercayaan Animisme dan Dinamisme serta agama Hindu Budha telah lebih dahulu berkembang di Indonesia khususnya pulau Jawa. Islam diterima di masyarakat Jawa dengan mudah dan damai, karena para da’I memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan Jawa. Islam tidak perlu mengubah struktur budaya dan kepercayaan yang telah ada, melainkan tinggal melestarikannya dengan siraman Islam. Keadaan demikian memberikan dampak pada pandnagan yang tidak mempersoalkan suatu agama itu benar atau salah, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda bahkan berlawanan.
Tujuan dari upacara nyadran adalah untuk meminta doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada nenek moyang agar semua urusan dilancarkan. Sedangkan menurut kebiasaan Jawa, selain mempererat persaudaraan adlah untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja, sehingga dalam bulan suci Ramadhan nanti diri mereka juga suci, telah bersih dengan ampunan Allah dan maaf dari sesama manusia.
PEMBAHASAN.
Tradisi Nyadran telah dimulai sejak zaman Hindu-Budha dimana Agama Islam belum masuk ke Indonesia. Terdapat tradisi serupa dengan Nyadran yakni Tradisi Craddha pada zaman Kerajaan Majapahit. Adapun kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal. Adanya sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal. Sedangkan tradisi nyadran merupaka sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan. Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui Walisongo. Sekiranya dakwah dengan pendekatan-pendekatan budaya merupakan jalan terbaik dalam penyebaran Agama yang masih baru.
Banyaknya ritual-ritual yang bertentangan dengan Agama Islam tidak menjadikan para wali semerta-merta menghapus tradisi-tradisi yang telah melembaga dalam masyarakat Jawa. Mereka mengambil jalan kebijaksanaan yakni menyebarkan agama Islam dengan mengakulturasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam supaya mudah diterima oleh masyarakat dan masuk Islam.
Pelaksanaan tradisi Nyadran (Craddha) pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji  sebagai pelengkapan ritualnya sedangkan oleh Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-Quran. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Karena pengaruh Agama Islam makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nifsu Sya’ban.
Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.
Tradisi nyadran yang dilangsungkan di Dusun Bayuran Sumberagung Jetis Bantul Yogyakarta ini juga tidak jauh beda dengan prosesi nyadran pada umumnya. Tepat pukul 09.00 pagi masyarakat di dusun ini berbondong-bondong datang ke makam dusun yang letaknya berada di pojok utara Dusun Bayuran. Suasana makam masih tampak rindang diiringi semilir dari hembusan angin menabrak pepohonan bambu yang berada di sekitar makam. Kondisi makam juga terlihat bersih karena pada awal bulan para warga telah lebih dahulu melakukan besik makam, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran rerumputan. Para warga duduk berkumpul di sesarehan makam untuk pembacaan ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa. Kemudian dilangsungkan pembagian nasi gurih yang sebelumnya telah disiapkan dan diracik oleh sebagian Bapak-Bapak dan teman-teman Basudewa di rumah Mbah Priyo. Setelah pembagian nasi gurih dan membaca doa, kemudian para warga beranjak pulang dahulu untuk beribadah shalat Dhuhur karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Keseluruhan acara ini dilangsungkan oleh para kaum pria, karena ibu-ibu dan para wanita sedang menyiapkan makanan yang dikemas dalam besek untuk selanjutnya dibagikan pada acara kenduri.
Para warga kembali datang ke Makam dengan membawa makanan dalam besek, berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, perkedel, tempe, tahu bacem dan lain sebagainya yang nantinya akan saling ditukarkan antar warga. Selama prosesi tersebut para warga lain juga saling berdatangan untuk melakukan ziarah kubur dan peziarah juga membawa bunga sendiri dari rumah.
Makna dan nilai-nilai filosifis dalam tradisi nyadran terdiri dari makna dan nilai filosofis dalam ritual upacara myadran. Meliputi makna membersihkan desa dan makam yang berarti agar memupuk rasa kebersamaan dan mengasah rasa gotong royong antar masyarakat. Tabur bunga,  bermakna sebagai peringatan kepada para leluhur yang sudah mendahului kita. Malam tirakatan, bermakna sebagai kesempatan untuk mendoakan para leluhur agar berada di sisi Tuhan di tempat yang baik. Membaca ayat Suci Al-Qur’an yang berarti untuk menjaga kesucian tradisi upacara dan memberikan ketenangan bagi pembacanya. Kenduri di makam, bermaksud untuk masyarakat mengetahui akan ajal yang akan menjemput dan sebagai bentuk rasa kebersamaan dengan saling berbagi dan bersedekah. Makan bersama, bermakna sebagai bentuk sedekah kepada orang lain, berbagi kebahagiaan, dan saling bertoleransi.
Selanjutnya makna dan nilai-nilai filosofis dalam upacara tradisi nyadran. Berdasarkan hasil observasi dapat disimpulkan bahwa nasi putih, melambangkan kesucian. Ingkung ayam, sebagai rasa pasrah diri kepada Tuhan. Bubur sebagai ajang mencari nafkah agar tidak terhalangi oleh apapun. Bunga, sebagai lambing permohonan dari keharuan. Pisang raja bermakna sebagai seorang raja yang hidup terhormat. Jajanan pasar, bermakna sebagai gambaran keinginan manusia. Buah-buahan bermakna sebagai ucapan rasa terimakasih kepada Tuhan. Daun pisang bermakna sebagai kesuburan, dan air tawar sebagai lambing keselamatan.
Terakhir makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran. Dalam hal ini meiliki makna diantaranya melestarikan warisan nenek moyang, wujud terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, perwujudan sikap rukun, membangkitkan kedewasaan kehidupan beragama, sebagai perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial.
PENUTUP.
Nyadran adalah suatu rangkaian acara budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Kegiatan ini juga salah satu tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam perkembangan zaman, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehiudupan masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna folosifis tersendiri sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat pendukungknya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. makna dan nilai filosofis dalam tradisi nyadran. Dalam hal ini meiliki makna diantaranya melestarikan warisan nenek moyang, wujud terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, perwujudan sikap rukun, membangkitkan kedewasaan kehidupan beragama, sebagai perwujudan sikap keseimbangan kehidupan sosial.


LAMPIRAN.
Pada saat warga sedang membaca zikir, tahlil, dan doa bersama.
Warga berkumpul menunggu pembagian nasi gurih di rumah Mbah Priyo. 

Warga membagikan nasi gurih kepada para warga yang lain dan saling membantu.
Setelah pembagian nasi gurih, warga berdoa dan beranjak pulang untuk melakukan shalat dhuhur.

Warga dan teman-teman Basudewa membantu meyiapkan makanan di rumah Mbah Priyo.
Salah satu warga sedang mendoakan para leluhur di makam desa Bayuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRADISI NYADRAN DI MAKAM SEWU DIWIJIRWJO PANDAK BANTUL

Oleh : Febriana SiskaWati (2017015260) Febrianasiska123@gmail.com Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ABSTRAK Tulisan ini m...