ALWI CANIAGO (2017015018) / PGSD 6B
Abstrak
Nyadran
merupakan salah satu bentuk ritual sosial keagamaan masyarakat (khususnya)
Jawa,
biasa dilakukan menjelang bulan Ramadhan. Nyadran sebagai sebuah peristiwa
sejarah
yang menjadi tradisi, memiliki makna fi losofis yang sangat beragam bagi
masing-masing
komunitas warga masyarakat. Variasi pemaknaan nyadran tergantung
dari
mana orang memahaminya. Makalah ini bertujuan untuk menganalisi perayaan
Tradisi Grebeg Nyadran Gunung Ampo yang
dilakukan oleh masyarakat di Desa Kemudo, kecamatan Prambanan,Kabupaten Klaten.
Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh, maka penulis melakukan observasi
langsung ke tempat tersebut. Data yang di peroleh melalui dkumentasi dan
wawancara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, a) Tradisi Grebeg Nyadran warga
desa kemudo di lakukan setiap setahun sekali: b) tradisi grebeg nyadran dapat
menumbuhkan rasa slidaritas social.
Keywords Nyadran
A. Pendahuluan
Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang
berbedabeda antara budaya satu dengan budaya yang lain. Demikian pula dengan
suku Jawa. Suku Jawa memiliki kebudayaan yang khas dimana di dalam metode
budayanya digunakan simbol-simbol sebagai sarana a alat media komunikasi untuk
menyampaikan pesan bagi bangsa atau penerusnya. Budaya yang terdapat dalam
suatu lingkungan masyarakat beraneka ragam dan bervariasi. Hal tersebut
bersifat nurun-temurun dari generasi ke generasi. Budaya yang sudah diyakini
sejak dulu itu hingga kini dijadikan sebagai suatu hal yang harus dilakukan
secara terus menerus dari generasi ke generasi. Di zaman modern seperti sekarang ini,
kebudayaan masyarakat Jawa yang cenderung mengandung unsur mistik tidak bisa
ditinggalkan begitu saja. Karena hal tersebut dianggap tidak menghormati
warisan para orang terdahulu atau leluhur. Budaya itu sendiri diyakini sebagai hasil tingkah laku
atau kreasi manusia, memerlukan bahan materi atau alat penghantar untuk
menyampaikan maksud. Medium budaya itu dapat berupa bahasa, benda, warna,
suara, tindakan yang merupakan simbol-simbol budaya. Budaya Jawa yang dikatakan
edi penidan adi luhung, karena telah terbina selama berabad-abad lamanya
(Herusasoto, 2001:78).
Tradisi Sadranan yang dilakukan tiap
bulan ruwah ini sangat ramai diadakan diberbagai wilayah suku Jawa, salah
satunya di Desa kemudo, Kecamatan prambanan , Kabupaten Klaten. Tiap wilayah
telah memiliki ketentuan masingmasing mengenai waktu pelaksanaan tradisi Sadranan ini. Masyarakat desa
prambanan , Kecamatan prambanan, Kabupaten Klaten, rutin melaksanakan tradisi Sadranan setiap tanggal 27
Ruah atau tanggal jawa pada tiap tahunnya. Bukan hanya orang tua saja yang
berperan, pemuda-pemudi pun turut andil dalam meramaikan upacara tersebut. Hal
inilah yang menunjukkan budaya masyarakat guyub rukun, gotong-royong, dan
kekeluargaan. Dalam tradisi Sadranan
ini sarat dengan adanya simbol-simbol yang berfungsi sebagai media komunikasi
untuk menitipkan suatu pesan di dalamnya. Sebagai sebuah media komunikasi,
upacara tradisi Sadranan pasti
memiliki serangkaian prosesi yang diwakilkan melalui simbolsimbol untuk
menyampaikan suatu pesan pada generasi penerusnya. Hal tersebut memunculkan
pertanyaan di benak penulis mengenai “bagaimana tahapan-tahapan awal sampai
akhir dari prosesi upacara Sadranan,
simbol-simbol seperti apa yang digunakan sebagai media komunikasi, apa
nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Sadranan tersebut, serta pesan apa sebenarnya yang ingin
disampaikan
Penulis
merasa perlu untuk mengangkat penelitian mengenai upacara tradisi Sadranan sebagai
salah satu upaya dalam melestarikan upacara adat ini. Mengingat semakin
maraknya budaya modern yang berkembang luas serta gaya hidup masyarakat yang
semakin maju, namun nyatanya tradisi Sadranan
ini masih tetap dilaksanakan oleh suku Jawa secara rutin tiap tahun
khususnya masyarakat desa Kemudo Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Di
samping itu, penulis juga ingin memperkenalkan kebudayaan atau tradisi
masyarakat Desa Karangturi kepada masyarakat luas, agar masyarakat luas
mengetahui jenis, simbol-simbol yang digunakan sebagai media komunikasi, dan
nilai-nilai yang terkandung dalam prosesi upacara tradisi Sadranan
B. Pembahasan
Upacara Sadranan yang dilaksanakan setiap
tanggal 27 ruwah menjelang bulan puasa pada intinya tak jauh beda dengan ritual
serupa di waktu lain dalam penanggalan Jawa seperti Suranan, Muluran, atau
Syawalan. Intinya adalah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi
keselamatan dan kesejahteraan Sebuah ritual doa menggunakan media yang
dipercaya masyarakat dapat mendekatkan diri mereka dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sadranan menjelang bulan puasa selain
memiliki makna doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga merupakan suatu penghargaan
terhadap bulan Syakban , bulan yang memiliki keistimewaan.
Tradisi Sadranan ini tetap
dipertahankan tetapi substansinya di isi dengan nilai-nilai Islam. Sadranan tidak lagi
dipersembahkan kepada arwah leluhur, tetapi merupakan sarana atau media untuk
sedekah serta mendoakan agar arwah para leluhur bisa tentram, damai di sisi
Allah SWT. Sesaji yang semula berupa makanan mentah, daging mentah dan darah
kini diganti dengan makanan dan minuman yang baik, yang disesuaikan dengan
kemampuan dari masing-masing kepala keluarga Rangkaian Sadranan ini dilaksanakan dengan berbagai variasi sesuai
dengan adat masing-masing daerah mengingat tradisi Sadranan ini telah ada di berbagai wilayah Jawa Tengah.
Pada umumnya tradisi Sadranan diawali
dengan bersih-bersih makam. Acara bersih kubur ini merupakan kegiatan pembuka
dan melibatkan seluruh masyarakat desa. Setelah gotong-royong bersih-bersih
makam, kegiatan dilanjutkan dengan membersihkan jalan-jalan, balai desa atau
tempat lainnya yang memiliki fungsi sebagai tempat publik.
Tradisi
upacara Sadranan dilaksanakan
sesuai dengan tata cara pelaksanaan yang telah disepakati oleh tetua adat dan
masyarakat Desa Kemudo pada setiap
tahunnya. Tradisi upacara Sadranan ini
dilaksanakan satu tahun sekali yang melibatkan seluruh masyarakat Desa Kemudo,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten yang dikoordinir oleh perwakilan dari
kantor kecamatan Desa Prambanan. Dalam event
upacara Sadranan ini,
Masyarakat Desa Kemudo mengikuti serangkaian kegiatan yang terangkum dalam tata
cara pelaksanaan upacara Sadranan yang
meliputi: (1) Pra-upacara Sadranan (2)
Hari-H upacara Sadranan (3)
Acara Kenduri. Serangkaian kegiatan tersebut dilakukan secara bertahap dalam
kurun waktu yang berdekatan.

Bentuk komunikasi sosial dari tradisi upacara Sadranan ini adalah penyampaian
pesan atau nasehat dari orang-orang tua zaman dahulu kepada generasi mudanya agar
tetap hormat kepada arwah nenek moyang atau leluhurnya yang diharapkan berimbas
kepada menghormati orang tua yang masih hidup. Disamping itu, komunikasi sosial
juga tampak ketika warga masyarakat Desa Kemudo menunjukkan aktualisasi dirinya
sebagai bentuk eksistensi dengan mengikuti prosesi upacara Sadranan. Hal tersebut merupakan
suatu keinginan untuk menunjukkan diri bahwa mereka pun ada dan turut aktif
mengikuti rangkaian kegiatan upacara Sadranan
Masyarakat Desa Kemudo juga menunjukkan rasa nyaman,
tenteram,saat berbaur tanpa terhalang oleh perbedaan kelas sosial dengan warga
lainnya, dimana hal tersebut mengisyaratkan bahwa komunikasi sosial dilakukan
untuk pemenuhan diri untuk merasa terhibur pada saat memupuk hubungan baik
dengan sesama. Upacara Sadranan juga
dijadikan sebagai wahana pergaulan sosial dimana terjadi penyampaian informasi
yang melibatkan seluruh lapisan warga masyarakat Desa Kemudo. Upacara Sadranan merupakan salah satu
bentuk komunikasi sosial yang memiliki makna berupa keselarasan atau sebuah harmoni
yang tercipta dalam dinamika kehidupan warga masyarakat Desa Kemudo.
Harmoni sosial
tampak begitu nyata dalam perilaku hidup sehari-hari warga masyarakat Desa
Kemudo. Upacara Sadranan pun
memiliki peranan penting dalam menciptakan harmoni sosial pada kehidupan
masyarakat Desa Kemudo. Kerja bakti bersih makam merupakan salah satu simbol
dari harmoni sosial dimana terdapat guyub rukun, gotong royong, serta nuansa
kekeluargaan yang sangat kental. Melalui harmoni sosial inilah tercipta suatu bentuk
keselarasan yang berujung pada kesejahteraan bersama dalam hidup bermasyakat.
Bagi orang Jawa keselarasan sosial atau keharmonisan merupakan sebuah rangkaian
besar terjadinya kesejahteraan hidup bersama. Karena kesejahteraan terikat
secara mutlak pada keselarasan sosial, antara sesama yang illahi, alam dan
sesama manusia.

Pada saat
penelitian, penulis berhasil menemukan fakta baru dan berhasil mengidentifikasikan
mengenai terjadinya pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam prosesi
upacara Sadranan. Temuan fakta
baru ini bermula ketika penulis sedang mewawancarai Kepala Desa Karangturi,
Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, Bapak Hermawan. Beliau mengemukakan bahwa
ada beberapa perubahan serta perubahan makna dengan upacara Sadranan zaman dahulu, dengan
upacara Sadranan msa
sekarang. Sadranan pada
zaman dahulu
terdapat berbagai sesaji yang memang diperuntukkan bagi arwah
para leluhur atau nenek moyang. Sesaji berupa makanan mentah, daging mentah,
dupa dan darah itu diperuntukkan bagi para arwah leluhur agar masyarakat
mendapat keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahanhidup.

Sedangkan upacara Sadranan pada masa sekarang
tetap mempertahankan substansinya namun telah diisi dengan nilai-nilai Islam. Sadranan tidak lagi
dipersembahkan kepada arwah para leluhur atau nenek moyang, namun merupakan
sarana atau media untuk sedekah serta mendoakan arwah leluhur agar bisa tentram.
Sesaji yang semula berupa makanan mentah, daging mentah dan darah pun sekarang
telah diganti dengan makanan dan minuman yang baik. Tradisi upacara Sadranan telah mengalami
pergeseran nilai dan makna yakni sebagai ziarah kubur
mendoakan arwah leluhur agar memperoleh ketentraman di sisi
Allah SWT.

Penulis merasa bahwa fakta ini merupakan suatu fenomena yang
lazim terjadi sebagai wujud dari sifat-sifat kebudayaan yang tidak 100 persen
statis, karena jika kebudayaan 100 persen statis tanpa dinamika, maka
kebudayaan dapat dikatakan mati saja. Begitu pula tradisi upacara Sadranan. Hal tersebut juga berkaitan dengan
komunikasi. Baik secara langsung maupun tak langsung, tradisi upacara Sadranan ini memiliki fungsi
komunikasi cultural dimana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan
pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau
mewariskan budaya. Tradisi Upacara Sadranan
di Desa Karangturi ini merupakan salah satu warisan budaya dari
nenek moyang atau leluhur yang sampai saat ini masih rutin dilaksanakan tiap
tahunnya.
C. Penutup
Simpulan
Tradisi
upacara Sadranan mengalami
pergeseran makna. Sadranan tidak
lagi dimaknai sebagai sebuah ritual untuk memohon keselamatan serta berkah dari
arwah para leluhur, melainkan upacara Sadranan
dipandang sebagai media untuk memanjatkan doa keselamatan para
leluhur sebagai perwujudan dinamika kebudayaanBentuk komunikasi sosial dari
tradisi upacara Sadranan ini
adalah penyampaian pesan atau nasehat dari orang-orang tua zaman dahulu kepada
generasi mudanya agar tetap hormat kepada arwah nenek moyang atau leluhurnya
yang diharapkan berimbas kepada menghormati orang tua yang masih hidup. Selain
itu dalam upacara Sadranan ini
terdapat bentuk aktualisasi diri masyarakat sebagai wujud eksistensi diri dalam
aktivitas sosial, serta memupuk hubungan yang baik antar warga. Tradisi upacara
Sadranan mengandung
harmoni sosial yang memiliki peranan penting dalam mencipt akan keharmonisan
hidup bermasyarakat di Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.
D. Daftar
Pustaka
Prasetyo, Yanu Endar, 2010, Mengenal Tradisi Bangsa, Yogyakarta; PT.
Insist Press.
Koentjoroningrat, 1980, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar